Kisah Majalah-majalah Islam yang Pernah Terbit di Indonesia (Bagian 1)


Seperti terjadi di banyak tempat, dakwah Islam di Indonesia ditempuh dengan lisan dan tulisan, salah satunya lewat penerbitan majalah. 

Majalah Islam pertama di Indonesia bernama Al-Moenir yang terbit pada tahun 1911 di Minangkabau. Berdasarkan penelusuran M. Yuanda Zara yang terhimpun dalam Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (2007), majalah ini dijalankan oleh Haji Abdullah sebagai redaktur utama yang dibantu Haji Abdul Karim Amrullah dan Muhammad Salim. 

Al-Moenir larut dalam gelombang reformasi Islam dan menjadi media yang menentang kelompok adat, khususnya di Sumatra Barat. Sikap ini mengantarkan Al-Moenir berpolemik dengan surat kabar Oetoesan Melajoe, Soeloeh Melajoe, dan Soeara Melajoe yang digerakkan oleh Datuk Sutan Maharaja. Selain itu, para ulama tradisional menyebut majalah ini sebagai corong dari kelompok Mu'tazilah. 

Mengutip Sastri Sunarti dalam "Suara-Suara Islam dalam Surat Kabar dan Majalah Terbitan Awal Abad 20 di Minangkabau", Al-Moenir yang terbit dwimingguan menggunakan huruf Jawi dengan sasaran pembaca lelaki dewasa di Minangkau. 

Berita mengenai gerakan nasionalisme di Mesir, Turki, dan India kerap tersaji sebagai pemantik nasionalisme bagi masyarakat Minangkabau. Juga sebagai siasat untuk menghindari pemberedelan akibat aturan ketat kolonial terhadap gerak nasionalisme di Indonesia. Al-Moenir berhenti terbit pada 1916 setelah kantor penerbitannya dilahap api. 

Dari Muhammadiyah hingga NU 

Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada 1912, kembali mengutip M. Yuanda Zara dalam Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (2007) telah menerbitkan sekitar 25 majalah dan buletin, salah satunya majalah Soeara Muhammadijah yang muncul pertama kali pada Januari 1915 atas prakarsa Ahmad Dahlan. 

Majalah dwibahasa (Melayu dan Jawa) ini awalnya sebagai bacaan internal Muhammadiyah. Barulah pada 1940, majalah ini dipublikasikan untuk masyarakat umum dengan berita yang lebih variatif. Soeara Muhammadijah menjadi majalah Islam tertua yang mampu bertahan hingga kini. 

Sementara Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung pada 1923, menerbitkan majalah Pembela Islam pada tahun 1929 yang terbit dua kali dalam satu bulan. 

Menurut Indra Prayana dalam Jejak Pers di Bandung (2021), majalah ini terbit setelah terbentuknya Comite Pembela Islam yang bertujuan untuk melawan tuduhan-tuduhan yang tidak benar kepada Islam. Dan Pembela Islam merupakan alat pembersih “daki-daki” dalam tubuh umat yang bernama khurafat dan bid’ah yang menghambat kemajuan masyarakat Islam. 

Seturut Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (1982), publik di Malaya pun menjadi bagian dari total 2.000 sirkulasi pembaca Pembela Islam. Sedangkan menurut Abdul Kadir Badjuber dalam "Historiografi Majalah Pembela Islam", majalah ini turut mengabarkan mengenai peristiwa di dunia, juga menjadi corong Persis dalam menentang Ahmadiyah. 

Pembela Islam hanya berusia enam tahun. Warsa 1935, majalah ini dilarang terbit oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena dianggap melancarkan serangan dan fitnah kepada penulis-penulis Kristen dari Belanda, juga karena kekurangan finansial. 

Tak ketinggalan, Nahdlatul Ulama turut menerbitkan majalah bernama Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) pada 1931. Sejak awal berdiri hingga tahun 1936, wilayah distribusinya hanya di Surabaya. Majalah ini merupakan penerus dari majalah internal organisasi sebelumnya yang menggunakan huruf Arab Pegon dan berbahasa Jawa, bernama Soeara Nahdlatoel Oelama. 

Barulah pada 1937, agar dapat diterima oleh masyarakat luas, majalah ini mulai menggunakan bahasa Melayu (Indonesia) dan huruf Latin. Berita tentang permasalahan ijtihad, taqlid, ajaran-ajaran Islam, hingga permasalahan ekonomi menjadi sajian utamanya. Selain itu, hadir pula berita luar negeri seperti konflik Palestina dan ulasan mengenai kekuatan tentara Jerman pada abad ke-20. 

Berita Nahdlatoel Oelama pernah menggugat artikel berjudul “Islam Sontoloyo”, “Masyarakat Onta”, dan “Masyarakat Kapal Udara”. Dalam artikel-artikel tersebut Sukarno menempatkan kemapanan fiqih dan sosok sentral ulama yang kolot nan beku sebagai kemunduran Islam. Menurut para penggugatnya, artikel-artikel ini tak lebih dari kedangkalan Sukarno dalam memahami Islam. 

Polemik selanjutnya terjadi dengan surat kabar Adil milik Muhammadiyah dalam perkara hukum azimat. Berita Nahdlatoel Oelama berhenti terbit pada tahun 1953. 

Hamka dalam Dua Majalah 

"Demokrasi Kita" adalah tajuk kritik Mohammad Hatta terhadap Demokrasi Terpimpin yang dijiwai gagasan nasakom ala Sukarno. Kritik tersebut dimuat dalam majalah Pandji Masjarakat yang dipimpin Hamka pada 1960. Hal ini berujung pada pemberedelan. Tulisan Hatta setidaknya mewakili sikap Hamka dalam menentang komunisme yang menjadi salah satu penyokong utama Demokrasi Terpimpin.

Warsa 1962, Hamka menerbitkan majalah Gema Islam yang berkolaborasi dengan A. H. Nasution dari militer. Majalah kebudayaan Islam ini terbit dua kali dalam satu bulan dengan empat rubrik utama: kata hikmat, kronik dan komentar Islam, sajak-sajak (sastra) dan tafsir Al-Qur’an dari Al-Azhar. 

Baca lanjutannya: Kisah Majalah-majalah Islam yang Pernah Terbit di Indonesia (Bagian 2)

Related

Indonesia 5999277323065728020

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item