Sejarah dan Asal Usul Label Halal pada Makanan di Indonesia

Sejarah dan Asal Usul Label Halal pada Makanan di Indonesia

Naviri Magazine - Kalau kita perhatikan, kemasan makanan atau minuman yang beredar di Indonesia dilengkapi dengan label “Halal” yang biasanya tertulis menggunakan tulisan Arab. Label itu dikeluarkan oleh LPPOM MUI, yang menjadi tanda bahwa makanan atau minuman tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan (untuk muslim).

Dalam situs resmi Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) MUI, halalmui.org, disebutkan LPPOM MUI didirikan pada 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Badan ini dibentuk setelah kasus lemak babi di Indonesia yang meresahkan masyarakat pada 1988. Pemerintah meminta MUI berperan dalam meredakan masalah tersebut. Maka, berdirilah LPPOM.

Namun, penanganan label halal pada makanan sebenarnya telah dilakukan belasan tahun sebelum LPPOM didirikan. Hal ini diungkapkan Sunarto Prawirosujanto, dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Kementerian Kesehatan.

Dia menyatakan penanganan label halal sudah dimulai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 280/Men.Kes/Per/XI/1976 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi.

“Konsep SK diajukan kepada Menteri Kesehatan yang waktu itu dijabat oleh almarhum Prof Dr. GA Siwabessy. Almarhum langsung menyetujuinya, walaupun almarhum beragama Kristen,” kata Sunarto dalam biografinya, Rintisan Pembangunan Farmasi Indonesia.

Peraturan ini, kata Sunarto, mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan “mengandung babi” dan diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih. Bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), label dibagikan secara cuma-cuma pada perusahaan yang memerlukan.

Mengapa yang dikasih label malah makanan yang mengandung babi?

“Pertimbangannya waktu itu ialah bahwa 99 persen makanan dan minuman yang beredar di Indonesia adalah halal,” kata Sunarto. “Jadi lebih praktis mengamankan yang 1 persen yang tidak halal itu dulu, termasuk makanan di restoran dan hotel.”

Namun, lanjut Sunarto, perusahaan yang ingin mencantumkan label halal boleh saja, asal bertanggung jawab. Kendati waktu itu belum ada undang-undang khusus yang mengatur hal itu, perusahaan yang menyebutkan produknya halal namun terbukti tidak halal dapat dituntut sebagai penipuan sesuai undang-undang yang ada.

Selain itu, sambil menunggu peraturan labelisasi halal yang akan makan waktu, Sunarto mengusulkan agar perusahaan yang yakin produknya tidak mengandung bahan hewani atau alkohol diberi kelonggaran untuk mencantumkan label “tidak mengandung bahan hewani dan alcohol”.

“Dengan demikian, 90 persen persoalan sudah bisa diatasi,” kata Sunarto.

Sepuluh tahun kemudian, pencantuman label halal baru secara resmi diatur dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan No. 68 tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan.

Dalam peraturan yang diteken pada 12 Agustus 1985 ini, yang membuat label halal adalah produsen makanan dan minuman setelah melaporkan komposisi bahan dan proses pengolahan kepada Departemen Kesehatan.

Pengawasan dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan. Dalam tim ini terdapat unsur dari Departemen Agama.

MUI sendiri baru terlibat dalam menangani labelisasi halal setelah dibentuknya LPPOM pada 1989.

Baca juga: Panduan Memilih Bahan Makanan yang Baik, Sehat, dan Segar

Related

History 1818254722809772041

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item