Biografi Lengkap Gus Dur, dari Santri Menjadi Presiden (Bagian 2)

Biografi Lengkap Gus Dur, dari Santri Menjadi Presiden

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Biografi Lengkap Gus Dur, dari Santri Menjadi Presiden - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Gus Dur prihatin dengan kondisi itu, karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama, ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Gus Dur memilih batal belajar ke luar negeri, dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah dan surat kabar. Artikelnya diterima dengan baik, dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Gus Dur tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian, dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es.

Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas, dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi guru Kitab Al Hikam.

Pada 1977, Gus Dur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam, dan universitas ingin agar Gus Dur mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi. Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas.

Awal keterlibatan di Nahdlatul Ulama

Karena latar belakang keluarganya, Wahid diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik, dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU.

Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan dewan tersebut atas saran kakeknya, Bisri Syansuri. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta, dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid menjadikan dirinya sebagai reforman NU.

Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU.

Wahid menyebut bahwa pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.

Mereformasi NU

Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan kepemimpinan.

Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid, dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, awalnya melawan. Tetapi, akhirnya mundur karena tekanan.

Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusional. Dengan imbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya, dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.

Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respons NU terhadap isu tersebut.

Akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial, daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.

Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama

Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya.

Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU, termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid.

Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta Munas.

Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Soeharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya, menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada 1985, Soeharto menjadikan Gus Dur sebagai indoktrinator Pancasila.

Pada 1987, Abdurrahman Wahid menunjukkan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987, dan memperkuat Partai Golkar-Soeharto. Ia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun disukai oleh rezim, Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Hal ini merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Soeharto masih mendapat dukungan politik dari NU.

Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren, dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.

Pada 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur, untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU, untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim. Gus Dur pernah pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan bisa mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi".

Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru

Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka.

Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie, dan di dalamnya terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota.

Pada 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena mengira ICMI mendukung sektarianisme, dan akan membuat Soeharto tetap kuat.

Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah, dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.

Baca lanjutannya: Biografi Lengkap Gus Dur, dari Santri Menjadi Presiden (Bagian 3) 

Related

Figures 8977828397705769795

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item