Menguak Misteri Masalembo hingga Segitiga Bermuda


Naviri Magazine - Sudah sejak lama, Segitiga Bermuda terkenal sebagai tempat yang dianggap misterius, karena banyak pesawat dan kapal-kapal laut yang hilang di sana, lengkap dengan penumpangnya. 

Kenyataan itu dianggap aneh dan misterius, karena umumnya pesawat yang hilang bisa ditemukan, setidaknya puing-puingnya, dan kapal laut yang hilang juga bisa didapatkan bekasnya, misal ada salah satu korban yang selamat.

Terkait Segitiga Bermuda, pesawat dan kapal laut yang hilang di sana semuanya hilang tak berbekas, seolah benda-benda itu lenyap begitu saja. Sementara pihak-pihak lain yang mencoba mencari ke sana juga sering ikut hilang tanpa bekas.

Ternyata, di Indonesia juga ada kawasan misterius semacam itu, yaitu Masalembo. Pada 27 Januari 1981, KMP Tampomas 2 terbakar dan tenggelam di sekitar perairan kepulauan Masalembo. Itu bukan satu-satunya peristiwa kapal terbakar dan tenggelam di sana. Belakangan, pada 1 Januari 2007, pesawat Adam Air juga hilang di dasar perairan. 

Jadi, atas dasar kemiripan dengan Segitiga Bermuda, tidak heran jika perairan Masalembo dijuluki sebagai Segitiga Bermuda-nya Indonesia. Namun, apa penjelasan sains atas kedua misteri tersebut?

Misteri Segitiga Bermuda sudah hadir sejak era Christopher Columbus. Pada tahun 1492, dia mencatat mengenai anomali yang aneh pada kompasnya, ketika melewati daerah tersebut. Sejak masa silam juga diprediksi sudah ada ribuan kapal yang karam di perairan Segitiga Bermuda. 

Salah satu yang populer adalah hilangnya lima pesawat yang dikenal dengan nama Flight 19 pada 5 Desember 1945. Lalu, pesawat yang dikirimkan untuk mencari pesawat Flight 19 juga turut raib bersama 13 kru secara misterius. 

Konpirasi dan mitos pun menyeruak. Dari argumen mengenai alien hingga tentang kerajaan iblis. Nama Segitiga Bermuda sendiri pertama kali muncul pada artikel tentang peristiwa misterius di perairan itu, dalam majalah Argosy pada tahun 1964 yang ditulis oleh Vincent Gaddis.

Ada beberapa penjelasan yang coba menguak misteri ini. 

Human Error

Penjelasan paling sederhana adalah kesalahan manusia sendiri, bukan sebuah anomali. "Kawasan itu ramai dilalui dan sudah menjadi simpang yang ramai sejak bangsa Eropa mulai bereksplorasi," kata ahli sejarah US Naval Historical Foundation, John Reilly, kepada National Geographic.

Hal senada diungkapkan oleh ilmuwan Australia bernama Dr Karl Kruszelnicki. "Jumlah pesawat yang hilang di Segitiga Bermuda sama dengan di manapun di dunia secara persentase," katanya.

Bahkan, penjelasan mengenai hilangnya Flight 19 pun juga lebih sederhana dari perkiraan. Flight 19 hilang karena kesalahan navigasi sehingga pesawat kehabisan bahan bakar dan akhirnya jatuh ke laut. Sementara pesawat PBM-Mariner yang bertugas mencari Flight 19 diperkirakan meledak di udara, karena dianggap sebagai 'tanki pembawa gas berjalan'. 

Cuaca Ekstrem dan 'Awan Pembunuh'

Kemunculan 'awan pembunuh' di atas perairan tersebut pada tahun 2016 juga dianggap sebagai biang keladi hilangnya banyak kapal dan pesawat di sana. 
Fenomena 'awan pembunuh' ini dapat menjadi bom udara karena membawa angin berkecepatan 273,6 km/jam. Kecepatan sebesar itu setara dengan badai Katrina. 

Awan-awan yang berbentuk heksagonal ini dapat berkumpul dan membentang sepanjang 32 hingga 89 km. 

Belum lagi, cuaca ekstrem yang mungkin terjadi di lautan bisa muncul tiba-tiba tanpa peringatan. Meski pesawat zaman sekarang kerap dibantu dengan prediksi cuaca yang akurat, namun badai dan petir yang besar dan datang mendadak bisa saja menciptakan kecelakaan.

"Laut selalu menjadi tempat misterius bagi manusia. Jika cuaca dan navigasi tidak mendukung, maka akan menjadi tempat yang paling berbahaya," tulis NOAA.

Gas Metana di Dasar Laut

Penemuan kawah di lepas pantai Norwegia dengan lebar 0,8 km dan dalam 45 m oleh peneliti dari Arctic University of Norway menjadi dasar utamanya. Kawah ini diduga muncul karena ledakan gas metana yang menyembur ke permukaan dengan hebat. 

Gas ini dipercaya juga menciptakan 'burps of death' atau sendawa kematian yang menyebabkan air laut berubah menjadi busa dan menarik kapal ke dasar laut. Metana yang lepas ke angkasa juga mampu menciptakan turbelensi udara pada pesawat.

Meski begitu, geofisikawan dari U.S. Geological Survey (USGS), Carolyn Ruppel, mengatakan bahwa itu adalah hal yang mustahil. "Kebanyakan metana yang ada di dalam laut saat ini telah diproses oleh mikroba menjadi karbon dioksida. Tidak mungkin gas metana keluar utuh ke permukaan laut karena telah lebih dulu berubah menjadi karbon dioksida," kata Ruppel.

Kembali ke Masalembo. Teori tentang gas metana atau 'awan pembunuh' yang mungkin terjadi di Segitiga Bermuda tidak mungkin terjadi di perairan Masalembo yang memang tidak memiliki kawah metana. Cuaca buruk mungkin saja terjadi, namun tidak seekstrem Segitiga Bermuda.

Meski beberapa ahli mengatakan bahwa Masalembo kemungkinan memiliki titik kantung udara atau 'air pocket', tapi hampir mustahil menjadi penyebab kecelakaan-kecelakaan yang terjadi di Perairan Masalembo. 

Jawaban paling logis dan sederhana dari semua itu adalah cuaca buruk, masalah teknis pada kapal atau pesawat, dan/atau human error alias kesalahan manusia sendiri. Tidak ada hal mistis, seperti yang selama ini dipercaya masyarakat. 

Dan pada akhirnya, belum ada jawaban pasti dari sains tentang Masalembo dan Segitiga Bermuda, selain hanya kemungkinan-kemungkinan yang mungkin benar. Atau setidaknya, mendekati kebenaran.

Related

Mistery 3261809174348702681

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item