Kisah Pilu di Pulau Buru, Kamp Tahanan Politik dalam Sejarah Indonesia (Bagian 1)


Naviri Magazine - “Kau berbulan madu di happy land yang sudah jelas. Aku ke happy land somewhere: Konon ke Pulau Buru di Maluku, sebuah pulau lebih besar dari Bali. Dan besok kalau tidak dibatalkan oleh entah siapa, 17 Agustus. Kami berangkat bersama lebih delapan ratus orang dengan kapal ADRI XV sebagai hadiah ulang tahun Republik Indonesia,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. 

Pram membayangkan dirinya bakal berlayar seperti para nenek moyang di zaman prasejarah, bermigarasi mencari daratan dan kehidupan baru. Namun, dia—juga 850 orang tahanan politik lainnya—senyatanya bakal berlayar menuju tanah hukuman. 

Pada Agustus 1969, kala Indonesia tengah memperingati hari kemerdekaannya yang ke-24, gelombang pertama pengiriman tapol ke Pulau Buru dimulai. Mereka diberangkatkan dari pelabuhan Nusakambangan, Cilacap. Setidaknya bakal butuh waktu setidaknya sepekan untuk sampai ke Pulau Buru. Namun, pelayaran bakal lebih lama jika kapal yang digunakan berusia tua. 

Begitu memasuki laut lepas, kenang Pram, satu per satu kawan-kawannya mulai muntah didera mabuk laut. Banyak dari mereka sampai terkulai lemas. Tak hanya itu, dalam kapal reyot itu, mereka pun masih harus berjuang melawan kelaparan dan bau busuk kotoran manusia dari toilet yang mampat. 

“Sekiranya kapal ini tenggelam—kami akan mati bersama, delapan ratus orang ini—dalam sekapan dengan semua pintu terkunci dari luar. Ah-ya, apa salahnya mati?” kata Pram pilu. 

Kapal ADRI XV itu berlayar ke timur menyusuri Samudra Hindia. Kapal itu lantas menikung ke timur laut usai memasuki perairan Nusa Tenggara. Pram sempat heran, kapal renta itu rupanya bisa bertahan juga menghadapi ganasnya ombak Samudra Hindia. 

Sampai di Laut Banda, kapal itu mogok dua kali. Setelah sepuluh hari berlayar, kapal ADRI XV mulai memantai sisi timur Pulau Buru. Kapal kemudian memasuki Teluk Kayeli dan menuju Pelabuhan Namlea. Kapal pun berhenti di lepas pantai karena terlalu besar untuk bersandar di dermaga. 

“Dengan satu LC [landing craft] tapol pilihan mempelopori mendarat di pulau ‘Hidup Baru’, dengan segerobak perlengkapan dapur. Mereka mendarat di Namlea yang sedang dikalahkan garuda. Satu regu prajurit divisi Pattimura menyambut mereka dengan gagang senapan dan tinju,” kisah Pram. 

Proyek Tefaat Pulau Buru 

Pram adalah satu dari sekian ribu tapol terkait G30S 1965 golongan B yang “ditransmigrasikan” ke Pulau Buru dengan dalih rehabilitasi politik. Kala itu, rezim Orde Baru menyebut Pulau Buru sebagai “tempat pemanfaatan” alias tefaat. Beberapa tahun kemudian istilah itu diganti dengan “instalasi rehabilitasi”. 

Istilah-istilah yang muncul dari mulut rezim Orde Baru itu tentu saja sebuah penghalusan belaka. 

“Sebagian besar tapol agaknya sangat menyadari bahwa kondisi politik belum sepenuhnya berpihak kepada mereka. Kata ‘transmigrasi’ seperti yang sering diangkat media massa saat itu diartikan mereka sebagai kebijakan pemerintah Orde Baru untuk tetap melanjutkan penahanan,” tulis I.G. Krisnadi dalam Tahanan Politik Pulau Buru 1969-1979. 

Menurut Krisnadi, pemerintah Soeharto mulai melirik Pulau Buru sejak 1967. Dua tahun kemudian, terbitlah Surat Keputusan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) No. 1/1969 yang menunjuk Kejaksaan Agung sebagai pelaksana proyek Pulau Buru. Atas dasar itulah kemudian dibentuk Badan Pelaksana Resettlement Buru alias Bapreru. 

Tefaat Pulau Buru boleh jadi adalah proyek rehabilitasi ala Orde Baru yang paling populer di mata publik. Tapi, rezim Soeharto nyatanya masih punya beberapa lokasi resettlement lain bagi tapol terkait G30S 1965. Lokasi lainnya yang diketahui di antaranya berada di Buntoh, Kalimantan Tengah, dan Tanjung Kasau, Sumatra Utara. 

Pram termasuk dalam tapol golongan B yang paling awal jadi penghuni Tefaat Pulau Buru. Pada Desember tahun yang sama, pemerintah Soeharto mengirim lagi 1.650 tapol ke sana. Gelombang pengiriman tapol kemudian terus berlanjut hingga 1975. 

“Mereka yang diasingkan ke Pulau Buru sampai dengan tahun 1972 sebanyak 10.652 orang, termasuk sejumlah keluarga tapol,” tulis Krisnadi. 

Para tapol penghuni Pulau Buru semula adalah tapol golongan B yang mendekam di berbagai Rumah Tahanan Chusus (RTC) di Jawa. Menurut Hesri Setiawan dalam Kidung Para Korban: Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol, sebelum diberangkatkan, mayoritas tapol transit terlebih dahulu selama beberapa bulan di Penjara Nusakambangan. 

Pulau Buru memiliki luas 9.100 kilometer persegi. Kawasan yang kemudian dijadikan unit-unit penahanan adalah dataran di sepanjang Sungai Wai Apo. Semula Bapreru mempersiapkan area 1.000 kilometer persegi untuk dijadikan tefaat. Setelah sekian tahun, seiring dengan semakin banyaknya tapol yang didatangkan, luas tefaat menjadi 2.350 kilometer persegi. 

Kerja Wajib 

Pemerintahan Soeharto tidak menutupi proyek Tefaat Pulau Buru ini dari publik. Sebagaimana dikutip harian Indonesia Raya (20 Agustus 1969), Soeharto bahkan mengatakan para tapol di Pulau Buru bakal diberi pekerjaan dan lapangan hidup baru. Janji itu tentu saja jauh panggang dari api. 

Pada akhir 1960-an itu, Pulau Buru sangat sepi dan nisbi terpencil. Seturut kesaksian Suteja—bukan nama sebenarnya, salah satu tapol—Tefaat Pulau Buru merupakan lahan kosong yang tidak punya fasilitas apapun kecuali untuk aparat militer. Para tapol wajib membangun baraknya sendiri. Dengan keadaan seperti itu, Tefaat Pulau Buru kerap disamakan dengan pengasingan Boven Digul yang terkenal di era kolonial. 

Namun, menurut sejarawan University of California Los Angeles Geoffrey Robinson, Tefaat Pulau Buru sebenarnya lebih tepat jika dibandingkan dengan kamp tawanan perang di era Pendudukan Jepang. 

“Seperti kamp-kamp tersebut, para tahanan di Pulau Buru disuruh bekerja di bawah pengawasan penjaga militer dari pagi hingga malam. Mereka juga dipaksa membangun barak dan tempat tinggal staf, jalan besar serta setapak, juga mengubah hutan lebat dan padang rumput menjadi lahan pertanian,” tulis Robinson dalam Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966. 

Kerja wajib memang menjadi ciri khas Tefaat Pulau Buru. Bacalah sejumlah memoar mantan tapol Buru, dan Anda akan mendapati cerita-cerita yang kurang lebih sama. 

Tapol gelombang pertama agaknya menjalani masa-masa terberat karena dihadapkan pada kerja wajib membangun barak serta wisma bagi satuan militer yang mengawasi mereka. Selanjutnya, para tapol diharuskan membangun jalan yang menghubungkan unit-unit penahanan di Tefaat Pulau Buru. 

Baca lanjutannya: Kisah Pilu di Pulau Buru, Kamp Tahanan Politik dalam Sejarah Indonesia (Bagian 2)

Related

Indonesia 5353662220530728977

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item