Tragedi Ketapang, Kerusuhan Berdarah yang Menyulut Konflik Ambon (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2023/07/tragedi-ketapang-kerusuhan-berdarah_13.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Tragedi Ketapang, Kerusuhan Berdarah yang Menyulut Konflik Ambon - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Abi menuturkan, Ia melihat ada sekitar sepuluh orang yang sebagian besar keturunan Ambon diburu, sebagian dibunuh saat itu juga. Berkali-kali Nachtwey, yang terjebak di tengah kerusuhan, bersujud menyembah penyerang berusaha mencegah pembunuhan.
Nachtwey dan Abi ikut serta dalam pengejaran tersebut, dari awal buruan mereka lari, dipukuli dan dibacok hingga korban tak bernyawa. Nachtwey berkali-kali memohon agar mereka menghentikan aksi tersebut sebelum mereka tewas. Sementara Abi panik tak tahu harus melakukan apa. Ia hanya bisa menangis. Berbeda dengan Nachtwey yang terbiasa pergi ke daerah konflik, hari itu merupakan pengalaman traumatis baginya. Ternyata massa yang kalap tidak bergeming.
“Ketika itu terjadi, saya mencoba menghentikan massa. Dua kali mereka seakan-akan hendak menghentikan serangan mereka. Tapi mereka menunjukkan sikap tak bersahabat pada saya,” kata Nachtwey seperti dikutip dari Pantau. “Di sisi lain saya hanya seorang diri. Saya juga tak menguasai bahasa setempat.”
Hari itu, belasan orang tewas, lusinan gereja, sekolah, bank, dan toko dihancurkan dalam peristiwa yang disebut tragedi Ketapang yang terjadi pada hari Minggu dan Senin 22-23 November 1998. James Nachtwey mengabadikan semua peristiwa penting, khususnya yang berdarah-darah, dalam foto-foto ikonik hitam putih. Beberapa bulan setelahnya, Nachtwey diganjar penghargaan dari World Press Photo untuk foto-foto yang ia ambil di Ketapang.
Jakarta sedang panas saat peristiwa Ketapang terjadi.
Di jalanan, ia kembali berhadapan dengan molotov dan desing peluru yang ditembakkan aparat. Nezar ingat, kala itu yang menghadang mahasiswa berunjuk rasa tatkala Sidang Istimewa MPR sedang digelar bukan hanya aparat. Ada juga personel-personel Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa yang dibentuk untuk membendung aksi aktivis pro-demokrasi.
Menurut Nezar, embrio PAM Swakarsa sudah terbentuk sejak Orde Baru. Di zaman Orba bentuknya masih sebatas jaringan kriminal yang terserak dan tak terorganisir. Baru setelah Soeharto tumbang, dibarengi dengan kepentingan menanggulangi besarnya pengangguran pasca ’98, preman-preman ini diorganisir sehingga jadilah PAM Swakarsa. Misinya, menghadang pergerakan pro demokrasi yang merongrong pemerintah.
"Dibentuklah (misalnya) organisasi seperti Pemuda Pancasila. Jadi kelompok yang dianggap geng-geng liar, diorganisir, masuk ke dalam Pemuda Pancasila," ujar Nezar. "Enggak semua masuk ke Pemuda Pancasila, beberapa yang lain tetap sebatas geng-geng, tapi ketika ada konsolidasi untuk membentuk Pam Swakarsa, mereka sepertinya diajak serta."
Konflik itu, menurut George, secara sistematis dipicu ataupun dipelihara sejumlah tokoh politik dan militer di Jakarta.
Lebih dari 1.000 orang terbunuh di Ambon dan sekitarnya, akibat provokasi orang-orang yang dipulangkan dari Jakarta. Mereka menyebar informasi parsial tentang kejadian di Jakarta beberapa bulan sebelumnya ke kampung masing-masing. Ambon sempat terbelah dua, menjadi wilayah muslim dan Kristen, sebelum akhirnya konflik komunal ini dapat diakhiri pada 2002 oleh semua pihak.
Situasi memanas tak hanya di Maluku. Desember 1998, warga Timor berjarak 2.700 kilometer dari Jakarta, membakar beberapa masjid sebagai balasan insiden di Ketapang. Hubungan antar penganut agama maupun antar etnis di pelbagai provinsi memburuk memasuki 1999. Sulawesi Tengah, tepatnya di Poso, menyusul berikutnya tertimpa rentetan kekerasan yang disusul bangkitnya sel teroris sayap kanan. Rakyat Provinsi Timor Timur di tahun yang sama menuntut kemerdekaan dari Indonesia, sampai akhirnya mereka menggelar referendum ikonik yang mendorong berdirinya negara baru Timor Leste.
Indonesia sempat diprediksi akan pecah seperti Yugoslavia. Ramalan itu bisa dihindari karena pemerintah sesudah reformasi segera menjalankan desentralisasi dan pemberian status otonomi khusus.
"Waktu itu Suharto baru jatuh, semua pihak di Indonesia berusaha menemukan ekuilibrium baru, titik keseimbangan baru," ujar Andreas Harsono, dari Human Rights Watch.