Ngeri! Tahun 2050, Jakarta Utara Terancam Tenggelam

Ngeri! Tahun 2050, Jakarta Utara Terancam Tenggelam

Naviri Magazine - Jakarta sedang menghadapi masalah yang mengkhawatirkan, yaitu penurunan permukaan tanah. Dari tahun ke tahun, penurunan permukaan tanah itu terus terjadi, dan artinya permukaan tanah semakin rendah. Jika masalah ini tidak segera diantisipasi, lama-lama permukaan tanah akan benar-benar amblas, dan air laut akan naik ke darat.

Berdasarkan riset tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), di Jakarta Utara setiap tahunnya terjadi penurunan permukaan tanah dengan kedalaman mencapai 25 cm.

"Ini adalah salah satu penurunan tanah terbesar di dunia, karena kita bayangkan dalam 10 tahun penurunannya mencapai 2,5 meter," kata Heri Andreas, salah satu doktor di bidang geodesi ITB yang terlibat dalam penelitian ini.

Heri menekankan bahwa peluang Jakarta untuk tenggelam, tidak mengada-ada. Ada data yang berbicara. "Jika tidak dilakukan apa-apa, maka pada tahun 2050, sekitar 95% wilayah Jakarta Utara sudah berada di bawah laut," katanya.

Penurunan tanah tidak hanya terjadi di Jakarta Utara, tetapi di seluruh DKI Jakarta. Jakarta Barat turun sampai 15 cm per tahun. Jakarta Timur, 10 cm setiap tahun. Penurunan tanah sedalam 2 cm terjadi di Jakarta Pusat. Sementara, di Jakarta Selatan penurunannya sekitar 1 cm per tahun.

Apa penyebabnya?

Saat berkunjung ke Jakarta Utara, Heri mengungkapkan bahwa penyebab utama penurunan tanah adalah karena pengambilan air-tanah dalam yang berlebihan. Air tanah dalam adalah air tanah yang terletak di kedalaman sekitar 80 sampai 300 meter di bawah permukaan tanah.

Intensnya pengambilan air-tanah dalam di Jakarta, menggunakan sumur dan pompa air, karena Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) hanya bisa memenuhi 40% kebutuhan air bersih, termasuk air minum warga ibukota.

"Sisanya (60% kebutuhan) harus dicari sendiri. Dan yang paling mudah, paling gampang dan paling bagus kualitas airnya itu ya dari tanah," jelas Heri.

Dipompa dari dalam bumi, air ini tidak hanya digunakan oleh gedung-gedung tinggi. Menurut Heri, saat ini sudah banyak perumahan warga yang menggunakan air-tanah dalam, karena air tanah yang lebih dangkal 'sudah tercemar'.

Gedung amblas, tanggul bobol, banjir

Penghentian eksploitasi air tanah, menurut sang doktor, harus segera dilakukan. Pasalnya, gejala penurunan tanah semakin memburuk dan tidak lagi sulit dicari, khususnya di Jakarta Utara.

Di Muara Baru, sebuah gedung dua lantai yang berdiri sejak tahun 1970an, hampir menjadi gedung satu lantai. Sekitar tiga perempat lantai dasar gedung telah terbenam masuk ke tanah dan digenangi air.

Tidak jauh dari sana, lantai sebuah pasar ikan tampak bergelombang. Penurunan tanah membuat amblasan dan celah menganga setinggi 20 cm, antara tanah dan dasar bangunan.

Dan tidak hanya bangunan terperosok, tanah amblas, banjir rob, dan tenggelamnya Jakarta yang akan terjadi. Profesor Heri menekankan, jika penurunan permukaan tanah tidak dihentikan, banjir di ibukota, termasuk di Jakarta Pusat, daerah yang sebenarnya lebih jauh dari tepi laut, akan semakin rutin terjadi.

"Hubungan antara penurunan tanah dan banjir itu sangat kuat,” ujarnya. “Di Jakarta, air juga bisa datang dari daerah Bogor, atau hujan. Karena tanah terus turun dan air laut lebih tinggi dari permukaan tanah, maka air dari Bogor atau air hujan tidak bisa langsung ke laut. Otomatis membanjiri daerah-daerah yang mengalami penurunan tanah itu, termasuk yang penurunannya kecil."

Heri menyarankan pemerintah Jakarta meniru apa yang dilakukan Tokyo. Ibukota Jepang itu sebelum tahun 1975, juga mengalami masalah penurunan permukaan tanah.

"Tokyo benar-benar menghentikan penggunaan air tanah. Tidak ada lagi gedung yang diperbolehkan mengambil air tanah." Dengan menerapkan kebijakan itu sejak tahun 1975, penurunan permukaan tanah di Tokyo pun berhenti.

Ide penghentian total pengambilan air-tanah dalam di Jakarta, disebut Heri, harus diikuti ketersediaan sumber air bersih pengganti. Menurutnya, air permukaan; sungai dan danau, bisa menjadi jawaban. Namun, jawaban ini diakuinya sedang menghadapi masalah serius.

"Kita punya 13 sungai (di Jakarta), kotor semua. Itu kan cadangan air. Selain itu embung atau danau-danau di Jakarta, seharusnya bisa jadi sumber air. Namun, faktanya sekarang kita belum bisa menjernihkan air sungai dan danau itu," ujar Heri.

Padahal dirinya telah menghitung bahwa 13 sungai dan berbagai danau di Jakarta bisa memenuhi kebutuhan air warga ibukota.

Namun harapan itu jelas dihinggapi kegamangan yang pekat, karena faktanya pengambilan air-tanah dalam terus dilakukan. Dan selama itu terjadi, sentimeter demi sentimeter permukaan tanah Jakarta akan terus turun, dan tenggelamnya Jakarta tinggal menunggu waktu.

Baca juga: Ngeri, Ramalan Surat Kabar Tahun 1912 Kini Terbukti Nyata

Related

Science 3995626810756523649

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item