Masalah Pernikahan Dini di Indonesia

Masalah Pernikahan Dini di Indonesia

Naviri.Org - Pernikahan sebenarnya hak setiap orang, khususnya yang telah sesuai usia untuk menikah. Aturan “sesuai usia untuk menikah” ini kadang yang menjadi masalah. Sebagian orang menganggap usia belasan tahun sudah sesuai untuk menikah, sementara sebagian yang lain menganggap usia belasan tahun masih digolongkan sebagai anak-anak, sehingga belum layak menikah.

Menikah pada usia dini memang banyak dilakukan pada zaman dulu. Namun, seiring perkembangan zaman, menikah pada usia dini mulai ditinggalkan, karena diketahui hal tersebut tidak memberi dampak positif, namun malah hal negatif. Baik bagi pasangan suami istri bersangkutan, maupun bagi lingkungan secara luas.

Ketika wanita menikah di usia dini, dan kemudian melahirkan anak sebagai hasil pernikahan, ada kalanya tubuh si wanita belum siap, karena usianya memang belum matang. Hal itu dapat menyebabkan kematian pada si anak, atau pada si ibu, atau bahkan keduanya. Itu hanya satu contoh atau ilustrasi dari dampak negatif yang bisa muncul dari pernikahan dini.

Yang menjadi masalah, angka pernikahan dini atau perkawinan pada usia anak-anak masih tergolong tinggi di sejumlah wilayah di Indonesia. Perkawinan usia anak itu dinilai akan mengganggu rencana pemerintah dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan.

Gerakan internasional Girls Not Brides memperkirakan satu dari tujuh perempuan Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, perkawinan usia anak di Indonesia, khususnya perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun, sebesar 23 persen. Perkawinan usia dini di perdesaan mencapai 27,11 persen dan di perkotaan hanya 17,09 persen.

BPS bersama lembaga PBB untuk anak (Unicef) meluncurkan buku Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia pada Rabu (20/7/2016). Data perkawinan itu berasal dari survei sosial ekonomi nasional 2008 hingga 2012 serta sensus penduduk 2010.

Angka perkawinan anak di berbagai daerah tidak selalu dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan kemiskinan. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS M Sairi mengatakan ada beberapa faktor seperti tingkat pendidikan yang rendah dan budaya yang menganggap perkawinan usia anak itu lumrah.

Praktik perkawinan usia anak terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia. Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Unicef menargetkan praktik pernikahan usia dini bisa dihapus di seluruh dunia, termasuk Indonesia pada 2030.

Provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak tertinggi pada tahun 2015 adalah Sulawesi Barat 34 persen, Kalimantan Selatan 33,68 persen, Kalimantan Tengah 33,56 persen, Kalimantan Barat 32,21 persen, dan Sulawesi Tengah 31,91 persen.

Pernikahan anak-anak

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 26 tahun lalu melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi Hak Anak (KHA) menyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Undang-undang Perlindungan Anak nomor 23 Tahun 2012 juga menyebutkan angka 18.

Meski sudah sangat terang disebutkan dalam Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak, kategori usia anak itu seperti tak berlaku dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang perkawinan mensyaratkan perempuan menikah usia minimal 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.

Undang-undang perkawinan keluaran 1974 itu terus bertahan. Pada Juni 2015, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terhadap Undang-undang perkawinan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah mengganggap beberapa agama yang berlaku dan berbagai budaya di Indonesia mempunyai pengaturan berbeda dalam masalah usia perkawinan.

Baca juga: Memahami Dampak dan Risiko Pernikahan Dini

Related

Female 8063987610317657397

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item