Mengapa Prabowo-Gibran Menang dalam Pemilu 2024? (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Prabowo-Gibran Menang dalam Pemilu 2024? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Mayoritas orang kaya dan berpendidikan juga pilih Prabowo

Namun kelompok menengah ke bawah bukanlah satu-satunya kantong suara terbesar Prabowo. Dia memenangkan suara di hampir di seluruh kategori masyarakat. 

Mayoritas orang berpendidikan tinggi (41,7%) dan mayoritas orang dari kelompok sosial ekonomi atas (45,6%) memberikan suara mereka untuk Prabowo. Ini adalah data Litbang Kompas dengan rentang kesalahan 1,1%, berbasis wawancara kepada 7.863 pemilik suara di semua provinsi pada 14 Februari lalu.

Firman Noor, profesor ilmu politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, menyebut publik semestinya tidak perlu heran dengan temuan Litbang Kompas. “Pendukung Hitler dan rezim otoritarian Soeharto pun banyak yang berasal dari kalangan terdidik,” kata Firman.

Menurut Firman, transisi yang dijalani Indonesia usai kejatuhan rezim otoritarian Orde Baru pada tahun 1998 tidak serta merta melahirkan masyarakat yang memahami dan menganggap penting makna demokrasi.

Transisi demokrasi pada era Reformasi, kata Firman, diselewengkan pimpinan negara yang berkolaborasi dengan elite pengusaha. Konsekuensinya, menurut Firman, Indonesia tidak pernah benar-benar mencapai titik demokrasi yang ideal. Masyarakat Indonesia pun lantas memiliki jarak yang besar dengan nilai-nilai demokrasi.

“Jangan bayangkan transisi demokrasi akan selalu berjalan sukses. Ada peran besar dari pimpinan nasional apakah mereka ingin memelihara proses demokratisasi atau tidak,” kata Firman. “Harus diingat, ada banyak kelompok yang tidak nyaman dengan demokrasi.“ 

Taufik Hidayat, warga Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, memilih Prabowo meski mengetahui isu HAM yang selama ini dituduhkan kepada mantan Danjen Kopassus itu. Namun laki-laki berusia 28 tahun itu menilai, “yang terjadi pada masa lalu biarlah menjadi bagian dari masa lalu“.

“Selama pelanggaran itu tidak ada buktinya, kenapa harus dipersoalkan? Toh itu urusan masa lalu dan saya melihatnya ke depan,“ kata Taufik.

Prabowo tidak pernah diadili di Pengadilan HAM soal tuduhan penculikan aktivis tahun 1997-1998 yang diarahkan kepadanya. Namun putusan Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk Panglima ABRI pada 1998 membuat kesimpulan bahwa Prabowo terlibat dalam penculikan tersebut.

“Saya melihat sosok Prabowo itu gagah sehingga Indonesia nanti bisa disegani oleh negara-negara lain. Itu saja. Lebih keren,“ kata Taufik tentang mengapa dia memilih Prabowo.

Jafar Sodiq, warga Kota Serang, memilih Prabowo meski dia telah menonton film Dirty Vote. Dia juga mengikuti pemberitaan yang membahas dugaan politik kepentingan di balik perubahan syarat calon wakil presiden.

Walau begitu, Jafar tetap menjatuhkan pilihan kepada Prabowo. Dia merasa film Dirty Vote berupaya menggiring opini publik untuk mendiskreditkan Prabowo. “Film itu kan dibuat oleh beberapa pakar, tapi seperti menghakimi,“ katanya.

Dia memilih Prabowo karena janji kampanye yang menurutnya realistis: makan siang dan susu gratis. “Yang saya anggap penting programnya. Kalau itu bisa berjalan, Indonesia bisa maju,” ujarnya.

Kritik untuk akademisi dan aktivis demokrasi

Mada Sukmajati, pakar sosiologi politik, menyebut isu demokrasi “masih sangat abstrak“ bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Beragam nilai demokrasi yang diperjuangkan sebelum era Reformasi, kata dia, telah direduksi oleh kelompok elite politik dan menengah atas menjadi sekedar proses memberikan hak pilih saat pemilu.

“Demokrasi tidak dipahami warga sampai pada hal-hal yang lebih substantif, misalnya apakah pemilu berlangsung tanpa politik uang, tidak dengan iming-iming bansos,“ kata Mada.

“Ini menandakan ketidakmampuan aktor-aktor yang dulu mendorong demokrasi, misalnya gerakan masyarakat sipil dan akademisi, untuk membumikan isu demokrasi ini sampai ke tingkat bawah. Dan memang negara sendiri juga menciptakan situasi yang akhirnya membentuk pemilih-pemilih yang paternalistik,“ ujar Mada.

Kemenangan Prabowo-Gibran dipicu banyak faktor, menurut Egi Primayogha, Koordinator Divisi Korupsi Politik di Indonesia Corruption Watch (ICW). Selain dugaan kecurangan pemilu dan keberhasilan strategi mendulang suara, Egi menilai Prabowo-Gibran bisa meraih suara terbanyak juga karena isu demokrasi yang elitis.

Egi berkata, kemenangan Prabowo-Gibran menunjukkan persoalan besar dalam demokrasi Indonesia yang belum kunjung tuntas: gerakan masyarakat sipil hanya menyirkulasikan permasalahan demokrasi di kalangan mereka sendiri.

“Isu seperti politik dinasti, korupsi dan sebagainya tak tersampaikan secara meluas, terutama kepada akar rumput sehingga sulit untuk mendorong mereka untuk bersikap berdasarkan isu-isu tersebut,“ kata Egi.

Kemenangan Prabowo-Gibran yang punya catatan buruk mengenai demokrasi menjadi buah dari tidak terselesaikannya permasalahan tersebut, tambah Egi.

“Ini adalah kekalahan telak bagi gerakan sipil yang kesekian kalinya. Lolosnya undang-undang bermasalah seperti revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan sebagainya berkali-kali terjadi selama beberapa tahun terakhir. Gerakan sipil gagal membendungnya."

“Situasi hari ini idealnya mendorong masyarakat sipil untuk segera melakukan otokritik dan mengevaluasi gerakannya,“ lanjut Egi.

Related

News 4295178035212945258

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item