Tragedi Ketapang, Kerusuhan Berdarah yang Menyulut Konflik Ambon (Bagian 1)


Tawuran bermotif agama di sudut Jakarta itu menyulut konflik sosial parah setelah 1998, sekaligus melahirkan bibit kelompok intoleran yang kini merongrong demokrasi Indonesia.

Minggu, 22 November 1998. Sekelompok orang tampak tak pernah habis tenaganya. Hingga lewat tengah malam mereka masih sempat minum-minum bir, sesekali tertawa-tawa lepas. Gerombolan itu kerap terlihat di Cafe Pisa kawasan Sarinah. Sebagian dari mereka orang kulit putih. Mereka jauh dari kesan necis. Sebaliknya, malah tampak dekil. Pakaian yang mereka kenakan serupa satu sama lain, sekilas macam seragam.

Mereka mengenakan kemeja kanvas, celana jins, dan tas punggung besar. Setelah ngobrol ngalor-ngidul semalaman, dua orang dari rombongan itu pamit pulang. Tinggal seorang pria kulit putih berambut metalik kehitaman dan seorang pria berwajah Melayu yang saban hari terlihat bersamanya.

Kedua orang itu adalah fotografer perang kawakan James Nachtwey dan asisten sekaligus penunjuk arahnya, Dwi Abiyantoro alias Abi. Saat itu Abi bertugas mendampingi Nachtwey setiap hari. Ke mana pun Nachtwey pergi ia yang mengantar.

"Kami kayak nyapu jakarta aja keliling-keliling. Hampir 350 kilometer per hari," katanya. Tak peduli situasi apapun, Abi selalu ada di samping Nachtwey. Bahkan, di tengah kerusuhan dan hujan peluru, Abi hampir selalu ada satu meter di belakang Nachtwey turut menjaga separuh hidupnya selama di Jakarta: film, kamera, dompet, lensa, dan telepon genggamnya.

Abi tidak hanya akrab dengan Nachtwey, tapi juga dengan fotografer konflik kenamaan lainnya seperti Christopher Morris dan John Stanmayer yang sering turut serta kumpul-kumpul malam di Cafe Pisa. Sejak Suharto lengser lima bulan sebelumnya, minum-minum itu jadi rutin sebagai kegiatan pelepas lelah. Maklum, dalam masa transisi reformasi, kerusuhan bisa terjadi kapan saja, pecah dalam waktu yang tidak terduga. Sehabis dari Cafe Pisa, Abi bersama Nachtwey pulang dengan taksi ke hotel kecil di kawasan Gondangdia.

Mereka pulang tanpa sepeda motor Honda dan helm biru tua Abi yang sebelumnya ditinggalkan di hotel Cemara Gondangdia tempat Nachtwey menginap. Di dalam taksi, Abi mendengar arahan lewat radio agar tidak melintas ke arah Ketapang, Jakarta Pusat. Belum juga tiba, Abi bilang pada Nachtwey yang tidak paham bahasa Indonesia agar putar arah dan bergegas menuju Ketapang. Abi yakin betul sesuatu sedang terjadi di sana, tanda peristiwa besar menanti.

"Jim, sepertinya ada masalah," ujar Abi sambil memaksa Nachtwey bergegas. Kelihatan Nachtwey agak kesal karena tidak sempat tidur. "Awas kalau enggak ada masalah ya, elo tahu kan gue bangun dan tidur jam berapa?" balas Nachtwey, awalnya agak ogah-ogahan, sambil beranjak mengikuti arahan Abi.

Pukul 05.30, mereka bergegas pergi.

Saat Nachtwey dkk nongkrong di Cafe Pisa, peristiwa penting memang terjadi di Ketapang. Sekitar jam 22.00 malam, seorang warga ditonjok oleh penjaga parkir tempat judi karena masalah saling pandang yang berlanjut jadi saling tantang. Masalah awalnya amat sepele. Pertikaian berlanjut tapi berhasil didamaikan oleh petugas RW setempat. Sekitar pukul 03.00 situasi mereda. Terdengar seperti perselisihan pribadi yang seharusnya tidak berlanjut jadi masalah besar.

Pertengkaran kecil yang sebetulnya biasa terjadi kapan saja di Jakarta itu segera tereskalasi jadi konflik ras dan agama.

Dalam laporannya yang dimuat Majalah Pantau, Amelia Pulungan menuturkan betapa kabar angin soal penyerbuan masjid cepat beredar. Pengeras suara masjid digunakan untuk membangun solidaritas warga muslim setempat. Mereka tidak hanya membela diri, tapi mencoba menyerang para preman. Sambil mengangkat samurai, celurit, dan parang mereka mengejar-ngejar para preman.

Dalam situasi seperti inilah Nachtwey dan Abi tiba di dekat Gadjah Mada Plaza. Anehnya, mereka tak mendapati tanda-tanda adanya kerusuhan. Lewat setengah jam mondar-mandir memantau keadaan, hasilnya nihil. Tak mereka ketahui bahwa massa yang bertikai akan segera melintas di hadapan. Tiba-tiba saja Abi dan Nachtwey melihat segerombolan orang membawa golok datang dari arah arah Tanah Abang. Bersamaan dengan itu, datang pula segerombolan orang dari arah Kota.

Pengejaran dan penyerangan berlangsung lama. Dari pagi hingga sore hari. Mereka yang dikejar-kejar berusaha bersembunyi di got-got dan merayap senyap. Namun keadaan berubah drastis menjadi kacau ketika seorang anak yang sedang bermain sepeda berseru, "Ada orang di got!"

"Itu langsung ditusuk-tusuk gotnya pakai golok," ujar Abi, yang hingga kini masih merasa ngeri melihat insiden Ketapang dari dekat. "Di situ aku ngelihat mereka enggak mengenal kasihan sama sekali ke sesama orang.”

Baca lanjutannya: Tragedi Ketapang, Kerusuhan Berdarah yang Menyulut Konflik Ambon (Bagian 2)

Related

Indonesia 8393693431887578372

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item