Komentar Psikolog dan Ahli Hukum Terkait Kasus Siskaeee


Siskaeee diduga mengidap paraphilia exhibitionist. Label ekshibisionis terhadap Siskaeee dianggap ganjil oleh seksolog.

Di stasiun Bandung, FCN alias Siskaeee diringkus polisi. Sebab, wanita berusia 23 tahun itu merekam aksi setengah bugil di parkiran mobil lantai II Yogyakarta International Airport (YIA), Kulon Progo, pada 30 Juli 2021. Berdasarkan penelusuran polisi, perilaku menyimpang yang dialami oleh Siskaeee merupakan buntut dari trauma masa lalu.

"Perilakunya sering impulsif dan kompulsif, di mana di saat yang sama ia merasa gembira, takut, gelisah, dan mendapatkan kepuasan dengan memamerkan kelamin atau bagian tubuh yang lain," ungkap Kabid Humas Polda DIY Kombes Yulianto di kantornya, Sleman, Selasa, 7 Desember 2021.

Siskaeee diduga melanggar Pasal 29 juncto Pasal 4 ayat (1) dan/atau Pasal 30 juncto Pasal 4 ayat (2) UU 44/2008 tentang Pornografi dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun serta denda paling banyak Rp 6 miliar. Dia juga dijerat dengan Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat (1) UU 19/2016 tentang UU ITE.

Siskaeee diduga mengidap paraphilia exhibitionist karena sering menunjukkan bagian vitalnya di muka umum, seperti parkiran, minimarket, mal, hingga bandara. Menurut Diagnostic Statistical Mental Disorders 5th, seksolog Zoya Dianaesthika Amirin, terdapat dua gelombang ekshibisionis, yaitu paraphilia exhibitionist dan paraphilia exhibitionist disorder.

Perbedaannya terdapat di pemuasan hasrat seksual. Pada paraphilia exhibitionist, menunjukkan bagian tubuh sensitif ke khalayak menjadi syarat utama sebelum melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Sementara itu, pada pengidap paraphilia exhibitionist disorder mengekspos bagian tubuh sensitif di muka umum menjadi jalan satu-satunya pemuas hasrat seksual.

“Dia (paraphilia exhibitionist) tidak lagi butuh hubungan seks. Cukup memamerkan kelaminnya di tempat ramai, dia akan terangsang sampai orgasme,” jelasnya.

Menurut Zoya, Siskaeee tidak dikategorikan sebagai pengidap paraphilia exhibitionist karena tidak terlihat satu pun orang dalam video yang memuat konten asusila tersebut, ditambah konten video tersebut merupakan komoditas Siskaeee meraup cuan.

“Kalau ekshibisionis sejati itu nggak ada motif apa pun, apalagi bayaran. Ini juga bukan termasuk prostitusi, tetapi ini termasuk pornografi,” tutur psikolog lulusan Universitas Indonesia tersebut.

Selain itu, butuh minimal waktu enam bulan bagi seseorang untuk merasakan tekanan rangsangan seksual untuk mengumbar bagian sensitifnya ke muka umum. Ini sampai bisa diagnosis ekshibisionis.

“Nggak bisa karena cuma memenuhi satu indikator langsung dilabeli seperti itu (ekshibisionis),” ujarnya.

Zoya menilai Siskaeee hanyalah seorang adrenaline junkies. Perempuan asal Sidoarjo, Jawa Timur, itu menyukai tantangan yang berbahaya karena memacu adrenalin.

“Dia mencari keseruan, excitement, bukan seberapa terangsangnya dia melihat publik yang melihat dirinya telanjang, tapi masalahnya di-upload lalu dijual,” ungkapnya.

Pornoaksi yang dilancarkan Siskaeee juga memperlihatkan quick gratification, kepuasan yang dirasakan berasal dari dopamin yang berasal dari merekam video tak senonoh secara diam-diam. “Adrenalinnya terpacu bikin orang penasaran. Buat saya, ini cara dia untuk pemuasan kebutuhan,” jelasnya.

Senada dengan Zoya, pengacara publik LBH Jakarta Aprilia Lisa Tengker juga menilai tindakan asusila yang dilakukan oleh Siskaeee belum bisa dikatakan ekshibisionis. Sebab, dalam video saat melancarkan aksinya, Siskaeee memang terlihat berada di parkiran Bandara YIA, tetapi saat itu kondisi sekitar dalam video sedang sepi.

“Harus dilihat kembali fakta lapangannya seperti apa, apakah saat itu di sekitarnya ada banyak orang apa nggak,” kata Aprilia.

Aprilia menjelaskan akan menjadi tidak sejalan dengan pasal yang dijeratkan jika Siskaeee mengidap paraphilia exhibitionist. “Misalnya betul dia didiagnosis ekshibisionis dihukum, itu ada hal pemaaf, itu bisa jadi hukumannya dikurangi. Kalau benar ekshibisionis, nggak mungkin itu pasal yang dikenakan polisi,” ujarnya.

Dia menambahkan, trauma masa lalu yang dialami oleh Siskaeee mesti mendapat pendampingan dan penanganan yang tepat. Sebab, masalah tidak akan selesai jika trauma ditangani dengan jeratan pidana saja. Selain itu, KUHP saat ini belum memerinci jelas secara spesifik mengenai perbuatan pelecehan seksual.

“Pekerjaan rumahnya ada di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Jadi, sebelum disahkan, harus dirinci kembali makna pelecehan seksual tuh apa saja. Karena sebetulnya masih karet banget, definisi pelecehan seksual masih terlalu luas,” tuturnya.

Negara juga harus hadir dalam penanganan kesehatan mental warga negaranya. Menurut Aprilia, saat ini sarana dan prasarana yang disediakan masih terbilang minim. “BPJS memang bisa, tapi kan alurnya rumit ya. Harusnya akses konseling ke psikolog itu dipermudah,” katanya.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi juga urun rembuk. Dia meminta aparat penegak hukum berlaku seadil-adilnya melihat latarbelakang trauma masa lalu yang pernah Siskaeee alami.

“Hakim, melalui Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum itu, harus mempertimbangkan trauma masa lalu,” ujarnya.

Sementara itu, data laporan Komnas Perempuan menunjukkan mayoritas korban ekshibisionis adalah perempuan. “Ini termasuk pelecehan seksual. Mereka mengadu ke kami, kepada mereka diperlihatkan oleh laki-laki alat kelaminnya secara langsung dan melalui pesan instan,” ujarnya.

Hal ini sejalan dengan pasien seksolog Zoya, yang ternyata 70 persen pengidap parafilia adalah laki-laki.

Related

News 3799443707188500790

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item