Lahirnya Generasi Z, Meluasnya Akses Internet, dan Matinya Media Cetak


Naviri Magazine - Kehadiran internet dan perkembangan teknologi ponsel pintar membentuk cara membaca berita Generasi Z. Dua generasi sebelumnya, generasi X dan Y (Milenial) pun mengalami perubahan kebiasaan mengakses berita. Mereka yang dulu terbiasa membaca koran tiap pagi kini perlahan menggantinya dengan mengecek apa yang terjadi lewat ponsel. 

Perubahan ini, mau tak mau, membuat industri media harus beradaptasi. Media-media sekarang—terutama yang berbasis di Jakarta—tidak bisa terus mengandalkan pembaca-pembaca tua yang tak lama lagi bakal tiada. 

Selama puluhan tahun, Jakarta menjadi pusat industri media cetak, online, maupun televisi. Sentralitas ini membuat porsi pemberitaan Jakarta dan sekitarnya jauh lebih besar dibanding daerah lain di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi warga Jakarta seolah menjadi persoalan nasional. 

Remotivi, lembaga studi dan pemantauan media, pernah melakukan riset mengenai sistem penyiaran yang berpusat di Jakarta. Ia menunjukkan berita di 10 stasiun televisi swasta, meski bersiaran secara "nasional", hanya melayani penonton dari Jakarta secara khusus dan Pulau Jawa secara umum. Riset itu mendapati 73 persen berita berdimensi “nasional” di televisi berasal dari Jabodetabek. 

Di Jakarta, seperti kota-kota besar dunia lain, perusahaan media cetak mengalami penurunan sirkulasi seiring penetrasi internet yang meningkat. Berdasarkan data Serikat Perusahaan Pers (dulu bernama Serikat Penerbit Suratkabar), pertumbuhan oplah koran melambat sejak 2011. 

Pada 2011, pertumbuhan oplah harian hanya 5,85 persen. Pada 2012, pertumbuhannya semakin melambat: hanya 2,69 persen. Tahun berikutnya, perlambatan menjadi 0,98 persen. Pada 2014, pertumbuhannya yang tak sampai satu persen itu tergerus lagi: hanya 0,55 persen. Barulah pada 2015, ia sama sekali stagnan dan malah merosot. 

Beberapa pengusaha suratkabar di Jakarta juga terpaksa menjual perusahaan mereka kepada konglomerat media digital. Pada 2006, Suara Pembaruan dijual ke Lippo Group. Saat itu ia sudah berusia 19 tahun. 

Suara Pembaruan adalah koran yang terbit pada sore hari. Perkembangan internet menggerus sirkulasinya. Pada 2001, koran ini sudah mencoba mengantisipasi kehadiran internet dengan membuat edisi online. Hanya saja portal berita Suara Pembaruan kala itu cuma berisi berita-berita yang juga terdapat di koran. 

Koran sore lain yang bernasib sama adalah Surabaya Post, yang dijual ke Bakrie Group pada 2008. Sementara koran-koran lokal bertahan dengan mengandalkan dana dari pemerintah daerah. 

“Pada beberapa media, ketergantungan akan iklan dari pemerintah hingga 75 persen. Jadi, kalau pemerintah menghentikan iklan itu, mereka kemungkinan besar akan kolaps,” kata Ross Tapsell, dosen dan peneliti Asian Studies di Australian National University (ANU). 

Studi Tapsell mengenai ekonomi-politik media digital di Indonesia, berjudul Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution. Tapsell mengatakan digitalisasi membuat kepemilikan di industri media semakin terkonsentrasi. 

“Pemilik media dan eksekutif di Indonesia percaya bahwa di masa depan digital yang sangat tidak pasti, lebih baik mengembangkan jangkauan audiens dan pembaca daripada untuk tetap mengkhususkan diri dalam satu platform,” ujar Tapsell. 

Ada delapan konglomerat media di Indonesia yang menguasai pelbagai platform media, dari konten hingga ke jaringan TV digital. Delapan mogul ini adalah Trans Corp (Chairul Tanjung), Global Mediacom (Hary Tanoesoedibjo), Emtek yang punya stasiun televisi SCTV (keluarga Sariaatmadja), Visi Media Asia (keluarga Bakrie), Media Group (Surya Paloh), BeritaSatu Media Holding (Keluarga Riady), Jawa Pos (Dahlan Iskan), dan Kompas Gramedia Group (Jakob Oetama). 

Beberapa dari konglomerat ini melebarkan jangkauan untuk memiliki platform media sosial. Pada 2011, MNC menjadi rekanan WeChat—aplikasi layanan pesan asal Tiongkok. Pada 2013, Bakrie Group berinvestasi di Path senilai $25 juta. Namun, saat Path dijual ke KakaoTalk pada 2015, Bakrie tak memiliki saham apa-apa lagi. 

Menghadapi era digital dan generasi yang dekat dengan internet, kata Tapsell, model bisnis semua konglomerat media digital di Indonesia hampir sama. Mereka berusaha menjadi perusahaan media multiplatform, dan untuk mencapai hal itu, mereka memusatkan produksi berita mereka. 

Rencana bisnis masing-masing perusahaan juga sama, yakni merebut audiens Indonesia lewat sebanyak mungkin platform. Mereka juga membangun “ekosistem” media, dari konten hingga infrastruktur komunikasi. 

Paul Bradshaw, ketua jurusan jurnalisme multiplatform dan mobile di Birmingham City University, menilai upaya penguasaan industri media dari hulu hingga hilir bukanlah hal baru. “Bisnis selalu berusaha mengendalikan rantai pasokan dan memperluas operasinya secara vertikal dan horizontal,” katanya. 

Dalam industri media, lanjut Bradshaw, bisnis yang paling menguntungkan adalah bisnis yang menyediakan jaringan dan konektivitas, bukan yang membuat konten. “Jadi wajar para mogul akan tertarik karena tujuan mereka adalah uang,” imbuhnya. 

Tetapi Bradshaw mengingatkan bahwa monopoli dan eksploitasi dari dominasi para konglomerat media punya sisi bahaya terhadap jurnalisme. “Masyarakat butuh mendengar banyak suara dari beragam sudut pandang, bukan berita yang seragam,” ujarnya. 

Tapsell punya kekhawatiran yang sama dengan Bradshaw, “Konglomerat media punya kecenderungan untuk saling meniru dalam produksi konten, yang menghasilkan liputan yang sangat mirip satu sama lain.” 

Bagi media-media di luar kuasa konglomerat tetapi punya mutu jurnalisme yang baik, menurut Tapsell, sudah dan bakal semakin berdarah-darah menghadapi perkembangan ini. Jangankan Generasi Z, katanya, Milenial saja sudah mulai meninggalkan cetak. Media-media cetak itu kemudian membuat platform online dengan mutu jurnalisme yang berbeda dari versi cetaknya. 

Menurut Tapsell, berita-berita di kebanyakan platform online di Indonesia hanya menjelaskan apa, siapa, kapan, dan di mana. Berita-berita pendek itu kerap tidak menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana. Jurnalisme yang mengedepankan berita cepat, bukan mendorong pada cara bertutur dan kedalaman. 

Dari riset, Generasi Z sebenarnya tidak suka dengan berita-berita yang serba tanggung dan boncel. Imam Kurniawan, Tiara Dewanty, dan anak-anak muda lain adalah generasi yang menjadikan kelengkapan informasi sebagai alasan memilih berita, selain alasan kemudahan akses. 

Meski mengandalkan media sosial, mereka juga ternyata kecewa terhadap model berita sepotong-sepotong dan minim menjawab pertanyaan 5W+1H. Tiara kerap mendumel jika berita yang dibacanya berbeda dari judul atau gagal menjawab rasa penasaran yang membuatnya mengklik. Imam benci pada acara berita televisi yang pembawa acaranya bertingkah berlebihan tetapi berita yang disajikan kosong isi. 

Selama ini, ada banyak sekali anggapan bahwa anak muda menyukai visual yang atraktif. Dari riset, hanya 1,9 persen responden yang menjawab tampilan visual sebagai alasan memilih media. Imam dan Tiara, misalnya, menyukai tampilan visual yang bagus, tetapi hal itu tidak menjadi landasan utama mereka memilih sumber berita.

Related

Internet 5275992090834539414

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item