Pekerjaan Idaman, Leyeh-leyeh Tapi Digaji

Pekerjaan Idaman, Leyeh-leyeh Tapi Digaji

Naviri Magazine - Artikel ini adalah uraian lebih lanjut dari artikel sebelumnya (Basic Income, Upaya Menggaji Para Pengangguran). Jika artikel sebelumnya membahas kemungkinan diterapkannya sistem Basic Income atau BI, artikel ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai asal usul dan sejarah BI, dan kemungkinannya untuk diterapkan di zaman sekarang.

Basic Income sebetulnya bukan ide baru. Basic Income Earth Network (BIEN) melacak bahwa ide ini punya sejarah yang panjang. Ide ini telah disinggung, setidaknya sejak era Renainssance di abad ke 15 oleh dua orang filsuf humanis; Thomas More dan karibnya, Johanes Ludovicus Vives.

Mereka mendorong penerapan Basic Income sebagai kompensasi atas perubahan agraria yang berlangsung di Inggris pada saat itu, ketika tanah-tanah petani yang bersifat common land berubah sifat menjadi milik privat.

BI juga pernah didukung oleh salah satu pahlawan sekaligus pendiri Amerika Serikat; Thomas Paine. Sama seperti More, Paine mendukungnya sebagai respons atas perubahan agraria di Amerika, yang mengubah bentuk kepemilikan tanah dari yang bersifat common menjadi milik pribadi.

Sementara pada abad ke-19, tokoh sosialisme utopis, Charles Fourier, dan filsuf serta ekonom Inggris, John Stuart Mill, menekankan pentingnya masyarakat memperoleh BI.

Sampai abad ke-20 hingga 21 kini, dukungan atas skema BI telah melampaui spektrum ideologis, meski dengan formulasi yang tentu berbeda. Skema itu misalnya juga didukung oleh ekonom neoliberal, Milton Friedman, hingga ekonom sosialis macam Andre Gorz, Erik Olin Wright, Yanis Varoufakis, hingga CEO Facebook, Mark Zuckerberg.

Meskipun didukung oleh ahli-ahli ekonomi lintas ideologi, tetap saja ada perbedaan mendasar di antara dua spektrum ideologis itu dalam memahami kebijakan Basic Income.

Menurut penuturan jurnalis Vox, Dylan Matthews, diskursus mengenai Basic Income dalam spektrum ideologi kanan sebenarnya tak hanya bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan, namun juga menghilangkan skema negara kesejahteraan (welfare state).

Matthews mencontohkan pandangan akademisi sayap kanan Amerika, Charles Murray, tentang Basic Income. Murray, lewat bukunya, In Our Hands, menganjurkan agar penerapan skema BI dapat menggantikan beberapa program jaminan sosial yang telah berlaku di Amerika, seperti jaminan pensiun, jaminan kesehatan, bantuan pemerintah federal di bidang pendidikan, maupun asuransi untuk pengangguran.

Pandangan Murray, menurut Matthews, problematis karena proposal Basic Income yang diajukan bernilai lebih rendah dibanding total nilai jaring pengaman sosial yang kini berlaku di Amerika—proposal Basic Income Murray—sebesar USD 13 ribu per tahun. Sementara nilai seluruh jaring pengaman sosial itu mencapai USD 16 ribu per tahun.

Sebaliknya, Yanis Varoufakis, ekonom dan mantan menteri ekonomi Yunani, dalam artikel yang dipublikasikan di Project Syndicate, The Universal Right to Capital Income, punya pendapat cukup radikal. Varoufakis menempatkan Basic Income dalam konteks kerentanan yang dialami oleh kelas pekerja.

Menurutnya, saat ini pekerja sedang dihadapkan pada kondisi kerja yang serba tidak pasti (precarious condition), mulai dari upah mereka, status ketenagakerjaan, perlindungan sosial, hingga ancaman otomatisasi. Dengan kondisi seperti itu, menurutnya, kebijakan Basic Income menjadi kembali relevan.

Mengenai kebijakan Basic Income sendiri, Varoufaksi menekankan, sebetulnya pemerintah tak perlu bingung mencari sumber pendanaan untuk membiayai kebijakan ini. Menurutnya, negara tak perlu menggunakan pajak sebagai sumber pendanaan, melainkan melalui pungutan dividen perusahaan.

Hal itu bisa diterapkan apabila negara menuntut perusahaan untuk memberikan beberapa persen porsi saham mereka di setiap Initial Public Offering (IPO). Konsep pendanaan ini, oleh Varoufakis, dinamakan Universal Basic Dividend (UBD), suatu skema yang dapat menyelesaikan masalah pendanaan kebijakan BI tanpa perlu melemahkan sistem kesejahteraan negara.

Kombinasi antara otomatisasi hasil teknologi robot dan kecerdasan buatan, kesadaran manusia untuk tidak bekerja di sektor yang sia-sia, dan kebutuhan perusahaan untuk menjual produk mereka, sepertinya membuat skema Basic Income ini relevan. Jadi mungkin saja, kita akan memasuki era pascakerja (post-work era) yang memungkinkan kita menikmati pekerjaan idaman, yaitu leyeh-leyeh, tapi tetap digaji.

Baca juga: 5 Kehalian yang Bisa Menghasilkan Banyak Uang

Related

Career 875827494993471984

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item