Kisah Brigjen Yehu: Hidup Sederhana, Inovator Teknologi Polri (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Brigjen Yehu: Hidup Sederhana, Inovator Teknologi Polri - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Penggagas Tes SIM Komputer

Pada tahun 1998, Yehu menggagas ujian SIM menggunakan komputer. Yehu kala itu mendapatkan keluhan dari seorang mahasiswa yang melakukan ujian teori SIM, akan tetapi tidak pernah lulus.

"Suatu saat ada seorang mahasiswa datang ke raungan saya, agak sedih, 'hari ini saya dinyatakan tidak lulus, saya udah 3 kali, artinya saya tidak boleh tes lagi dan saya tidak akan memiliki SIM seumur hidup saya'. Saya kasihan sama dia, saya waktu itu Wakasatlantas di Poltabes Medan," jelasnya.

Yehu kemudian mengecek keluhan mahasiswa itu kepada anggotanya. Setelah melakukan pengecekan, dia menemukan bahwa hasil ujian teori SIM mahasiswa tersebut lulus, Yehu pun marah akan hal itu.

"Jadi saya cek hasil ujiannya, masih manual yang dibolong-bolongin kunci jawaban, saya cek ketahuan, 'lulus nih anak', saya tempelin lagi kok lulus. Jadi saya marah betul, waduh zaman dulu kan masih Orde Baru, saya gamparin anggota itu, saya marah betul," jelasnya.

Atas dasar itu, Yehu melapor kepada atasannya di Polrestabes Medan. Yehu berinisiatif untuk menjadikan tes manual itu ke tes menggunakan komputer.

"Saya kan udah suka IT dari dulu, saya bilang, 'bang ini kita harus komputerisasi ujiannya juga, jadi tentunya ini akan prestasi juga buat abang' saya bilang kan, untung komandan saya setuju, saya bilang saya panggil teman-teman akhirnya jadilah, saya mindahin yang manual ke komputer, yang meriksanya komputer, jadi di situ kita bisa fair dong, mahasiswa itu ujiannya yang nilai bukan manusia, bukan petugas. Langsung di situ komputer ngeluarin hasilnya, anda lulus lanjutkan ke tes berikutnya," sebut dia.

Yehu menyebut komputerisasi itu pertama kali di Indonesia pada tahun 1998. Penggagas adalah dirinya di Polrestabes Medan.

"Akhirnya jadi diresmikan itu pertama kali di Indonesia, Polrestabes Medan," jelasnya.

Brigjen Yehu juga pernah menerima rekor MURI karena menginisiasi gerakan respons cepat polisi. Yehu memecahkan rekor itu saat bertugas sebagai Wakapolrestabes Manado tahun 2006-2007. Yehu lantas mencerikan awal mula ide tersebut dia dapatkan.

"Itu kan dulu zaman saya Kapolsek di Kemayoran waktu zaman Pak Makbul Padmanegara jadi Kapolda Metro Jaya, beliau mencanangkan bantuan polisi 112, jadi kalau polisi dipanggil beliau bilang harus di bawah 15 menit udah datang ke masyarakat, beliau ngeluarin call center 112, selain itu beliau kerja sama dengan Radio Suara Metro, jadi saya wajibkan anggota saya harus nyetel radio itu, jadi kalau ada masyarakat telepon Radio Suara Metro atau telepon 112, itu saya wajibkan harus di bawah 15 menit harus nyampai, kalau enggak kena hukum sama saya," jelasnya.

Aksi respons cepat polisi tersebut kemudian diterapkan Yehu di Polrestabes Manado. Dia menyebut para anggota difasilitasi motor sehingga bisa bergerak cepat ketika mendapat panggilan darurat dari warga.

"Itu saya bawa ke Manado waktu saya Wakopoltabes di Manado tahun 2006-2007. Waktu itu memang Kapoldanya Pak Bekto Suprapto dia pas dilantik udah bawa motor 10 biji, dia kasih ke Poltabes Manado, dia bilang ini harus digunakan untuk patroli untuk melayani masyarakat yang membutuhkan bantuan," katanya.

Yehu kemudian mengurangi durasi waktu respons cepat itu dari 15 menit menjadi 10 menit. Para anggota diminta untuk merespons cepat panggilan masyarakat.

"Nah di situ saya bikin 10 menit saya wajibkan dan itu berhasil, akhirnya saya daftar ke rekor MURI, rekor MURI ngetes-ngetes bahkan MURI cek dia 5 menit, bahkan Pak Makbul Wakapolri waktu itu ngetes juga dari Jakarta dan itu benar cepat, semuanya cepat, jadi kita bantuan ke polisi waktu saya jamin sangat cepat," sebut dia.

Dalam bertugas sehari-hari sebagai Pati Polri, Brigjen Yehu tidak memiliki pengawal. Brigjen yehu mengaku tidak suka dikawal.

"Saya pikir karena pertama tugas saya kan di fungsional. Jadi saya pikir saya nggak perlu dikawallah, saya dari dulu nggak suka dikawal," jelasnya.

Menurut Brigjen Yehu, alangkah baiknya anggota polisi yang menjadi pengawalnya itu menjadi pelayan masyarakat. Karena, menurutnya, pimpinan dari polisi adalah masyarakat.

"Saya berpikir, dulu ya itu ribut perbandingan polisi dan masyarakat itu, menurut PBB kan 300 masyarakat harus ada 1 polisi, pelindung pengayom safe and protect-nya lah menurut PBB. Kalau dihitung-hitung, umpamanya 3 juta masyarakat di 1 tempat jadi harus butuh polisi banyak. Sekarang kalau disuruh ngelayani pimpinan ngurang dong, kan semua ngeluh terus kekurangan polisi," tutur dia.

"Tapi kok semua ngelayani pimpinan, bukan ngelayani masyarakat, padahal saya bilang pimpinan sebenarnya itu masyarakat, bukan yang jenderal-jenderal itu menurut saya. Makanya saya akhirnya mungkin dianggap aneh-aneh juga sama teman-teman yang lain itu, tapi kan logika saya benar nggak? Polisi itu dibuat, diciptakan, dididik untuk siapa? Untuk masyarakat. Jadi saya dari dulu nggak mau saya dilayani, saya lebih suka melayani," lanjutnya.

Related

Figures 392508762250538572

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item