ChatGPT, Lompatan Besar dalam Teknologi Kecerdasan Buatan


Teknologi kecerdasan buatan ChatGPT menuai tepuk tangan meriah sekaligus sinisme dunia dalam rentang usianya yang amat muda. Mungkinkah sensasi platform besutan OpenAI ini menggusur manusia?

Berdasarkan keterangan ChatGPT, ia lahir pada 2015 dan terus dikembangkan. Platform ini mulai dirilis secara umum pada Juni 2020.

"Sejak saat itu, saya terus belajar dan meningkatkan kemampuan saya melalui teknik pemrosesan bahasa alami yang canggih dan data yang banyak," kata ChatGPT.

Sebelum ChatGPT, teknologi yang memanfaatkan AI bukan barang baru. Namun, platform ini menyedot perhatian publik berkat kemampuannya menjawab sejumlah pertanyaan sulit dari pengguna. 

Antusiasme pengguna pada platform ini sangat besar. ChatGPT hanya butuh waktu dua bulan untuk mencapai 100 juta pengguna. Raksasa teknologi Google pun ketar-ketir. Bisakah ia merevolusi internet?

Guru Besar STEI ITB Bambang Riyanto Trilaksono menyebut, kehadiran ChatGPT adalah sebuah lompatan besar yang luar biasa bagi dunia AI.

"ChatGPT ini merupakan lompatan dari teknologi AI. Ini merupakan teknologi yang mendisrupsi banyak hal, karena kecerdasannya," katanya.

"Mungkin masih terlalu dini untuk menyebutnya revolusi internet, tetapi melihat bahwa dalam waktu singkat itu mencapai jutaan pengguna dalam beberapa hari, ini merupakan lompatan teknologi AI yang luar biasa," tambahnya.

Di samping sambutannya yang meriah, Bambang mengatakan sebetulnya ada kubu yang kontra terhadap kehadiran ChatGPT, termasuk di lingkungan akademik. 

Bambang menyebut mereka yang pro pada penggunaan ChatGPT menganggap ChatGPT sebagai teknologi yang tak terelakkan. ChatGPT, kata Bambang adalah teknologi yang bakal berkembang dan ke depannya akan semakin pintar.

Hal itu dikarenakan algoritmanya yang semakin berkembang atau set data yang semakin luas serta semakin komprehensif.

"Yang pro merasa ini adalah tools yang bisa membantu manusia di dalam task atau pekerjaannya," ujar salah satu pendiri Pusat Artificial Intelligence ITB ini.

Beberapa universitas di Australia Selatan, yaitu Flinders University, the University of Adelaide, dan the University of South Australia menjadi bagian dari pendukung penggunaan ChatGPT di lingkup akademik.

Namun, mahasiswa atau staf akademik yang menggunakan ChatGPT harus menandai pekerjaan mereka sebagai pekerjaan yang mendapat bantuan AI.

Selain itu, pengguna juga diinstruksikan untuk melakukan koreksi pada pekerjaan yang dilakukan ChatGPT, karena platform ini masih sangat mungkin melakukan kesalahan.

"ChatGPT masih melakukan kesalahan, atau yang dalam lingkungan peneliti disebut kerap melakukan halusinasi, jadi memberikan fakta yang sebetulnya tidak benar," terang Bambang.

Di sisi lain, mereka yang kontra memilih cara lain untuk melakukan kegiatan akademiknya, yakni kembali pada kertas dan pulpen. Pendekatan ini dilakukan oleh sejumlah universitas di Australia pada periode ujian yang akan datang. Menurutnya, keduanya memiliki alasan yang dapat dipahami.

"Bagi kubu yang melarang memang ada benarnya, karena akan membuat siswa malas untuk berpikir. Namun, bagi kubu yang lain ChatGPT menjadi teknologi yang tidak terelakkan," jelas dia.

Pertanyaan berikutnya adalah, bisakah ChatGPT menggusur pekerjaan-pekerjaan penting?

Pakar komunikasi dari Stanford University Jeffrey Hancock mencontohkan kalkulator yang tidak serta merta menggantikan kebutuhan manusia untuk belajar matematika atau pekerjaan yang melibatkan hitungan.

"Saya rasa kita akan menemukan cara untuk menggunakan komunikasi yang dimediasi oleh AI sebagai sebuah alat. Saya pikir semakin kita menganggapnya sebagai asisten atau alat yang sangat kuat, semakin kita dapat membayangkan bagaimana hal itu akan berguna," kata Hancock menjelaskan dalam konteks komunikasi, dikutip dari Stanford News.

"Tetapi penting untuk dicatat bahwa sistem ini tidak siap untuk dipasang dan digunakan langsung dari 'rak.' Mereka belum sampai di sana, begitu juga dengan kita sebagai manusia," imbuhnya.

Salah satu masalah yang membuat teknologi ini belum cukup mapan adalah akurasi informasi. Meski sudah cukup baik dibandingkan dengan teknologi terdahulu, ChatGPT baru mampu memberikan informasi dengan akurasi sekitar 50 hingga 70 persen dari keseluruhan konten yang diproduksinya.

Alih-alih substitusi, Hancock pun menyodorkan kombinasi ChatGPT dengan manusia dalam beberapa profesi. Misalnya, pekerjaan terapi dan coaching. Menurutnya, kombinasi itu akan bagus untuk membantu para klien mendapatkan layanan yang lebih efektif.

"Terkadang ini adalah pertanyaan standar yang dapat dilatih oleh sistem seperti ChatGPT untuk ditanyakan kepada klien dan kemudian disintesiskan untuk pelatih," ujar founding director Stanford Social Media Lab ini.

"Hal ini berpotensi memberi waktu lebih pelatih untuk terlibat lebih dalam dengan klien tersebut atau membantu lebih banyak klien," lanjutnya.

Laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2020 sempat menyebut otomatisasi dapat menggantikan 85 juta pekerjaan dalam 5 tahun ke depan.

Sejumlah pekerjaan yang berisiko digantikan oleh robot contohnya adalah kasir bank, asisten administrasi, penjaga buku (bookkeepers), dan pendata gaji (payroll clerk).

Studi McKinsey Indonesia juga merilis proyeksi serupa khusus kondisi di Indonesia. Lembaga ini memprediksi 23 juta pekerjaan akan tergantikan dengan otomatisasi. Meskipun, mereka memperkirakan muncul 27 juta hingga 36 juta lapangan pekerjaan baru.

Bambang menyebut kehadiran AI akan memaksa manusia berpikir atau mengerjakan tugas-tugas yang sifatnya lebih high level. Menurut dia, pekerjaan low-level yang sifatnya berulang dan sederhana nantinya akan digantikan oleh AI.

Beberapa pekerjaan yang dapat terbantu oleh ChatGPT adalah pembuat konten dan penulis. Selain itu, Bambang menyebut ChatGPT juga dapat diperintahkan untuk membuat abstrak dari makalah hingga mengoreksi tata bahasa dalam makalah tersebut.

"Kemampuan-kemampuan itu memang ke depan diperkirakan akan membuat beberapa profesi hilang atau paling tidak profesi itu akan banyak dibantu oleh ChatGPT," terangnya.

Senada dengan Hancock, Bambang menyatakan kombinasi manusia dan ChatGPT diperlukan untuk pekerjaan yang high level yang dinilainya tak bisa dikerjakan sepenuhnya oleh AI.

Ia sendiri mendeskripsikan pekerjaan high level sebagai "pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kognisi yang lebih tinggi, pemikiran yang lebih kompleks, persoalan yang lebih rumit, mungkin penalaran yang lebih canggih."

Menurutnya, ChatGPT saat ini sudah memiliki kemampuan penalaran atau reasoning yang cukup baik, tetapi masih memiliki kelemahan. Pasalnya, penalaran mestinya komprehensif dalam konteks temporal, matematis, dan spasial.

Related

Technology 4725352975211891876

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item