Mengapa Orang Timur dan Barat Berpikir dengan Cara yang Berbeda? (Bagian 3)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Orang Timur dan Barat Berpikir dengan Cara yang Berbeda? - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Teori kuman

Ide (pembalik) lain adalah bahwa pola pikir yang saling kontras merupakan respons yang berkembang atas kuman. Corey Fincher (sekarang di Universitas Warwick) dan para rekannya menganalisa data epidemiologi global untuk menunjukkan skor individualisme dan kolektivisme sebuah daerah berhubungan dengan prevalensi penyakit: semakin besar kemungkinan anda terinfeksi, anda semakin kolektif, dan tidak begitu individualis.

Ide kasarnya adalah kolektivisme dicirikan dengan konformitas yang lebih besar dan rasa hormat terhadap orang lain, dapat membuat orang lebih hati-hati untuk menghindari perilaku yang menyebar penyakit. 

Sulit untuk membuktikan bahwa korelasi yang nyata di dunia nyata tidak disebabkan oleh faktor lain, seperti kekayaan sebuah negara, namun eksperimen laboratorium menawarkan dukungan atas ide tersebut - saat psikolog mengumpan orang-orang untuk merasa takut akan penyakit, mereka tampat mengadopsi cara berpikir yang lebih kolektif, seperti konformitas yang lebih besar atas perilaku kelompok.

Namun mungkin teori yang paling mengejutkan datang dari ladang. Thomas Talhelm dari Universitas Chicago menguji 28 provinsi berbeda di Cina, dan menemukan bahwa orientasi berpikir merefleksikan agrikultur lokal daerah tersebut.

Talhelm mengatakan bahwa dia pertama kali terinspirasi oleh pengalamannya di negara tersebut. Saat mengunjungi Beijing di utara, dia menemukan bahwa orang asing akan jauh lebih berani - "Jika saya makan sendiri, orang akan datang dan berbicara ke saya" - sedang yang tinggal di selatan di kota Guangzhou cenderung lebih segan dan takut mengganggu.

Rasa hormat ke orang lain ini seakan pertanda yang halus akan pola pikir kolektif, dan Talhelm pun mulai mencari tahu apa yang menjadi latar belakang kedua pandangan tersebut. Perbedaannya sepertinya tidak berkorelasi dengan ukuran kekayaan atau modernisasi, namun dia melihat satu perbedaan dapat berupa jenis tanaman pokok yang ditanam di wilayah tersebut: padi di sebagian besar area selatan, dan gandum di utara.

"Itu terbagi hampir sangat rapi di sepanjang sungai Yangtze," kata Talhelm.

Menanam padi membutuhkan lebih banyak kerjasama: lebih padat karya dan membutuhkan sistem irigasi yang kompleks yang mencakup banyak ladang. Ladang gandum, sebaliknya, membutuhkan setengah pekerjaan dan tergantung pada curah hujan dibanding irigasi, yang berarti para petani tidak perlu bekerjasama dengan tetangga mereka dan dapat fokus mengelola tanaman mereka sendiri.

Dapatkah perbedaan ini diartikan sebagai pola pikir yang lebih kolektif atau individualis? 

Bekerja dengan para peneliti di Cina, Talhelm menguji lebih dari 1.000 murid di berbagai daerah yang menanam padi dan gandum, menggunakan ukuran seperti tes tiga serangkai dari pandangan holistik. 

Mereka juga meminta orang-orang untuk menggambar sebuah bagan yang menggambarkan hubungan mereka dengan teman-teman dan rekan mereka: orang-orang di lingkungan individualis cenderung untuk menggambar diri mereka lebih besar dibanding teman-teman mereka, sedang orang yang kolektif cenderung membuat semua orang dengan ukuran yang sama. 

"Orang Amerika cenderung menggambar diri mereka sangat besar," kata Talhelm.

Tentu saja, orang-orang di area yang menanam gandum cenderung untuk mendapatkan skor lebih tinggi di ukuran individualisme, sedang orang-orang di area yang menanam padi cenderung menunjukkan pandangan yang lebih kolektif dan holistik. Ini juga berlaku di perbatasan antar wilayah. 

"Di sini orang-orang tinggal berdekatan, namun yang satu menanam nasi, yang satu menanam gandum - dan kami masih menemukan perbedaan budaya".

Dia telah menguji hipotesanya di India, yang juga menunjukkan perbedaan yang jelas di wilayah yang menanam gandum dan nasi, dengan hasil yang sama. Hampir semua orang yang diwawancarainya tidak secara langsung terkait dengan pertanian, tentu saja - namun tradisi turun-temurun di wilayah mereka masih membentuk pandangan mereka. "Ada kesemuan di dalam budaya".

Kaleidoskop kognitif

Penting untuk menegaskan bahwa ini semua adalah tren yang luas di banyak orang; atau nada spektrum dalam setiap populasi yang diuji. 

"Ide bahwa ini adalah hitam dan putih - dari sudut pandang antropologi, tidak bisa,” kata Delwar Hussain, seorang antropolog di Universitas Edinburgh, yang bekerja dengan Mesoudi dalam studi komunitas Bangladesh-Inggris di London. 

Seperti yang diutarakan Hussain, banyak koneksi sejarah antara negara-negara Timur dan Barat yang artinya sebagian orang memiliki kedua cara berpikir, dan faktor-faktor seperti usia dan kelas sosial juga memiliki pengaruh.

Sudah tujuh tahun sejak Henrich mempublikasikan studinya yang menjelaskan bias 'Weird', dan respons yang telah diterimanya cukup positif. Dia sangat senang mengetahui bahwa peneliti seperti Talhelm mulai membuat proyek besar untuk mencoba mengetahui kaleidoskop akan berbagai cara berpikir. 

"Anda ingin sebuah teori yang menjelaskan mengapa populasi yang berbeda memiliki psikologi yang berbeda".

Namun kendati niat yang baik, perkembangan lebih jauh sangat lambat. Uang dan waktu memampukan percobaan pandangan ini di seluruh dunia, kebanyakan penelitian masih menguji partisipan 'Weird' dengan mengorbankan keberagaman yang lebih besar. "Kami setuju akan penyakitnya. Pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya solusinya."

Related

Science 2243504737800217483

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item