Segitiga Masalembo, Kawasan Laut Paling Misterius di Indonesia

Segitiga Masalembo, Kawasan Laut Paling Misterius di Indonesia

Naviri Magazine - Benarkah Masalembo sama dengan Segitiga Bermuda yang ada di Kepulauan Bahama? Misteri apa yang tersembunyi di balik tragedi yang menyayat hati itu?

Adam Air raib

Pesawat naas ini belum diketahui bangkainya, sama dengan Kapal Motor (KM) Senopati Nusantara, yang tenggelam bersama ratusan penumpangnya. Yang mencengangkan, mereka hilang di seputaran laut Kepulauan Masalembo. Sebuah kepulauan yang dalam sejarah bahari dan penerbangan ‘disamakan’ dengan Segitiga Bermuda yang mistis itu.

Korban kali ini merupakan yang terbesar. Jika diakumulasi, jumlahnya mencapai ribuan, terdiri dari awak dan penumpang KM Sampayana, KM Senopati Nusantara, nelayan yang tidak teridentifikasi, serta penumpang pesawat Adam Air yang juga dikaitkan dengan Masalembo. Sedang Tampomas II yang tenggelam di bulan Januari 1982, korban tewas dan hilang ditaksir sekitar 431 jiwa.

Kapal yang bertolak dari Jakarta menuju Makasar itu dihantam gelombang di kawasan ini, dan tenggelam bersama penumpang dan muatannya. Yang menyamakan antara tragedi kali ini dengan yang dialami Tampomas II adalah, bangkai kapal itu tidak ditemukan, juga mayat para penumpangnya. Semua itu seperti hilang begitu saja, tertutup misteri dan spekulasi-spekulasi.

Spekulasi itu antara lain didasari letak geografis Kepulauan Masalembo yang terserak di Laut Jawa. Kepulauan ini berada di utara Pulau Madura, dan masuk Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, yang menerima limpahan dari dua laut yang berarus deras, yaitu Laut Jawa dan Laut Sulawesi. Arus kencang dari dua laut itu yang menjadikan Masalembo bergelombang besar.

Pertemuan dua arus itulah yang dituding sebagai pangkal bencana yang meluluhlantakkan kapal dan perahu nelayan.

Namun, yang perlu dicatat, sejauh ini hampir belum pernah ada nelayan Masalembo yang mati tersapu gelombang. Mereka seperti ‘terselamatkan’ oleh kaganasan ombak daerah ini. Rata-rata yang menjadi ‘tumbal’ laut Masalembo adalah nelayan luar, bukan nelayan setempat.

Sedang spekulasi kedua datang dari penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) setelah musibah yang menimpa Tampomas II. Menurut lembaga ini, berdasar teori lempeng tektonik, ada dugaan di kawasan ini terjadi pergeseran lempeng bumi.

Itu yang menyebabkan ombak besar di lautan Masalembo, serta raibnya kapal dan perahu nelayan.

Spekulasi-spekulasi itu adalah hitungan rasional berdasar ilmu pengetahuan. Namun bagaimana dengan ‘hitungan’ warga Masalembo yang lebih bersifat mistis?

Area gaib dan sinyal petaka

Penduduk Masalembo punya dua pakem untuk menangkal musibah. Pakem pertama berupa tanda-tanda yang diberikan alam. Sedang kedua adalah mitos dan dongeng yang dipercaya sejak zaman kuno. Sejauh ini, dua mantra itu mujarab menjaga keselamatan mereka.

Hampir tidak ada nelayan Masalembo yang binasa ditelan gelombang laut wilayahnya. Bagaimana itu bisa terjadi? Inilah senjata para nelayan itu.

Masalembo memang tak habis-habisnya menampilkan musibah sekaligus kisah misteri. Segudang cerita diwartakan laut kepulauan ini, disertai ratapan pilu keluarga yang ditinggalkan. Yang mengejutkan, korban dari tragedi itu bukan warga setempat. Mereka adalah warga daerah lain yang kebetulan lewat atau mencari nafkah di laut kepulauan ini.

Hal itu bisa dipahami, karena kepulauan yang terdiri dari Pulau Kramian, Pulau Maskambing, serta Pulau Masalembo, terletak di persimpangan Madura, Jawa, Kalimantan, serta Sulawesi. Posisinya menjadikan Kepulauan Masalembo jadi hampiran para nelayan untuk membeli kebutuhan.

Banyaknya nelayan yang transit di kepulauan ini membentuk komunitas yang kelak dikenal sebagai penduduk asli. Mereka tak hanya etnis Madura, tetapi juga Bajo, Mandar, Jawa, Bali, Bugis, Sangir (Sangihe), Samawa (Sumbawa), Bantik, dan suku-suku yang berasal dari Kalimantan, serta China.

Beberapa suku itu merupakan pecahan dari Suku Laut yang sudah mukim di daratan. Warga Masalembo yang berasal dari berbagai etnis itu hidup rukun damai. Belum pernah terdengar disharmoni di antara sesamanya. Bahkan mitos serta tengara alam yang berasal dari suku-suku tertentu, mereka punya kesepahaman. Itu yang dipercaya warga Masalembo yang multi-etnis ini sebagai mantra keselamatan.

Dalam kepercayaan warga Masalembo, bulan yang harus diwaspadai adalah Desember hingga Juni. Pada bulan-bulan itu, gelombang di lautan ini bisa mencapai lima meter lebih. Gelombang itu tidak asal gelombang. Kalau di antara gelombang itu ada garis putih (itu istilah mereka), jangan sekali-kali diterjang jika tidak ingin celaka.

Istilah pantangan ini mengingatkan pada keyakinan nelayan Sangir, Bajo, Bantik, serta Bugis. Sebab, nelayan yang biasa melaut di Pulau Nain Kecil, Nain Besar, Sangir, Talaut, maupun Miangas dan Marore, memang menyebutnya begitu. Itu merupakan tanda bahaya, yang celakanya hanya bisa dilihat oleh mereka.

Sedang pantangan kedua adalah mitos. Bisa disebut begitu, karena mereka yakin ada lintasan tertentu di laut Masalembo yang harus dihindari. Itu lintasan maut sekaligus sakral. Nelayan mana saja yang melanggar area itu bakal celaka. Tidak hanya perahunya yang raib, tetapi sekaligus awaknya.

Lintasan itu disebut sakral, karena keyakinan mereka mengatakan lintasan itu merupakan daerah moksanya Ratu Malaka, yang merupakan ibu Suku Laut. Suku ini bertebaran di berbagai samudera, dan membentuk suku-suku baru setelah berumah di darat.

Dua keyakinan itu yang selama ini dipegang nelayan Masalembo. Mereka rela tidak melaut jika ada sinyal alam itu, serta sejauh mungkin menghindari area yang disakralkan, agar terhindar dari marabahaya. Boleh percaya boleh tidak, ternyata mitos dan keyakinan itu telah membawa nelayan Masalembo lepas dari kebuasan laut Masalembo.

Related

World's Fact 3873092043793024093

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item