Wawancara Pertama dengan Seorang Lelaki yang Mati (Bagian 2)

Wawancara Pertama dengan Seorang Lelaki yang Mati

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Wawancara Pertama dengan Seorang Lelaki yang Mati - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Ilmuwan mengatakan, bagian frontal dan parietal merupakan bagian yang kerap disebut default mode network, sistem kompleks yang penting agar si pemilik otak memiliki kesadaran. Jaringan ini penting agar seseorang bisa mengingat masa lalu, memikirkan dirinya, merasakan eksistensinya, serta menyadari bahwa dirinya adalah agen dari sebuah tindakan yang dilakukannya sendiri.

"Saya telah melakukan analisis PET selama 15 tahun, dan saya tak pernah melihat seseorang yang mampu berdiri dan berinteraksi dengan orang lain dengan kondisi abnormal (seperti pada Graham)," kata Laureys.

"Fungsi otak Graham menunjukkan seseorang yang sedang ada dalam kondisi dibius atau tidur. Melihat kondisi ini pada seseorang yang terjaga adalah unik, sepanjang pengetahuan saya," tambahnya.

Zeman mengatakan bahwa hasil scan PET Graham bisa dipengaruhi oleh pil anti-depresi yang dikonsumsi untuk meredakan sindromnya. Tak bijak untuk membuat banyak kesimpulan dari hasil analisis satu orang saja.

Meski demikian, Zeman mengatakan, "Masuk akal bahwa berkurangnya metabolisme membuatnya memiliki pengalaman berbeda tentang dunia, dan memengaruhi kemampuannya untuk mengungkapkan alasannya."

Laureys menjelaskan, "Ada banyak hal yang tidak kita ketahui tentang bagaimana menjelaskan kesadaran." Dari kasus Graham, ilmuwan belajar bahwa otak memengaruhi persepsi tentang diri dan bisa tak berfungsi.

Hasil scan PET memberi banyak pengetahuan pada ilmuwan. Namun, bagi Graham, scan itu tak berarti apa-apa. "Saya merasa berada di titik terendah," katanya. Saat ini, giginya sudah mulai menghitam karena jarang disikat dan dirawat.

Graham mengatakan, ia benar-benar tak punya pemikiran tentang masa depan pada saat itu. "Saya tak punya pilihan lain kecuali menerima fakta bahwa saya tak punya cara untuk benar-benar mati. Itu benar-benar mimpi buruk," katanya.

Bayangan pemakaman

Perasaan mati membuat Graham sering pergi ke pemakaman. "Saya cuma merasa bahwa saya merasa baik di sana. Itu adalah tempat terdekat saya bisa mati, walau polisi bisa datang menjemput dan membawa saya pulang," tuturnya.

Ada konsekuensi yang tak bisa dijelaskan dari sindrom yang dialami Graham. Ia mengatakan bahwa ia merasa memiliki kaki indah dengan bulu-bulu. Namun, setelah mengalami sindrom Cotard, semua bulunya rontok. "Saya merasa seperti ayam yang dicabuti bulunya," cetusnya.

Graham terus mendapatkan perawatan. Dengan obat-obatan dan psikoterapi, kondisi Graham berangsur membaik. Ia tak lagi berada dalam sindrom Cotard. Ia bisa hidup mandiri. "Sindrom Cotard-nya, hilang dan kapasitasnya untuk merasakan kesenangan hidup telah kembali," kata Zeman.

"Saya tak bisa mengatakan saya telah kembali normal sekarang, tetapi saya merasa jauh lebih baik dan bisa pergi keluar serta melakukan sesuatu di sekeliling rumah," kata Graham. "Saya tak merasakan otak mati itu lagi. Hanya merasa aneh saja kadang-kadang.”

Pengalaman Graham mengubah cara pandangnya tentang kematian. Graham menuturkan, "Saya tak merasa takut pada kematian. Tapi ini tak terkait dengan apa yang terjadi, semua orang akan mati pada akhirnya. Saya merasa beruntung bisa hidup saat ini."

Catatan

National Institute of Health (NIH) di Amerika Serikat menyatakan bahwa sindrom Cotard dideskripsikan pertama kali pada tahun 1882 oleh seorang dokter bernama Julie Cotard. Hingga saat ini, tidak ada obat khusus untuk menyembuhkan gejala neurologis ini.

Fokus penanganan biasanya pada sindrom yang dialami. Orang yang mengalami sindrom Cotard biasanya akan mendapatkan obat anti-depresi dan anti-psikosis. Penderita biasanya juga akan menerima electroconclusive therapy (ECT) atau bahasa mudahnya terapi dengan setrum.

Kasus sindrom Cotard juga pernah dilaporkan pada tahun 2008 oleh Anne Ruminjo dari Departemen Psikiatri, Beth Israel Medical Center, New York. Laporan dimuat di jurnal Psychiatry pada 5 Juni 2008.

Dalam laporan itu, seorang wanita Filipina berusia 53 tahun mengeluh bahwa dirinya telah mati dan berbau seperti daging busuk. Ia mengalami ketidakseimbangan elektrolit. Kondisinya membaik setelah diberi beberapa obat.

Related

Science 9059734818969792865

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item