Ironi Indonesia: Banyak Orang Kelaparan, tapi Sampah Makanan Menggunung
https://www.naviri.org/2023/07/ironi-indonesia-banyak-orang-kelaparan.html
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) bekerja dengan Bappenas dan WRI Indonesia serta didukung oleh UKFCDO memaparkan hasil kajian Food Loss and Waste (FLW) di Indonesia pada Juni 2021 lalu. Dalam laporan tersebut, 23–48 juta ton sampah makanan dihasilkan tiap tahun pada periode 2000-2019 saja. Ini artinya, setiap orang di Indonesia menghasilkan rata-rata sebanyak 115–184 kilogram sampah makanan per tahun.
Jumlah sampah makanan juga mengalami tren kenaikan selama 20 tahun terakhir, dari 39 persen pada tahun 2000 menjadi 55 persen pada tahun 2019. Sumber timbulan paling banyak dihasilkan pada tahap konsumsi dan 80 persen berasal dari rumah tangga, dan sisanya dari non-rumah tangga (seperti warung makan atau restoran). Hampir separuh dari sampah makanan yang terbuang itu masih layak untuk dikonsumsi.
Masalah sampah makanan menjadi ironi dalam isu-isu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dari ekonomi, besarnya angka sampah makanan itu setara dengan kerugian sebesar Rp213–551 triliun per tahun; berdasarkan kandungan energi yang terbuang, seharusnya ada 61–125 juta orang penduduk Indonesia dapat diberi makan seandainya tidak ada sisa makanan.
Lebih miris lagi menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019, Indonesia masih berhadapan dengan masalah stunting pada balita yang mencapai lebih dari delapan juta anak. BPS juga mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2021 lalu ada pada angka 26,50 juta jiwa.
Timbulan sampah makanan juga jadi masalah lingkungan yang serius. Hanya karena sampah makanan dapat didaur ulang, bukan berarti ia tidak lebih berbahaya ketimbang sampah plastik. Sampah makanan yang membusuk akan melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) yang tak bisa diabaikan begitu saja ketika jumlahnya mencapai puluhan ton.
Menurut data dari World Resources Institute (WRI), emisi GRK dari sampah makanan menyumbang 8 persen dari emisi global. Jika diibaratkan sebagai sebuah negara, limbah sampah makanan akan menjadi penghasil GRK terbesar ketiga tepat di belakang Tiongkok dan AS. Sebagian besar emisi gas yang dihasilkan berbentuk gas metana, yang potensinya 25 kali lebih tinggi daripada karbon dioksida dalam meningkatkan pemanasan global.
Di Indonesia, emisi GRK yang ditimbulkan dari limbah pangan (food loss & waste) selama 20 tahun terakhir mencapai 1.702,9 Megaton CO2-ekuivalen atau setara dengan 7,29 persen rata-rata emisi GRK Indonesia per tahun.
Rata-rata emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari 1 ton food waste besarnya 4,3 kali lipat dari food loss. Lebih persisnya, dari kelima tahapan rantai pasok pangan, penyumbang terbanyak emisi gas ini berasal dari tahap konsumsi.