Sejarah Negara-Bangsa yang Kini Mempengaruhi Wajah Dunia (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Negara-Bangsa yang Kini Mempengaruhi Wajah Dunia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

David S. Siroky dan John Cuffe telah menguji dugaan ini dengan data tentang status otonom dan perilaku separatis dari 324 kelompok di lebih dari 100 negara dalam rentang tahun 1960 sampai 2000.

Di Indonesia sendiri, usaha-usaha untuk memisahkan diri dari Indonesia bukanlah hal baru.

Sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam etnis, bahasa dan agama, Indonesia yang memperoleh kemerdekaan pada situasi puncak Perang Dunia Kedua ini dipandang sebagai daerah yang rawan konflik karena banyaknya perbedaan dan luasnya wilayah teritorial. Ketimpangan pusat dan daerah turut menjadi pemicunya.

Di era Sukarno, separatisme lahir dari gerakan-gerakan seperti Republik Maluku Selatan, PRRI di Sumatera, dan Permesta di Sulawesi.

Berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) bermula ketika Manuhutu membacakan teks proklamasi yang menyatakan kemerdekaan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 25 April 1950. Para pentolannya adalah para eks tentara KNIL yang telah kehilangan komando. RMS akhirnya ditumpas oleh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) pimpinan Kolonel Alex Kawilarang.

Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) diproklamirkan di Sulawesi pada 2 Maret 1957, disusul deklarasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang pada 15 Februari 1958. Oleh pemerintah pusat di Jakarta, PRRI dan Permesta disebut sebagai gerakan pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Menurut Khairul Ikhwan Damanik dkk. dalam buku Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia, asal-muasal munculnya PRRI dan Permesta berawal dari ketidakpuasan para pemimpin militer di daerah yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat. Mereka menuntut otonomi wilayah yang lebih luas tetapi tidak dihiraukan.

Sedangkan menurut Barbara Harvey dalam buku Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1984), para pemimpin Permesta dari Minahasa menyebut gerakan mereka sebagai program pembangunan untuk Indonesia timur. Orang Minahasa kecewa terhadap Jakarta, karena pemerintah pusat memonopoli perdagangan kopra.

Perasaan kecewa orang Minahasa yang semula didorong faktor ekonomi dan kemudian berbuntut gerakan bersenjata, dengan cepat menjadi salah satu gejolak paling hebat yang pernah terjadi di Sulawesi.

PRRI takluk pada pertengahan Mei 1961 lewat operasi militer pimpinan AH Nasution yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.

Ahmad Husein selaku pimpinan PRRI segera menyerahkan diri di Padang. Sementara Ventje Sumual yang sudah membacakan proklamasi bagi Permesta menyerah pada Oktober 1961. Perang bersenjata ini, yang terjadi pada 1958-1961, menewaskan sekira 20.000 hingga 30.000 jiwa. Sebagian besar adalah rakyat sipil Minahasa.

Memasuki era Orde Baru, separatisme muncul di Aceh yang direpresentasikan lewat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua yang diwakili oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), serta gerakan-gerakan pembebasan sejenis.

Di Aceh, transformasi besar dimulai ketika deklarasi pendirian Negara Islam Indonesia pada 1953. Berlanjut ketika pada 1955 Tengku M. Daud Beureuh mengumumkan pembentukan daerah otonom sendiri, bernama Negara Bahagian Atjeh (NBA).

Negosiasi alot antara NBA dan Indonesia berlanjut hingga pada 1957, mereka menginginkan untuk merdeka dari Indonesia sepenuhnya. Sejak itu tanah reuncong terus bergejolak di tengah negosiasi antara pemerintahan Jakarta. Lewat Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pada 1976 mereka memproklamasikan negara Aceh di bawah pemimpin Tengku Hasan M. di Tiro.

Menurut Tengku Hasan M. di Tiro, pemberian status Daerah Istimewa dianggap belum cukup menyelesaikan permasalahan di Aceh. Ditambah alasan kedua tentang ketidakpuasan terhadap minimnya komitmen pemerintahan Orde Baru untuk pembangunan wilayah tersebut dan kebijakan lainnya.

Tahun-tahun selanjutnya diwarnai bentrokan senjata antara pasukan GAM dan tentara Indonesia. Puncaknya, pemerintah pusat mengumumkan Daerah Operasi Militer pada 1988 dan sejak itu pelbagai tudingan pelanggaran HAM terus mendarat ke TNI.

Kesepakatan damai akhirnya dicapai antara GAM dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Aceh menerima otonomi khusus, dan tentara non-Aceh akan ditarik dari provinsi. Sebaliknya, senjata GAM harus dilucuti.

Yang tersisa dan paling menonjol hingga kini adalah gerakan kemerdekaan di Papua. Akar aspirasi kemerdekaan Papua berasal dari deklarasi kemerdekaan orang Papua pada 1961, lengkap dengan bendera Bintang Kejora dan lagu kebangsaan. 

Alasan kesamaan etnis dan kultur budaya Melanesia menjadi pendorong kuat mereka memiliki persatuan untuk ingin membentuk negara sendiri yang berdaulat.

Related

History 8279705760989996200

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item