Peristiwa Bencana Banjir Nuh Menurut Analisis Harun Yahya

Peristiwa Bencana Banjir Nuh Menurut Analisis Harun Yahya

Naviri Magazine - Mereka yang menolak realitas terjadinya Banjir masa Nabi Nuh, menopang pendirian dengan menyatakan bahwa banjir global atas seluruh dunia adalah suatu hal yang mustahil. Bukan hanya itu, penyangkalan mereka atas terjadinya banjir yang bagaimana pun bentuknya adalah ditujukan untuk menyerang apa yang telah dikemukakan al-Qur'an.

Menurut mereka, semua kitab yang berasal dari wahyu, termasuk al-Qur'an, mempertahankan pendirian bahwa banjir Nuh adalah banjir yang global, dan karenanya seluruh berita itu adalah informasi yang keliru.

Penolakan terhadap pernyataan al-Qur'an ini tidak benar. Al-Qur'an diwahyukan oleh Allah, dan al-Qur'an merupakan satu-satunya kitab suci yang tidak terubah. Al-Qur'an memandang banjir dengan sudut pandang yang sangat berbeda dibandingkan cara pandang Pentateuch dan legenda-legenda tentang banjir lain yang diriwayatkan dalam berbagai kebudayaan.

Pentateuch, nama bagi lima buku (kitab) pertama dalam Perjanjian Lama, menyatakan bahwa banjir tersebut bersifal global, menutupi seluruh bumi. Namun, al-Qur'an tidak memberikan keterangan seperti itu, dan sebaliknya ayat-ayat yang relevan dengan peristiwa ini membawa suatu kesimpulan bahwa banjir itu hanya bersifat regional (menutupi wilayah tertentu), tidak menutupi seluruh bumi, dan hanya menenggelamkan umat Nabi Nuh saja, yang mereka itu telah diberi peringatan oleh Nabi Nuh dan akhirnya membangkang, sehingga dihukum.

Sebagai seorang pemberi peringatan, Nuh hanya diutus untuk kaumnya saja. Karena itu, Allah tidak menghancurkan kaum-kaum yang kepada mereka tidak Dia utus rasul, akan tetapi Allah hanya menghancurkan umat Nabi Nuh.

Dari penyataan-pernyataan dalam al-Qur'an, kita bisa memastikan bahwa banjir tersebut adalah bencana yang bersifat lokal, bukan global (seluruh dunia). Penggalian-penggalian yang dilakukan pada daerah-daerah arkeologis, yang diperkirakan sebagai lokasi terjadinya banjir, menunjukkan bahwa banjir tersebut bukan peristiwa global yang mempengaruhi seluruh bumi, tetapi bencana sangat luas yang mempengaruhi bagian tertentu dari wilayah Mesopotamia.

Apakah seluruh binatang ikut dinaikkan ke perahu?

Para penfasir Bibel yakin bahwa Nabi Nuh memasukkan seluruh spesies binatang yang ada di muka bumi ke atas perahu, dan binatang-binatang itu bisa selamat dari kepunahan karena kebaikan Nabi Nuh. Menurut apa yang mereka yakini, setiap pasang dari tiap spesies yang ada di muka bumi juga dibawa bersama ke atas perahu.

Mereka yang mempertahankan pernyataan itu, dengan tanpa ragu harus menghadapi kejanggalan-kejanggalan yang serius dalam berbagai hal. Pertanyaan tentang bagaimana berbagai jenis binatang yang diangkut ke atas perahu itu diberi makan, bagaimana mereka ditempatkan di dalam perahu (kandang-kandang untuk mereka), atau bagaimana mereka dipisahkan satu dengan lainnya, adalah pertanyaan-pertanyaan yang mustahil terjawab.

Lagi pula, masih ada beberapa pertanyaan yang tersisa: bagaimana binatang-binatang yang berasal dari berbagai benua (daratan) yang berbeda bisa dibawa bersamaan; berbagai mamalia yang ada di kutub, kanguru dari Australia, atau bison yang aneh dari Amerika?

Juga, masih adalah berbagai pertanyaan lebih banyak lagi, seperti bagaimana binatang yang sangat membahayakan, yang berbisa seperti berbagai jenis ular, kalajengking dan binatang-binatang buas, bisa ditangkap serta bagaimana mereka bisa bertahan padahal dipisahkan dari habitat alamiahnya untuk suatu waktu hingga banjir surut?

Ini adalah berbagai pertanyaan yang dihadapi oleh Perjanjian Lama. Di dalam al-Qur'an, tidak ada pernyataan yang mengindikasikan bahwa seluruh spesies binatang di muka bumi dinaikkan ke atas perahu. Dan sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya, banjir terjadi dalam wilayah tertentu saja, sehingga binatang yang dinaikkan perahu pun hanya yang hidup di wilayah di mana umat Nabi Nuh tinggal.

Meski demikian, ini adalah bukti bahwa mustahil sekalipun hanya untuk mengumpulkan seluruh jenis binatang yang hidup di wilayah tersebut. Sulit dipikirkan Nabi Nuh beserta sejumlah kecil orang-orang yang beriman yang menyertainya (QS. Hud: 40) pergi ke segala penjuru untuk mengumpulkan masing-masing dua ekor dari ratusan spesies binatang di sekitar mereka.

Bahkan, lebih mustahil lagi bagi mereka untuk mengumpulkan berbagai tipe serangga yang hidup di wilayah mereka, serta untuk memisahkan antara yang jantan dan betina! Ini alasan mengapa yang lebih memungkinkan adalah bahwa yang dikumpulkan hanya binatang yang bisa dengan mudah ditangkap dan dipelihara, dan karenanya binatang tersebut adalah binatang ternak yang secara khusus berguna bagi manusia.

Nabi Nuh agaknya memasukkan binatang-binatang sejenis itu ke perahu, yakni seperti sapi, biri-biri, kuda, unggas, unta, dan sejenisnya, karena inilah binatang-binatang yang dibutuhkan untuk penyangga kehidupan baru bagi di wilayah yang telah kehilangan sejumlah besar prasarana hidup dikarenakan bencana banjir tersebut.

Di sini masalah penting terletak pada kebijaksanaan Ilahiah dalam perintah Allah kepada Nabi Nuh untuk mengumpulkan berbagai binatang, terletak pada arahan untuk menumpulkan binatang-binatang yang dibutuhkan untuk kehidupan baru setelah banjir berakhir, daripada untuk kepentingan mempertahankan genus berbagai binatang.

Selama banjir bersifat lokal, kepunahan berbagai jenis binatang tidak akan mungkin terjadi. Agaknya ada kecenderungan bahwa pada masa setelah banjir, berbagai binatang dari wilayah-wilayah lain bermigrasi ke tempat tersebut, dan memadati daerah tersebut dengan cara kehidupan lama yang pernah ada.

Sehingga yang terpenting adalah bahwa kehidupan bisa dirintis kembali begitu banjir berakhir, dan binatang-binatang yang dikumpulkan (dan diangkut ke atas perahu) dimaksudkan untuk tujuan perintisan kehidupan seperti itu.

Berapa tinggikah air banjir tersebut?

Perdebatan lain di seputar masalah banjir adalah, apakah banjir itu memancar dan menggenang sebegitu tinggi sehingga menenggelamkan gunung?

Sebagaimana telah diberitahukan, al-Qur'an menginformasikan kepada kita bahwa perahu Nabi Nuh terdampar di suatu tempat bernama "al-Judi" setelah banjir selesai. Kata "judi" secara umum merujuk pada lokasi gunung tertentu, sedangkan kata itu memiliki arti "tempat yang tinggi atau bukit".

Karenanya, hendaknya jangan dilupakan bahwa di dalam al-Qur'an, "judi" bisa jadi tidak digunakan sebagai nama bagi gunung tertentu, tetapi untuk menunjukkan bahwa perahu telah terdampar dan terhenti pada sebuah tempat yang tinggi.

Di samping itu, makna kata "judi" yang disebut di atas mungkin juga memperlihatkan bahwa air bah mencapai ketinggian tertentu, tetapi tidak mencapai ketinggian puncak gunung. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa yang paling memungkinkan adalah bahwa banjir tidak menenggelamkan seluruh bumi dan seluruh gunung sebagaimana digambarkan dalam Perjanjian Lama, tetapi hanya menggenangi wilayah tertentu saja.

Lokasi Banjir Nuh

Daratan Mesopotamia diduga kuat sebagai lokasi di mana banjir masa Nabi Nuh terjadi. Wilayah ini diketahui sebagai tempat bagi peradaban tertua dalam sejarah. Lagi pula, dengan posisinya yang berada di antara sungai Tigris dan Eufrat, tempat ini sangat memungkinkan untuk terjadinya sebuah banjir besar. Di antara fakor penyebab terjadinya banjir kemungkinan adalah kedua sungai ini airnya meluap dan membanjiri wilayah tersebut.

Alasan kedua mengapa daerah tersebut diduga kuat sebagai tempat terjadinya banjir adalah bukti-bukti historis. Dalam rekaman sejarah berbagai peradaban manusia yang pernah menempati lokasi tersebut, banyak dokumen yang ditemukan telah merujuk pada pernah terjadinya sebuah banjir, dan banjir itu disebutkan terjadi dalam periode masa yang sama.

Setelah menyaksikan pembinasaan kaum Nabi Nuh, peradaban-peradaban tersebut agaknya merasa perlu untuk merekam dalam sejarah mereka, bagaimana banjir itu terjadi, serta bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh banjir tersebut. Telah diketahui pula, bahwa mayoritas legenda-legenda yang menceritakan banjir berasal dari Mesopotamia.

Yang juga lebih penting bagi kita adalah temuan-temuan arkeologis. Temuan ini memperlihatkan bahwa sebuah banjir besar pernah terjadi di wilayah ini. Banjir telah menyebabkan tertundanya mata rantai perkembangan peradaban untuk jangka waktu tertentu. Dalam penggalian-penggalian yang dilakukan, tampak jejak-jejak dari bencana dahsyat tersingkap dari timbunan tanah.

Penggalian-penggalian yang dilakukan di wilayah Mesopotamia telah mengungkap, bahwa berkali-kali dalam sejarah, wilayah ini menderita berbagai macam bencana sebagai akibat dari berkali-kali banjir dan meluapnya Sungai Eufrat dan Tigris.

Sebagai misal, pada millenium kedua Sebelum Masehi (SM), pada masa Ibbi-sin, penguasa bangsa Ur yang besar, yang berlokasi di sebelah selatan Mesopotamia, sebuah tahun tertentu ditandai dengan "sesudah terjadinya sebuah banjir yang telah melenyapkan garis batas antara surga-surga dan bumi".

Di sekitar tahun 1700 Sebelum Masehi (SM), pada masa kekuasaan Hamurabi dari Babilonia, sebuah tahun dikenang sebagai sebuah masa dimana terjadi di dalamnya insiden "hujan di kota Eshnunna yang disertai banjir".

Pada abad ke 10 SM, pada masa pemerintahan Nabu-mukin-apal, sebuah banjir terjadi di kota Babilon. Setelah masa kehidupan Isa (Jesus) pada abad ke 7, 8, 10, 11, dan 12, banjir-banjir yang dinilai bersejarah (penting) terjadi dalam wilayah tersebut.

Dalam abad ke 20, kejadian yang sama terjadi pada tahun 1925, 1930, dan 1954. Jelas sudah, bahwa wilayah ini telah menjadi obyek bagi terjadinya bencana banjir, dan sebagaimana ditunjukkan dalam al-Qur'an bahwa rupa-rupanya sebuah banjir yang masif telah menghancurkan dan membinasakan sebuah komunitas manusia secara keseluruhan.

Related

Moslem World 2724412610720970623

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item