Biografi Lengkap Gus Dur, dari Santri Menjadi Presiden (Bagian 3)

Biografi Lengkap Gus Dur, dari Santri Menjadi Presiden

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Biografi Lengkap Gus Dur, dari Santri Menjadi Presiden - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66, dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU.

Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta.

Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto, menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.

Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama, dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.

Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi

Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko, berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur.

Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI (sekarang TNI) dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga.

Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati, yang menggunakan nama ayahnya, memiliki popularitas yang besar, dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.

Wahid menasehati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya, dan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas PDI-nya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.

Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik, dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU, dan beberapa bulan berikutnya diikuti pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.

Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka, dan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Juli 1997 merupakan awal krisis finansial Asia. Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun ia terkena stroke pada Januari 1998.

Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden, dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti.

Pada 19 Mei 1998, Gus Dur bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi.

Gus Dur memiliki pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto, dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya. Hal tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden, menggantikan Soeharto.

Reformasi dan pembentukan PKB 

Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga partai politik: Golkar, PPP, dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan Amien, dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) bentukan Megawati.

Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998, Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum.

Wahid menyetujui pembentukan PKB, dan menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.

Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur bersama Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X, kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.

Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara, dan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR.

Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden, dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.

Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie, dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur.

Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.

Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk, dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta.

Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden, dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Kepresidenan

Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut.

Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup.

Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.

Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin), Hamzah Haz, mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya diakibatkan Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan korupsi selama ia berada di Amerika Serikat.

Baca lanjutannya: Biografi Lengkap Gus Dur, dari Santri Menjadi Presiden (Bagian 4) 

Related

Figures 2948572709206874687

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item