Resensi Film Guardians of the Galaxy Vol. 3


Guardians of the Galaxy Vol. 3 mengambil waktu beberapa tahun setelah peristiwa di Endgame. Ia menjadi film kedua dalam Fase 5 Marvel Cinematic Universe (MCU), sekalian menjadi penutup trilogi saga yang dimulai pada 2014. 

Proyek terakhir James Gunn untuk MCU sebelum berlaku sebagai kepala kreatif DC Studios ini juga mengambil waktu selepas The Guardians of the Galaxy Holiday Special yang dirilis akhir 2022 lalu—di mana Guardians menempati rumah baru, mendapati anggota baru, dan hubungan darah anggotanya disingkap. 

Kini, para begajulan multispesies itu kembali. Dari regu dan karakter yang terbilang obskur menjadi bagian dari A-list Marvel, sukses besar dan dicintai khalayak, serta yang terpenting membuat kita peduli pada rakun dan pohon yang bisa berbicara. 

Gembar-gembor besar menyertai setiap kemunculannya. Ragam antisipasi dan teori merebak liar pada tiap kelanjutannya, seperti yang terkini, diiringi rumor kematian Rocket Racoon dan/atau Star-Lord. 

Masih GotG, Masih Gunn 

Nyatanya, Gotg Vol. 3 memang “Rocketsentris”. Ia jadi sebentuk perpisahan Gunn terhadap saga dan sederet karakter yang dia tukangi satu dekade terakhir, lebih-lebih Rocket. Sang sutradara mengerahkan segala triknya di sini. Dengan badass-nya gerak slo-mo para Guardians yang mengingatkan kita pada kerennya superhero, dengan sederet aksi dan komedi. 

Sebuah space opera dengan warna-warna menyala dan estetika desain yang liar, terutama desain Orgoscope serta pakaian para penghuninya. Pastinya, masih diiringi pilihan musik yang mencolok. Tembang Creep oleh Radiohead bisa jadi salah satu lagu paling overplayed sepanjang masa. Kini, nomor itu sepenuhnya terdengar segar ketika dijadikan pembuka film. 

Terdapat lebih banyak pilihan lagu dari 3-4 dekade silam yang membuat setiap adegannya terasa “filmnya Gunn”; lagu-lagunya Spacehog, The Beastie Boys, Heart, hingga yang lebih dekat seperti Florence + The Machine yang diberdayakan sebagai ekstensi para karakter maupun plot. 

Langkah-langkah yang diambil Gunn masih menyatakan sang sutradara sebagai yang terbaik dalam menangani penceritaan tim semacam ini (Guardians maupun Suicide Squad). Narasi yang Rocketsentris tak menjadikannya menepikan sejumlah aktor lain dengan karakter masing-masing. 

Peter Quill alias Star-Lord (Chris Pratt) sedang berada dalam situasi terendahnya: kehilangan kekasih dan kini di ambang kehilangan teman terbaiknya. Gamora kini hadir sebagai karakter yang belum mengenal rekan-rekan Guardiansnya, juga dibawakan dengan segar oleh Zoe Saldana. 

Duet Drax (Dave Bautista) dan Mantis (Pom Klementieff) kian sahih sebagai pencetus humor di banyak segmen. Groot (Vin Diesel) barangkali yang jadi agak terpinggirkan. Namun itu bisa dimaklumi karena si pohon sentien kini tumbuh besar, tak lagi butuh banyak perhatian lebih. Yang pasti, dia tak lagi ditugaskan sekadar jadi maskot grup. Justru Nebula (Karen Gillan), yang meski masih menilai individu lain dari kapabilitasnya, kini lebih menunjukkan sisi emosionalnya. Dia lebih proaktif menggerakkan tim saat para pemimpin mereka lebih sering mabuk. 

Perkembangannya paling terasa dan justru penting untuk disorot mengingat statusnya sebagai karakter yang paling akrab dengan Rocket, tatkala seluruh teman mereka dilenyapkan Thanos. Bradley Cooper kian gemilang dalam menyuarakan Rocket, tapi jangan lupakan Sean Gunn. Tak hanya sebagai Kraglin si karakter sampingan seperti sebelumnya, dia kini kebagian peran krusial sebagai penerus Yondu. Lain itu, dia juga kebagian memerankan gerak-gerik dan ekspresi si rakun. 

Mereka dihadapkan pada villain seperti High Evolutionary yang “benar-benar villain”, yang dimainkan dengan jitu oleh Chukwudi Iwuji. Kebiasaan Marvel belakangan, dalam membuat villain mereka menyerupai antivillain atau minimal punya poin dan latar yang bisa dipertimbangkan, barangkali turut mendorong High Evolutionary menjelma jenis villain yang lama dirindukan. 

Mudah untuk membuat High Evolutionary jadi durjana, bukan hanya dengan klise genosida sebagai sosok yang bermain sebagai tuhan dan menciptakan utopia versinya, tapi juga karena dia sosok penyiksa hewan. Di sanalah hati GotG Vol. 3, kisah heist/caper yang bertujuan menghentikan seorang penyiksa hewan, penyelamatan makhluk-makhluk tak berdosa yang dijadikan subjek eksperimen. 

Ini Okja-nya Marvel, dengan tribut untuk Laika (salah satu hewan yang dikirim manusia ke luar angkasa dan tak pernah kembali), dengan dorongan untuk bergegas mendekap erat hewan peliharaanmu di rumah sekembalinya kau dari bioskop. 

Kendati kian muram, komedi masih menjadi sifat utama film. Satu waktu, Quill tak sungkan membunuh karakter bernama Recorder Theel—tangan kanan High Evolutionary yang digambarkan bengis terhadap Rocket dan hewan-hewan lain. Itu momen yang memberi level keseriusan baru pada kapten Guardians, yang sebetulnya dilatari adu argumen kocak dengan Drax yang hendak membunuh, setidaknya "satu orang tolol yang tak dicintai siapa pun." 

Selebihnya, berpencar humor yang lebih cerah dan ringan. Baik itu penjelasan sekenanya Quill ihwal tetap hidupnya Gamora pasca Endgame atau bahkan konyolnya referensi pada lukisan “Penciptaan Adam” karya Michelangelo tatkala Adam Warlock menyelamatkan Quill. 

Trilogi GotG memang selalu lucu dan komikal di permukaan, tapi Gunn sejatinya selalu menyisakan ruang untuk poin plot yang sentimental. Kali ini, keduanya bertumbukan. Kelucuan dan kepedihan jadi berimbang, benar-benar terasa seperti roller coaster emosi. Satu momen mengenaskan segera teralihkan dengan humor, begitu pun sebaliknya. 

Related

Film 4855893551911715947

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item