Melihat Akar Masalah Sampah Rumah Tangga di Indonesia


Pemerintah telah menerbitkan aturan mengenai pengelolaan sampah khususnya Sampah Rumah Tangga, yaitu melalui Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 (PERPRES No. 97/2017) mengenai Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. 

Peraturan ini mengajak seluruh pemegang kepentingan untuk melakukan pengelolaan sampah terintegrasi, mulai dari sumber hingga ke pemrosesan akhir dengan menetapkan target Indonesia Bersih dan Bebas Sampah atau 100 persen sampah telah diolah dengan baik dan benar pada 2025. 

Tolok ukurnya adalah pengurangan timbulan sampah nasional sebesar 30 persen dengan pembatasan sampah dan pemanfaatan kembali, lalu target penanganan sampah dengan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, dan pemrosesan akhir sebesar 70 persen.

Untuk mencapai target nasional tersebut, pemerintah daerah diwajibkan untuk menyusun Kebijakan Strategi Daerah (Jakstrada). Saat ini telah ada 21 provinsi dan 353 kabupaten/kota yang telah menetapkan peraturan tersebut serta sebanyak 32 pemerintah daerah telah menerapkan kebijakan pembatasan sampah. 

Sayangnya, fokus utama kebijakan itu masih seputar sampah plastik sekali pakai. Padahal, dari komposisi sampah yang masuk ke TPA, hampir separuhnya merupakan sampah organik.

Dalam hasil studi dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pada akhir 2020 di 50 daerah, rata-rata alokasi anggaran tata kelola sampah hanya mencapai Rp16,6 miliar atau 0,7 persen dari total APBD di daerah-daerah tersebut.

Dari semua daerah atau kota yang diteliti, hanya Denpasar, Pekanbaru, Banjarmasin, Tangerang, dan Ambon yang mengalokasikan anggaran pengelolaan sampah lebih dari 2 persen dari total anggaran belanja daerah. 

Selain itu, dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia, hanya 45 persen yang sudah memiliki perda persampahan dan perda retribusi persampahan. Minimnya regulasi di level daerah menunjukkan bahwa komitmen untuk menyelesaikan persoalan sampah di wilayah-wilayah tersebut masih rendah.

Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 26/PMK.07/2021 tentang Dukungan Pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi Pengelolaan Sampah di Daerah, diharapkan dapat semakin meningkatkan kapasitas pengolahan sampah–terutama sampah organik–yang selama ini belum menjadi prioritas.

Dalam konteks upaya pengurangan emisi GRK, analisis dari kajian FLW 2021 menemukan bahwa berdasarkan perbandingan berbagai skenario end-of-life, pengurangan timbulan food waste di rumah tangga merupakan usaha yang paling signifikan. 

Saat food waste rumah tangga direduksi sebesar 5 persen, emisi GRK turun sebesar 2,98 persen. Sementara saat dilakukan reduksi dengan nominal yang sama di food waste hotel, restoran, katering (HOREKA) dan food loss produksi serta pascapanen, penurunan emisi GRK yang terjadi hanya 0,53 persen dan 0,6 persen.

Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki informasi dan strategi yang tepat dan menyeluruh mengenai timbulan susut dan sampah pangan, khususnya di tingkat nasional. Padahal, pengelolaan FLW secara bertanggung jawab dapat berkontribusi terhadap reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sistem pangan—yang dalam skala global diestimasikan dapat mencapai pengurangan sebesar 11 persen.

Waste4Change, sebuah perusahaan yang melakukan pengelolaan sampah, juga mengemukakan bahwa saat ini masyarakat belum memiliki pengetahuan dan menjalankan sistem pemilahan sampah rumah tangga. Proses daur ulang sampah organik dengan menggunakan komposter atau metode lainnya juga belum berlaku secara merata.

Related

Indonesia 523084530759733751

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item