Manusia, Perusak Alam Terbesar Sepanjang Masa

Manusia, Perusak Alam Terbesar Sepanjang Masa

Naviri.Org - Di antara semua makhluk hidup yang menjadi penghuni bumi, kita bisa memetakannya menjadi tiga besar. Pertama adalah manusia, kedua adalah hewan, dan ketiga adalah tumbuhan. Ketiga makhluk hidup tersebut memiliki ciri yang nyaris mirip, di antaranya berkembang biak, butuh makan, dan mendapatkan penghidupan dari bumi yang menjadi tempat tinggal.

Tetapi, jika kita pikirkan lebih mendalam, di antara tiga makhluk hidup itu, manusia menjadi pihak yang paling merusak di bumi. Manusia melakukan perusakan alam, menjadikan hewan-hewan tersingkir dari habitatnya, dan kemudian punah satu per satu. Manusia juga membabat hutan, dan menjadikan pohon-pohon bertumbangan, yang kayunya digunakan untuk keperluan manusia.

Di antara kerusakan-kerusakan itu, manusia juga menimbulkan masalah lain terkait tingginya karbon dioksida yang mencemari bumi, mengotori air dan udara, hingga suhu bumi memanas dan kian tak ramah. Selama berabad-abad, manusia melakukan semua itu, tanpa menyadari bahwa perbuatannya akan menimbulkan dampak pada bumi yang menjadi tempat tinggal.

Pembicaraan mengenai hal ini akan membawa kita pada topik Antroposen, yang belakangan marak digunakan untuk menandai skala waktu geologi saat ini.

Pengistilahan yang baku dan digunakan secara umum oleh komunitas ilmuwan dunia adalah Holosen, yang merujuk pada skala waktu geologi yang dimulai sejak sekitar 10.000 tahun silam. Ia ditandai oleh peningkatan permukaan air laut, karena melenyapnya es-es di kutub utara dan selatan. Pada era Holosen, spesies manusia modern (Homo sapiens) muncul dan beranak-pinak hingga hari ini.

Adapun Antroposen merujuk pada situasi di mana manusia menjadi faktor utama dalam perubahan-perubahan geologi. Peraih Nobel Kimia (1995) Paul Crutzen, yang pertama kali mengusulkan istilah ini, menjelaskan Antroposen dimulai ketika Revolusi Industri bergulir di Eropa pada akhir abad 18.

Dalam tulisan “Geology of Mankind” yang dimuat di jurnal Nature pada 2000, Crutzen menyajikan beberapa bukti untuk menyokong tesis Antroposen.

Di antaranya adalah meningkatnya populasi manusia sepuluh kali lipat dalam kurun waktu 300 tahun, ribuan spesies terancam punah, air dieksploitasi habis-habisan oleh manusia, peningkatan populasi ternak penghasil gas metana hingga 1,4 miliar, eksploitasi 30-50 persen permukaan tanah, lenyapnya hutan hujan tropis dengan skala yang sangat cepat, penggunaan energi yang meningkat enam belas kali lipat pada abad 20.

Gagasan Antroposen sebetulnya tidak dimulai dari Crutzen. Dia sendiri menyebutkan beberapa ilmuwan sebelumnya yang telah menempatkan keberadaan manusia sebagai faktor penting perubahan alam.

Pada 1873, geolog Italia telah menggunakan istilah Antropozoik. Pada 1926, ilmuwan Soviet, Vladimir Vernadsky, dan geolog Perancis, Teilhard de Chardin, mengajukan konsep noƶsphere (“dunia pemikiran”) untuk menandai semakin besarnya kekuatan otak manusia dalam membentuk masa depan dan lingkungan di sekitarnya.

Belakangan, konsep Antroposen digugat oleh sejumlah pemikir lingkungan yang berfokus pada bentuk-bentuk relasi sosial manusia yang menjadi penentu perubahan alam. Sebutan Antroposen pada akhirnya mengacu pada aktivitas manusia secara luas dan acak dalam perusakan alam.

Jason W. Moore, asisten professor Sociology, Binghamton University, yang juga menjabat koordinator World-Ecology Research Network, mengusulkan konsep Capitalosen (Capitalocene) yang memperhitungkan sejarah aktivitas produksi dan akumulasi kapitalis di seluruh dunia. Dengan menarik hubungan positif antara ekonomi-politik dan perusakan alam, implikasinya adalah risiko kepunahan massal sejak awal menjadi masalah politik.

Tentu revolusi industri yang mengawali periode Antroposen tidak bisa dilepaskan dari kapitalisme industrial yang secara masif mengeksploitasi bahan bakar fosil dan kekerasan politik, untuk membuka lahan-lahan baru produksi untuk produksi.

“Antroposen adalah kisah gampangan,” tulis Jason W. Moore dalam Anthropocene or Capitalocene? Nature, History and the Crisis of Capitalism (2016), “karena konsep itu tidak mempertanyakan lebih lanjut fenomena ketimpangan sosial, alienasi, dan kekerasan, yang telah menubuh dalam ekonomi dan kekuasaan.”

Baca juga: Energi Terbarukan dan Upaya Menunda Kiamat Bumi

Related

World's Fact 7820325442600101843

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item