Pusaran Konflik Agraria, dari Indonesia Sampai Vietnam

 Pusaran Konflik Agraria, dari Indonesia Sampai Vietnam

Naviri.Org - Konflik agraria atau masalah pertanahan, terjadi di mana-mana. Kasus-kasus yang mengemuka terkait hal itu umumnya ketika konflik terjadi antara pemerintah dan rakyat. Dalam contoh yang mudah, pemerintah bermaksud membangun sesuatu—entah gedung, bandara, jalan tol atau lainnya—di lahan milik warga.

Dalam urusan semacam itu, biasanya pemerintah—melalui wakil yang ditunjuk—akan membicarakannya baik-baik dengan warga yang lahahnya akan ditempati. Karena lahan itu milik warga, maka pemerintah pun harus mengganti biaya lahan tersebut. Warga yang punya rumah di daerah itu diberi ganti rugi yang layak, sehingga warga bersangkutan bisa mencari tempat tinggal baru.

Ketika terjadi pembicaraan dan kesepakatan yang baik semacam itu, penggusuran yang dilakukan pemerintah tidak memunculkan masalah. Karena warga yang digusur telah diberi haknya, yaitu ganti rugi atas lahan milik mereka yang digusur. Bagaimana pun, rakyat tentu tidak ingin menentang kebijakan pemerintah. Di sisi lain, pemerintah juga mestinya tidak egois dan asal gusur tanpa memikirkan nasib rakyat.

Sayangnya, dalam kasus-kasus tertentu, ada masalah dalam urusan semacam itu, dan lahirlah konflik antara pemerintah dengan warga setempat. Bisa jadi, warga yang akan digusur tidak mau pindah, dan ingin tetap menempati tempat tinggalnya semula. Alasan itu mungkin karena harga yang ditawarkan pemerintah untuk lahan mereka dinilai terlalu kecil, atau alasan lainnya. Di sisi lain, pemerintah punya kepentingan di lahan itu, dan memaksa warga untuk angkat kaki.

Kenyataan semacam itulah yang lalu memicu lahirnya masalah dan konflik, yang kadang sampai berlarut-larut. Dalam beberapa kasus, warga yang menentang bahkan sampai ditangkapi aparat. Fenomena semacam itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain, khususnya di wilayah Asia Tenggara.

Pada Agustus 2016, misalnya, Tep Vanny, aktivis lingkungan asal Kamboja, ditangkap aparat. Vanny dikenal sosok lantang atas konflik agraria di Kamboja. Selain membela hak kepemilikan tanah bagi warga Kamboja, Vanny adalah aktivis hak asasi manusia yang mendesak penyelidikan independen atas kematian aktivis Kem Ley pada 10 Juli 2016.

Kasus penangkapan Vanny bermula saat ia melakukan aksi demonstrasi damai di depan rumah Perdana Menteri Hun Sen pada 2013. Bersama aktivis lain, ia menyerukan pembebasan warga yang ditahan, selain memprotes kebijakan pemerintah yang dianggap korup, pro-pemodal, dan sewenang-wenang mengusir 4.000 keluarga di daerah dekat Danau Boeung Kak.

Bukan mendengar tuntutan warga, pemerintahan Hun Sen justru bersikap sebaliknya. Vanny, yang berada di garda depan protes itu, dituduh telah menyerang penjaga keamanan Perdana Menteri Hun Sen. Meski tidak ada bukti kredibel, ia tetap ditahan.

Vanny juga menghadapi tuduhan “penghinaan publik” serta “ancaman pembunuhan” terhadap Perdana Menteri Hun Sen saat ia berdiri membela warga Boeung Kak pada demonstrasi 'Black Monday' pada 2012.

Saat persidangan, hakim menolak mendengarkan pernyataan dari saksi yang menegaskan Vanny tak sedikit pun melakukan kekerasan. Tap Venny tetap dijatuhi hukuman 30 bulan penjara.

Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch untuk Asia, mengatakan pengadilan telah jadi alat pemerintah Kamboja untuk menargetkan anggota oposisi politik sampai aktivis masyarakat sipil, yang kerap mempertanyakan kebijakan-kebijakan negara.

“Kasus Tep Vanny adalah penyalahgunaan wewenang kejaksaan, lantaran protes damai yang ia lakukan,” kata Robertson. “Penuntutan dan penangkapan Tep Vanny ditujukan guna membungkam suara kebebasan, serta mengintimidasi aktivis Kamboja lain.”

Chak Sopheap dari Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja menyatakan sengketa agraria telah berdampak buruk, salah satunya terhadap para perempuan seperti meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, hingga terganggunya kesehatan jiwa.

Sopheap mengatakan pihak berwenang, termasuk pemerintah, tak jarang secara aktif berkolusi dengan perusahaan dalam pengusiran paksa masyarakat. Pada saat bersamaan, pengadilan kerap kali gagal memberi kemenangan bagi masyarakat yang jadi korban penggusuran lahan di Kamboja.

Sejak 2008, sekitar 2 juta hektare lahan Kamboja dialihkan ke perusahaan industri pertanian. Proses pengalihan fungsi lahan ini tak melibatkan partisipasi masyarakat, dan masyarakat pun tak menerima kompensasi. 

Kondisi serupa terjadi di Vietnam. Pada 10 Juni 2016, aktivis Can Thi Theu ditangkap polisi karena dituduh "memprovokasi" warga saat aksi damai di depan Kementerian Lingkungan Hidup Vietnam. Saat itu Thi Theu bersama rekan aktivis lain mengajukan petisi guna mencari solusi atas konflik agraria di Desa Duong Noi. Sedianya pemerintah akan menggusur rumah warga untuk memuluskan pembangunan real estate komersial.

Pengadilan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara untuk Thi Theu, karena dituduh "berperan dalam aksi damai" di depan gedung Kementerian Lingkungan Hidup. Pada 2014 juga, Thi Theu divonis 15 bulan penjara karena memprotes penggusuran.

Rekan pengacaranya mengatakan "polisi-polisi Vietnam berpakaian preman menangkap warga dan petani... yang seharusnya melindungi hak masyarakat."

Problem di Vietnam adalah kepemilikan lahan dipegang oleh pemerintah, memuluskan jalan bagi kepentingan-kepentingan politik dan bisnis macam pembangunan real estate. Pemerintah juga melarang aksi protes masyarakat. Bila kukuh menentang, ancaman bui siap menunggu.

Baca juga: Sistem Pengawasan Paling Mengerikan di Dunia

Related

Insight 2826037136676952607

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item