Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia (Bagian 4)

Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia (Bagian 4)

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia - Bagian 3). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Lewat fasilitas pemerintah pula, di masa itu tampil generasi sutradara Garin Nugroho yang melanjutkan mata rantai perjalanan perfilman nasional dengan film-film yang diterima di festival-festival film internasional, meskipun sulit diterima masyarakat Indonesia sendiri.

Masa suram perfilman nasional mencapai puncaknya, ketika iklim politik bergejolak menjelang tahun 2000. Era Orde Baru tumbang dalam sebuah gerakan reformasi. Organisasi-organisasi perfilman, yang menjadi tiang penyangga perfilman nasional, ikut lumpuh. Departemen Penerangan, yang menjadi naungan perfilman nasional, dibubarkan di era pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Perfilman Nasional sudah mati suri, lalu kehilangan induk.

Organisasi-organisasi perfilman masih bertahan, namun dalam kondisi sempoyongan. Organisasi-organisasi film itu adalah PPFI, KFT, PARFI, SENAKKI, GPBSI, GASFI, PWI Jaya Seksi Film, dan Perfiki. Pada era itu, sempat muncul organisasi perfilman lain seperti GAN (Gabungan Artis Nusantara), Parsi (Persatuan Artis Sinetron Indonesia), dan sejumlah organisasi baru, namun aktivitasnya tidak banyak berarti.

2000 - 2008

Dekade setelah tahun 2000 adalah masa bergeraknya kembali perfilman nasional. Dimulai dengan munculnya film Petualangan Sherina yang disambut antusias oleh masyarakat.

Sebuah generasi baru perfilman nasional tampil, antara lain Mira Lesmana yang membuat Petualangan Sherina, kemudian melahirkan film Ada Apa dengan Cinta. Dia bekerja sama dengan sutradara Riri Riza, serta Rudy Soedjarwo. Tampil pula produser Nia Dinata, yang membuat film Ca Bau Kan.

Selanjutnya disusul tampilnya sineas-sineas muda, kebanyakan berasal dari keluarga mapan, yang terjun ke film secara instan, bersandar pada kekuatan modal. Berbeda dengan era sebelumnya, ketika kebanyakan sineas berlatar belakang seniman dengan proses kreatif, pada era ini kebanyakan sineas berlatar belakang hobi, meskipun di antaranya juga berlatar belakang pendidikan film.

Indonesia memasuki era baru, ditandai dengan pergerakan kembali produksi film nasional, antara lain didukung dengan teknologi digital yang kemudian ditransfer ke seluloid.

Para pelaku industri perfilman era sebelumnya ikut bergerak, antara lain dengan munculnya film Kafir, Joshua, Petualangan Seratus Jam, Eiffel I’m in Love, bersama-sama dengan pelaku industri pendatang baru, yang melahirkan film-film seperti Djelangkung, Cinta 24 Karat, Biarkan Bintang Menari, dan seterusnya.

Era digital juga menumbuhkan komunitas pembuat film-film independen di berbagai daerah. Masa-masa ini menjadi era kebebasan berkreasi dalam perfilman, namun masa ketika industri perfilman tidak memiliki pijakan atau sistem yang mendukung.

Bioskop-bioskop sudah banyak yang bangkrut, dari semula sekitar 4.000 layar tinggal sekitar 400 layar. Itu pun didominasi oleh jaringan Cineplex 21 yang kemudian mekar dengan Cinema XXI. Muncul kemudian jaringan bioskop Blitz di Bandung dan Jakarta, namun tak banyak berpengaruh pada film Indonesia.

Blitz hadir semata-mata untuk kepentingan bisnis hiburan. Bioskop-bioskop di luar jaringan Cineplex-21 dan Cinema XXI kebanyakan adalah bioskop-bioskop kelas bawah, sekadar bertahan, lantaran kesulitan mendapatkan suplai film.

Produksi film Indonesia memang terus meningkat. Pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 70 sampai 80 judul. Namun, fasilitas untuk penayangannya justru terasa tidak memadai. Pasar film Indonesia hanya di Jakarta dan beberapa kota besar, tanpa ada alternatif lain, kecuali pasar dalam bentuk penayangan di televisi dan peredaran untuk home intertainment (VCD/DVD).

Selain bioskop-bioskop telanjur banyak yang bangkrut, di masa itu juga tidak ada lagi jaringan peredaran dan pemasaran seperti 1970-an, ketika ada Perfin (Pusat Peredaran Film) yang mengatur masalah peredaran.

Juga tidak seperti masa itu, di mana banyak bioskop di berbagai daerah memunculkan distributor-distributor untuk sejumlah kawasan edar, sehingga film tidak hanya bertumpu pada jaringan bioskop tertentu. Sekarang, peredaran, pendistribusian, dan pemasaran film, praktis terpusat hanya pada satu jaringan peredaran yang sekaligus mendominasi bioskop yang ada di Indonesia.

Dalam suasana kreativitas bergairah, sementara industri perfilman tidak memiliki sistem yang mendukung, hal yang ironis justru berlangsung. Terjadi ketidakserasian antargenerasi perfilman, juga antara masyarakat perfilman dengan pemerintah, antara masyarakat film dengan pers.

Bahkan ketidakserasian antara jaringan pelaku industri film sebenarnya juga berlangsung, kendati lebih berlatar belakang kepentingan bisnis. Pemerintah menempatkan perfilman nasional berada di bawah naungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang kemudian menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Perfilman nasional punya induk lagi, namun infrastruktur terlanjur centang perenang.

Tahun 2004, FFI yang 12 tahun terhenti, kembali diselenggarakan, dengan fasilitas pemerintah. Hadirnya peristiwa FFI justru semakin memperlihatkan adanya kesenjangan antarmasyarakat perfilman. Kesenjangan itu memuncak tahun 2006, ketika sejumlah penerima Piala Citra mengembalikan simbol penghargaan dari FFI tersebut.

Perfilman nasional semakin centang perenang, ketika Badan Pertimbangan Perfilman Nasional atau BP2N bentukan pemerintah membatalkan keputusan Dewan Juri FFI atas film Ekskul sebagai Film Terbaik FFI 2006.

Selain FFI, juga berlangsung festival-festival film lain, seperti Jakarta International Film Festival (Jiffest), Festival Film Bandung, Festival Film Jakarta, Indonesian Movie Award, Bali International Film Festival, Asia Film Festival Yogyakarta, serta festival-festival dengan spesifikasi tertentu seperti Festival Film Independen Indonesia, atau Festival Film Dokumenter, dan sebagainya.

Perfilman nasional dekade 2000 hingga 2008 menjadi proses pembelajaran baru bagi masyarakat film, juga bangsa, dalam mengelola apa yang disebut kebebasan, demokrasi, serta dalam memperlakukan film sebagai karya cipta budaya sekaligus sebagai produk industri.

Sejauh ini, kebebasan dan demokrasi dalam perfilman sedang memperlihatkan euforia, di mana masing-masing pihak di kalangan masyarakat film berebut ruang untuk diri sendiri, dengan berusaha menutup ruang bagi yang lain.

Lalu lahir kelompok Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang melakukan pemboikotan terhadap FFI, juga beberapa pendukungnya mengajukan gugatan uji materi Undang-undang Perfilman ke Mahkamah Konstitusi dengan isu utama pembubaran Lembaga Sensor Film.

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan mereka. Hingga menjelang tahun 2010, pergerakan film nasional ditandai dengan dominannya kembali pelaku-pelaku industri film era sebelum 2000. Sementara generasi baru yang muncul setelah tahun 2000, belakangan lebih tertarik memasuki pergulatan di wilayah politik perfilman.

Baca juga: Sejarah dan Asal Usul Lahirnya Film Horor di Dunia

Related

Film 6875592459869127153

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item