Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya (Bagian 3)

Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Jalannya Serangan Umum

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX.

Sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, dipimpin Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini.

Pada saat bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran, agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.

Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota, dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota.

Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan, serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini, Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro.

Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpin Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota, Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki ditunjuk sebagai pimpinan.

TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula, pasukan TNI mengundurkan diri.

Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran.

Sementara serangan yang dilakukan oleh Brigade IX dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.

Kerugian di kedua belah pihak

Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewas, dan di antaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.

Pada Selasa siang pukul 12.00, Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya), dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya), telah mengunjungi keraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.

Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda, De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

Perkembangan setelah Serangan Umum 1 Maret

Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi, menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-besaran Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda.

Berita tersebut menjadi headline di berbagai media cetak yang terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu di tahun 50-an di Pulo Mas, Jakarta.

Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar Republik Indonesia, mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah.

Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi, Serangan Umum Surakarta menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavaleri, persenjataan berat artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh.

Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk selamanya.

Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret pada era Orde Baru

Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas Yogyakarta 1 Maret 1949 sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di Medan (Medan Area, Oktober 1945), Palagan Ambarawa (12–15 Desember 1945), Bandung Lautan Api (April 1946), Perang Puputan Margarana Bali (20 November 1946), Pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang (1–5 Januari 1947) dan juga tidak melebihi semangat berjuang Divisi Siliwangi, ketika melakukan long march, yaitu berjalan kaki selama sekitar dua bulan – sebagian bersama keluarga mereka – dari Yogyakarta/Jawa Tengah ke Jawa Barat, dalam rangka melancarkan operasi Wingate untuk melakukan perang gerilya di Jawa Barat, setelah Belanda melancarkan Agresi II tanggal 19 Desember 1948. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di daerah lain.

Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan arek-arek Suroboyo pada Pertempuran di Surabaya/Peristiwa 10 November 1945, yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang terlampir dalam tulisan ini, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan serangan atas Yogyakarta yang kemudian dilaksanakan pada 1 Maret 1949 dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III - dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat - berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.

Serangan tersebut melibatkan berbagai pihak, bukan saja dari Angkatan Darat, melainkan juga AURI, Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat PDRI di Jawa) dan Pepolit dari Kementerian Pertahanan.

Pasukan yang terlibat langsung dalam penyerangan terhadap Yogyakarta adalah dari Brigade IX dan Brigade X, didukung oleh pasukan Wehrkreis I dan II, yang bertugas mengikat Belanda dalam pertempuran di luar Wehrkreis III, guna mencegah atau memperlambat gerakan bantuan mereka ke Yogyakarta.

Tidak mungkin seorang panglima atau komandan tidak mengerahkan seluruh kekuatan yang ada di bawah komandonya, untuk menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Perlu diingat, ketika Belanda menduduki Ibukota RI, Yogyakarta, tanpa perlawanan dari TNI, karena dari semula telah diperhitungkan, kekuatan TNI tidak sanggup menahan serangan Belanda.

Juga tidak mungkin seorang panglima atau komandan pasukan memerintahkan melakukan serangan terhadap suatu sasaran musuh yang kuat, tanpa memikirkan perlindungan belakang. Selain itu, juga penting masalah logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan perbekalan untuk ribuan pejuang, serta perawatan medis yang melibatkan beberapa pihak di luar TNI.

Baca lanjutannya: Sejarah Serangan Umum 1 Maret dan Kontroversinya (Bagian 4)

Related

History 1785990611815679621

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item