Kontroversi Kisah Rasulullah Menjenguk Yahudi Sakit (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kontroversi Kisah Rasulullah Menjenguk Yahudi Sakit - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kisah Rasulullah menjenguk Yahudi ini juga bertentangan dengan firman Allah Ta’ala, “Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. At-Tahrim: 9)

Ayat ini turun kepada beliau di Madinah, di mana beliau diperintah oleh Allah Ta’ala agar bersikap keras dan tegas terhadap orang kafir dan munafik jika mereka terang-terangan menampakkan perlawanan dan makarnya terhadap Islam.

Maka mustahil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap lunak dan lembek kepada kaum Yahudi yang terang-terangan melecehkan dan menghina beliau dengan cara menaruh kotoran dan duri yang dapat mencelakakan beliau di depan pintu rumah beliau sendiri. 

Tidak menutup kemungkinan kotoran dan duri itu mengenai umat Islam lain yang akan pergi shalat ke Masjid Nabawi, mengingat rumah beliau berdampingan dengan masjid. Tidak mungkin beliau membiarkan dan mendiamkan tindakan tersebut begitu saja melihat efeknya yang dapat menyakiti orang lain dan mengarah kemunkaran.

Meski kisah tersebut fiktif, palsu, dan hasil gubahan para tukang kisah yang tidak bertanggung jawab, bukan berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menjenguk orang Yahudi.

Terdapat kisah sahih bahwa beliau menjenguk seorang Yahudi yang tengah sakit, tetapi berbeda dengan kisah di atas. Kisah ini disebutkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya,

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu ada seorang anak beragama Yahudi yang menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia pun jatuh sakit. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang menjenguknya. Beliau pun duduk di dekat kepalanya. 

“Beliau bersabda, ‘Masuklah ke dalam Islam!’ Ia melirik ke arah ayahnya yang tengah berada di dekatnya. Ayahnya berkata kepadanya, ‘Taatilah Abul Qasim (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Anak itu akhirnya masuk Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar sembari bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka’.” (HR. Al-Bukhari no. 1356)

Di sini terlihat, Yahudi tersebut bukanlah tetangga beliau, justru pelayan atau pembantu beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekadar menjenguknya, namun juga mendakwahinya agar masuk Islam.

Hal yang sama juga pernah beliau lakukan di Makkah tatkala menjenguk Abu Thalib paman beliau yang tengah sakit menjelang wafatnya. Sayangnya, paman beliau tersebut enggan untuk mengucapkan kalimat tauhid dan akhirnya mati dalam keadaan kafir.

Kedua: Riwayat Nabi memiliki tetangga Yahudi

Terdapat riwayat yang menyebut bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki tetangga yang beragama Yahudi, dan menjenguknya ketika ia akan wafat. Namun, riwayat tersebut tidak lepas dari kecacatan.

Pertama: riwayat Ibnu Abi Husain

Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami. Ia berkata, Abdullah bin Amru bin Alqamah mengabarkan kepadaku sebuah hadits dari Ibnu Abi Husain, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki seorang tetangga Yahudi yang akhlaknya tidak bermasalah.

Ia sakit dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum menjenguknya. Rasulullah bertanya, “Apakah engkau tidak bersaksi laa ilaah illallah dan aku adalah Rasul Allah?”

Ia pun memandang ayahnya dan ayahnya hanya diam, maka ia pun hanya diam. Kemudian ditanyakan lagi kedua kalinya dan ketiga kalinya. Ayahnya pun berkata pada ketiga kalinya, “Katakan apa yang dikatakan olehnya (Muhammad) kepadamu!” Ia pun melakukannya, lalu meninggal.

Ketika kaum Yahudi hendak mengurus jenazahnya, Rasulullah berkata kepada mereka, “Kami lebih berhak atasnya daripada kalian.” Beliau pun memandikannya, mengkafaninya, membawa jenazahnya, serta menyalatkannya.” (HR. Abdurrazzaq no. 9919)

Cacat yang terdapat pada riwayat ini ada pada Ibnu Abi Husain yang meriwayatkan langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara ia adalah seorang tabi’in sebagaimana yang dicantumkan Imam Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (6/33). Namanya adalah Umar bin Said bin Abi Husain. Ia adalah seorang tabi’in Makkah tingkat ketiga menurut penilaian Imam Ibnu Sa’ad rahimahullah.

Bahkan terlihat lebih parah, karena Imam Ibnu Hibban rahimahullah memasukkannya dari jajaran tabi’ut tabi’in dalam ats-Tsiqat (7/166). Artinya, Ibnu Abi Husain bukan hanya tidak bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun juga tidak bertemu dengan seorang pun dari sahabat Nabi. Inilah yang benar. Wallahu a’lam.

Al-Hafizh al-Mizzi rahimahullah dalam Tahdzib al-Kamal ketika menjelaskan biografi Ibnu Abi Husain, ia tidak menuliskan adanya seorang sahabat pun yang riwayatnya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Husain.

Maka jadilah hadits ini hadits munqathi’ (terputus sanadnya) dan hadits munqathi’ termasuk dari salah satu jenis hadits paling lemah. Apalagi jika keterputusannya sampai dua tingkatan (sahabat dan tabi’in). Wallahu a’lam.

Kedua: riwayat sahabat Buraidah

“Abu Arubah mengabarkan kepadaku. Kakekku Amru bin Abi Amru menceritakan kepada kami. Muhammad bin al-Hasan menceritakan kepada kami dari Abu Hanifah. Alqamah bin Martsad menceritakan kepada kami, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,

“Kami pernah duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun bersabda, ‘Mari kita jenguk tetangga Yahudi kita ini!’ Kami pun menjenguknya. Lalu beliau bertanya (kepadanya), ‘Bagaimana keadaanmu wahai fulan?’

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanyainya lagi lalu berkata kepadanya, ‘Hai fulan, bersaksilah laa ilaah illallah dan aku adalah Rasul Allah!’

“Ia pun memandang ayahnya, dan ayahnya tidak berbicara kepadanya, ia pun hanya diam. Ayahnya saat itu ada di dekat kepalanya tanpa berbicara padanya, ia pun hanya diam.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata lagi, ‘Hai fulan, bersaksilah laa ilaah illallah dan aku adalah rasul Allah!’ Ayahnya pun berkata kepadanya, ‘Bersaksilah untuknya wahai anakku!’

“Ia pun berkata, ‘Aku bersaksi laa ilaaha illallah dan engkau adalah rasul Allah.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan leher seorang hamba dari api neraka’.” (HR. Ibnu as-Sunni, ‘Amal al-Yaum wa al-Laylah, no. 554)

Kecacatan riwayat sahabat Buraidah

Pada sanad hadits ini terdapat beberapa catatan. Pertama, pada Ibnu Buraidah yakni Sulaiman bin Buraidah al-Aslami. Sejatinya beliau adalah perawi yang tsiqah. Ditsiqahkan oleh Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim ar-Razi rahimahumallah sebagaimana penuturan Ibnu Abi Hatim rahimahullah dalam al-Jarh wa at-Ta’dil (4/102).

Termasuk perawi yang riwayatkan diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Manjawaihi rahimahullah dalam Rijal Shahih Muslim (1/273).

Namun, al-Bukhari tidak meriwayatkan darinya dalam Shahih-nya sekaligus memberi catatan padanya, “Sulaiman tidak menyebut penyimakannya dari ayahnya sendiri.” (At-Tarikh al-Kabir, al-Bukhari, 4/4)

Meski demikian, ini catatan yang tidak begitu berdampak buruk pada hadits ini, karena adanya kemungkinan Sulaiman mendengar dari ayahnya, karena ia lahir sementara ayahnya yaitu sahabat Buraidah bin Hashib al-Aslami masih hidup dan Imam Muslim rahimahullah berhujah dengan riwayatnya dari ayahnya melalui Alqamah bin Martsad dalam Shahih beliau.

Baca lanjutannya: Kontroversi Kisah Rasulullah Menjenguk Yahudi Sakit (Bagian 3)

Related

Moslem World 554413558046043179

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item