Kisah, Sejarah, dan Asal Usul Mata Uang Rupiah di Indonesia (Bagian 1)


Naviri Magazine - Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memiliki uang yang diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Saat ini, kita mengenal uang Indonesia dalam berbagai pecahan. Ada uang berbentuk koin, dengan pecahan Rp500, Rp1000, dan lainnya. Selain koin, ada pula uang kertas dengan pecahan Rp5000, Rp10.000, dan seterusnya, sampai yang terbesar Rp100.000.

Bagaimana asal usul dan sejarah uang di Indonesia? Sejak kapan Indonesia memiliki uang sendiri, sebagaimana yang kita kenal sekarang? Jawaban atas pertanyaan itu cukup panjang, karena harus kembali ke masa lalu, ketika Indonesia masih kacau dan semrawut, akibat penjajahan yang terjadi.

Di tengah situasi politik dan ekonomi yang serba tak menentu, pemerintah Republik Indonesia yang sedang mengungsi ke Yogyakarta mengambil langkah bersejarah. Pada malam 29 Oktober 1946 di Yogyakarta, Wakil Presiden Mohammad Hatta berpidato melalui RRI Yogyakarta tentang dikeluarkannya mata uang resmi. 

Pidato yang berlangsung sekitar pukul 20.00 itu menjadi momentum awal yang menegaskan kedaulatan ekonomi Indonesia. Pada malam itulah Hatta mengumumkan tentang Oeang Rupublik Indonesia (ORI).

Hatta menegaskan bahwa ORI mulai berlaku pukul 00.00 tengah malam atau beberapa jam setelah pidatonya. Uang Jepang dan uang De Javasche Bank yang selama itu beredar sebagai uang yang sah dinyatakan tidak berlaku lagi. 

Lahirnya ORI terjadi saat pemerintah republik dalam kondisi darurat. Ibu kota dipindah ke Yogyakarta sejak Januari 1946, karena Jakarta sudah tidak kondusif lagi. Kota yang dulunya bernama Batavia pelan tapi pasti mulai dikendalikan tentara asing, mulanya Sekutu lalu pemerintahan Belanda di Hindia, Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA).

“Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita, rakyat kita menghadap penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah," kata Hatta. 

Hatta menyebut momentum tersebut sebagai babakan bersejarah dalam perjalanan Republik Indonesia. "Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh republik kita," seru Hatta.

Pidato Hatta malam itu tak muncul begitu saja. Sejak awal kemerdekaan, pemerintah RI memang menginginkan memiliki mata uang sendiri. Sejak 1945 sudah ada upaya mempersiapkan kelahiran mata uang sendiri di tengah berbagai keterbatasan yang membelit pemerintah. 

Salah satu upaya politik untuk mengurangi pengaruh NICA adalah pernyataan yang dikeluarkan pada 2 Oktober 1945. Pada tanggal itu, pemerintah mengumumkan tidak berlakunya uang NICA di wilayah republik. 

Untuk memastikan agar pernyataan politik itu bisa berdampak di lapangan, pemerintah berusaha selekas mungkin memproduksi mata uang sendiri. Persiapan penerbitan ORI dimulai pada masa A.A. Maramis menjadi Menteri Keuangan RI yang kedua. Pada 24 Oktober 1945, Maramis menginstruksikan Serikat Buruh Percetakan G. Kolff & Co. Jakarta untuk mencari tempat percetakan uang ORI. 

Tim itu merekomendasikan Percetakan G. Kolff Jakarta yang waktu itu dikuasai oleh serikat buruh pro-republik dan Percetakan Nederlands Indische Mataaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, Malang. 

Namun pemerintah beranggapan Percetakan G. Kolff Jakarta kurang memadai, sehingga perlu meninjau percetakan-percetakan lainnya di beberapa kota, seperti Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta 

Selanjutnya, Maramis membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Oeang RI (PPPO-RI) yang diketuai T.B.R. Sabarudin. Kala itu Sabarudin menjabat sebagai Direktur Bank Rakyat Indonesia. 

Selain membentuk PPPO-RI, Maramis juga membentuk panitia untuk mempertimbangkan cara-cara menerima, menyimpan dan mengedarkan uang baru. Panitia tersebut dipimpin Enang Koesnadi dari Kas Negeri Jakarta. 

Macam-macam kendala menghadang, mulai dari stok kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan sinkografi, pelat seng untuk klise, hingga mesin aduk untuk membuat tinta. Berkat bantuan secara sukarela dari para karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta yang belum sempat dikuasai Sekutu, bahan-bahan dan alat-alat yang dibutuhkan berhasil dikumpulkan. 

Abdulsalam dan Soerono ditunjuk melukis atau membuat ilustrasi. Pembuatan desain dan bahan-bahan dasar berupa negatif kaca dilakukan di Percetakan Balai Pustaka Jakarta, dan Percetakan De Unie yang dikerjakan Bunjamin Surjohardjo. 

Di Percetakan De Unie itulah litografi dibuat. Proses offset-nya dilakukan pertama kali di percetakan yang berada di bawah Kementerian Penerangan, yakni Percetakan RI Salemba, Jakarta. 

ORI baru bisa mulai diproduksi di masa Surachman Tjokroadisurjo menjadi Menteri Keuangan keempat. Produksi ORI dimulai pada Januari 1946 dan ditangani R.A.S Winarno dan Joenoet Ramli. Mereka melakukan pencetakan setiap hari, mulai dari pukul 07.00 hingga 22.00 waktu setempat. 

ORI pertama yang dicetak R.A.S Winarno dan Joenoet Ramli adalah lembaran pecahan 100 rupiah. Kemudian, pada masa Menteri Keuangan kelima, Sjafruddin Prawiranegara, ORI resmi beredar pada 30 Oktober 1946, sehari setelah pidato Hatta. Mata uang yang dicetak itu ditandatangani Maramis. 

Pada saat itu, ORI emisi 1 terbit dalam delapan seri uang kertas yaitu satu sen, lima sen, sepuluh sen, setengah rupiah, satu rupiah, lima rupiah, sepuluh rupiah, dan seratus rupiah.

Baca lanjutannya: Kisah, Sejarah, dan Asal Usul Mata Uang Rupiah di Indonesia (Bagian 2)

Related

Money 4456719965534009210

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item