Mengapa Prabowo-Gibran Menang dalam Pemilu 2024? (Bagian 1)


Isu dugaan pelanggaran HAM dan dinasti politik yang dilekatkan kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming tidak mempengaruhi elektabilitas keduanya. Berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survei, mereka meraih lebih dari 50% suara.

Lantas mengapa Prabowo-Gibran bisa meraup suara begitu besar di tengah terpaan sejumlah isu yang disebut “antidemokrasi”—yang telah mereka bantah dalam berbagai kesempatan dalam Pilpres kali ini?

Demokrasi bukan isu penting bagi banyak orang

Sejumlah persoalan dalam rekam jejak Prabowo-Gibran hanya dibicarakan dan menjadi kegelisahan kelompok kelas menengah berpendidikan yang kritis, kata Mada Sukmajati, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) di Universitas Gadjah Mada.

Mada berkata, isu demokrasi seperti hak asasi manusia, konflik kepentingan dan moralitas pejabat negara tidak dibicarakan oleh sebagian besar masyarakat ekonomi bawah dan kelompok berpendidikan rendah.

Menurutnya, itulah alasan mengapa film dokumenter Dirty Vote yang berkisah tentang dugaan kecurangan pemilu dan pernyataan sikap para guru besar yang mencemaskan situasi demokrasi di Indonesia tidak mampu menjegal perolehan suara Prabowo-Gibran.

“Kegelisahan bahwa demokrasi sedang mundur itu narasi-narasi dari kelompok menengah kritis dan masyarakat elit,” ujar Mada.

Setidaknya tujuh dari setiap 10 orang penduduk Indonesia adalah orang dengan pendapatan menengah ke bawah, menurut Survei Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021.

BPS mencatat, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 26 juta orang pada September 2022. Angka itu tidak termasuk orang-orang yang rentan miskin karena berada di sekitar garis kemiskinan.

Sementara itu, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai jenjang sarjana hanya 6,4% pada Juni 2022, menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Persentase itu setara 61 ribu orang.

Penduduk yang menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMA hanya 20,8% atau sekitar 57 juta orang.

Menurut Mada, transisi menuju demokrasi yang didambakan Indonesia pasca keruntuhan Orde Baru tidak dibarengi kesejahteraan. Data-data yang merujuk tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia itu, kata Mada, berkaitan erat dengan proses elektoral.

Mada berkata, bagi pemilih dari kelompok ekonomi menengah-bawah, “bisa makan dan punya tempat tinggal layak” adalah persoalan nyata yang mereka hadapi setiap hari. Isu kesejahteraan merupakan basis bagi kelompok warga saat memberikan pilihan politik.

Konsekuensi dari keterkaitan ini, menurut Mada, adalah munculnya calon-calon pemimpin yang menawarkan program populis. Warga dari kelas ekonomi bawah cenderung menyukai kontestan pemilu seperti ini—yang mereka anggap bisa segera menawarkan solusi atas persoalan ekonomi sehari-hari mereka.

“Program makan siang dan susu gratis Prabowo-Gibran itu memang jauh lebih mengena untuk kelompok masyarakat ini, dibandingkan, misalnya program internet gratisnya Ganjar atau bahkan isu keadilan yang lebih abstrak bagi mereka,” kata Mada.

Mada menilai, bansos inilah yang kemungkinan besar membuat suara Prabowo-Gibran lebih tinggi dari sejumlah survei sebelum hari pencoblosan.

“Dengan kondisi seperti itu, di saat-saat terakhir jelang pencoblosan, kelompok menengah ke bawah yang belum menentukan pilihan pada akhirnya memilih Prabowo-Gibran,” tutur Mada.

Nining, warga DKI Jakarta, memilih Prabowo yang menurutnya ”peduli kepada masyarakat”. Janji Prabowo memberikan makan siang gratis memikat Nining yang tergolong pemilih dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.

“Hidup sehat, berkecukupan, tidak berkekurangan,” ujar Nining merujuk janji kampanye Prabowo yang menarik perhatiannya.

“Prabowo bisa menyejahterakan masyarakat sehingga tidak ada yang miskin dan menderita lagi,” kata Nining tentang bagaimana dia mempercayai retorika kampanye Prabowo.

Program makan siang gratis juga menjadi alasan dua warga Pamekasan, Madura, Jawa Timur, tentang mengapa mereka memilih Prabowo.

“Daripada dikasih internet gratis, lebih baik dikasih makan siang gratis,“ kata Hendri, warga Desa Bulangan Timur Pegantenan.

Hendri berkata, dia tidak terlalu tertarik dengan strategi kampanye Prabowo di media sosial—yang memakai lagu dan goyang disko. Dia juga tidak menonton film Dirty Vote yang bertutur tentang tuduhan kecurangan di balik kontestasi Prabowo-Gibran.

“Saya tidak mempertimbangkan masalah HAM. Masalahnya saya enggak tahu soal itu,” tuturnya.

Dedi Pramana, warga Kecamatan Palengaan, Pamekasan, memilih Prabowo sejak Pilpres 2014. Program makan siang dan susu gratis semakin memantapkan pilihannya. “Saya pernah baca berita tentang rekam jejak Prabowo, cuma enggak saya tangggapi, enggak ada urusannya,” ujar Dedi.

“Isu-isu itu tidak penting bagi saya karena kadang orang itu mau fitnah, mau apa gitu,” tuturnya.

Baca lanjutannya: Mengapa Prabowo-Gibran Menang dalam Pemilu 2024? (Bagian 2)

Related

News 4912686996297289230

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item