Kisah Pilu di Pulau Buru, Kamp Tahanan Politik dalam Sejarah Indonesia (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Pilu di Pulau Buru, Kamp Tahanan Politik dalam Sejarah Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Selain karena tidak terbiasa, kerja wajib itu jadi begitu menyiksa karena para tapol tidak dibekali peralatan yang memadai. Alat yang disediakan oleh penguasa tefaat hanya meliputi gergaji, sabit, parang, dan cangkul. Itu pun dengan jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. 

Razif dalam “Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahanan Politik untuk Rezim Suharto”, mendapat keterangan dari seorang tapol bernama Kamaluddin bahwa para tapol diharuskan membersihkan lahan dengan cangkul tak bergagang dan parang yang tumpul. Pada akhirnya mereka pun terpaksa menyiangi lahan dengan tangan kosong. 

Tedjabayu—putra maestro lukis Sindoedarsono Soedjojono—juga punya cerita yang sama. Di hari-hari awal kedatangannya di Pulau Buru, Tedjabayu mengaku menderita karena dipaksa membuka sebidang tanah yang masih tertutup alang-alang dengan parang tumpul. Belum lagi, di tengah cuaca Buru yang panas, dia dan kawan-kawan tapol musti berkejaran dengan target. 

“Misalnya, hari ini harus mencangkul tanah seluas 10 hektar. Seharusnya semua kerja harus berakhir pukul 5 sore. Tapi kalau target tidak terkejar, kami bekerja sampai malam,” tuturnya dalam memoar Mutiara di Padang Ilalang. 

Setelah pembangunan unit-unit penahanan dan jaringan jalan selesai, kerja wajib lain sudah menanti, yaitu membuka hutan dan padang sabana untuk dijadikan sawah. Itu pun belum menghitung kerja-kerja lain untuk memproduksi bahan-bahan mentah, seperti minyak kayu putih, gula merah, garam, sagu, dan mengolah logam. Lagi-lagi, semua itu dikerjakan dengan peralatan seadanya. 

Bahkan, para tapol pun dilarang menggunakan kompas dan peta untuk pekerjaan-pekerjaan konstruksi—seperti membangun jalan baru dan jembatan. 

“Menurut petugas Tefaat, alat-alat bantu ini dapat dipakai tapol untuk mengenali lebih detail geografi Pulau Buru sehingga memudahkan mereka melarikan diri,” tulis Krisnadi. 

Cerita-cerita Pilu 

Selain dipaksa bekerja, para tapol di Pulau Buru juga dipaksa untuk mandiri. Negara hadir di Pulau Buru bukan untuk menjamin hidup mereka. Sebaliknya, para tapol diharuskan berusaha mencukupi dirinya di tengah berbagai keterbatasan. Itulah gunanya tanah pertanian yang mereka buka di bulan-bulan awal kedatangan. 

Seturut penuturan Kamaluddin yang dikutip Razif, selama lahan itu belum siap, para tapol hidup dari jatah ransum yang dibawa dari Jawa. Para tapol ditarget menyelesaikan lahan pertanian itu sebelum persediaan ransum habis. Masalahnya, ransum itu nyatanya habis sebelum lahan pertanian bisa berproduksi. Ransum juga cepat ludes gara-gara dicuri petugas pengawas tefaat. 

Tak punya jalan lain, para tapol pun mulai mengonsumsi apa pun yang bisa mereka temukan di sekitar barak. Demi bertahan hidup, memakan ular, cicak, atau kura-kura jadi hal lazim di antara para tapol. 

“Pekerjaan yang banyak mengeluarkan energi tapol itu tidak diseimbangkan dengan makanan yang cukup, sehingga banyak dari mereka yang menderita penyakit hepatitis, terutama tapol yang berumur 50 tahun ke atas,” tulis Razif. 

Hal lain yang menekan hidup para tapol pada awal kedatangannya di Pulau Buru adalah stigma negatif dari penduduk lokal. Seturut kesaksian Sanusi—bukan nama sebenarnya, warga lokal tahu bahwa para tapol dikirim untuk menjalani hukuman. Karena itulah, muncul prasangka bahwa para tapol adalah orang yang kejam. 

Warga lokal Buru juga beranggapan bahwa keberadaan ribuan tapol bakal mengancam sumber pangan mereka—terutama hewan buruan. Dalam memoarnya, Pramoedya mengakui bahwa para tapol pun terkadang berlaku tak pantas; mencuri tanaman warga, seperti mangga dan kelapa. 

Pramoedya juga menuturkan prasangka-prasangka buruk di antara warga lokal dan tapol sekali waktu pecah juga jadi konflik. Warga lokal dikabarkan merusak alat pengolah sagu milik tapol dan menaruh tanda peringatan di jalan masuk hutan. 

“Orang mengangguk mengerti: penduduk tak rela kelestarian sumber bahan pangan pokok mereka juga dikangkangi tapol setelah daerah perburuannya mereka kuasai,” tulis Pramoedya. 

Pernah pula terjadi kasus pembunuhan dengan korban para tapol. Tiga orang tapol—masing-masing bernama Wahyudin, Suharman, dan Sarna—ditemukan terbunuh dalam kurun 1971-1972. Ketiganya dibunuh dalam waktu berbeda ketika sedang mengail di rawa di dekat Sungai Way Tina. 

Setelah dilakukan penyelidikan yang melelahkan, dua orang warga lokal yang jadi pelakunya ditangkap. 

Para tapol akhirnya cari jalan keluar untuk memutus lingkaran setan prasangka itu. Caranya sederhana, yaitu mengajak warga lokal melakukan perdagangan barter atau baku pele dalam bahasa lokal Buru. Tujuannya adalah membangun interaksi yang saling menguntungkan antara tapol dan warga lokal. Sisa perbekalan para tapol yang dibawa dari Jawa, seperti alroji, celana, baju, atau sepatu, ditukar dengan hasil pertanian penduduk setempat. 

Serangan penyakit adalah masalah lain yang juga musti dihadapi tapol. Menurut Krisnadi, malaria adalah penyakit yang kerap menyerang karena lingkungan sekitar tefaat adalah hutan lembab dan rawa-rawa. Setiap unit memang punya balai pengobatan, tapi tentu saja peralatan medis dan obat-obatannya terbatas. 

Tapol yang sakit keras sebenarnya dibolehkan tidak kerja wajib. Namun, itu tidak berarti perlakuan para pengawas terhadapnya bakal melunak. Dalam memoarnya, Pramoedya menceritakan kisah penghuni Unit III Wanayasa bernama Kayun sebagai contoh sial dari buruknya perlakuan pengawas tefaat. 

Medio 1971, karena malarianya kambuh, Kayun sempat dirawat di balai pengobatan. Tapi, Komandan Unit III tiba-tiba justru menyuruh Kayun—juga beberapa pasien lain—berlari memutari lapangan. Tak hanya itu, dia juga kena hajar si komandan. Nahas, Kayun kemudian bunuh diri dengan menenggak racun karena tak kuat menderita. 

“Pemuda yang belum lagi 25 itu, belum lagi tamat sekolah pendidikan guru Malang, malu karena dihidupi orang tua-tua, malu dihinakan seorang Kapten, telah memilih mati, tepat pada waktu di dunia bebas orang memperingati Super Semar: 11 Maret 1971,” tulis Pramoedya dalam memoarnya. 

Cerita-cerita nahas seperti itu belum lagi lengkap tanpa menyebut hukuman fisik ala militer yang ditimpakan pada tapol yang dinilai berkinerja buruk atau membangkang. Selain kekerasan fisik, para tapol juga diancam akan dipenjarakan dan dipindahkan ke tempat yang lebih buruk jika masih saja keras kepala di depan pengawas tefaat. 

Merujuk laporan harian Abadi (22 Desember 1969), pengawas Tefaat Pulau Buru sudah menyiapkan tempat khusus bagi tapol jika melakukan pelanggaran. Tempat khusus itu adalah Unit III Wanayasa yang pengawasannya lebih ketat daripada unit-unit yang lain. 

Selain itu, ada pula Kamp Khusus Jikukecil di dekat Kota Namlea. Sejak 1972, ia dijadikan “unit hukuman” bagi para tapol yang dinilai melakukan pelanggaran. 

Related

Indonesia 4846065923032622050

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item