Di Masa Depan, Wujud Manusia ternyata Akan Berubah (Bagian 1)

Di Masa Depan, Wujud Manusia ternyata Akan Berubah

Naviri Magazine - Di antara pakar biologi dan ilmuwan dispilin ilmu lainnya, sudah tidak ada lagi perdebatan mengenai evolusi. Mereka sudah bersepakat soal itu. Ilmuwan sekarang fokus pada hal-hal lebih penting, contohnya spekulasi bahwa kita masih terus berubah sebagai spesies.

Ketika kita membicarakan evolusi, kalimat yang hampir sudah pasti tercetus adalah "survival of the fittest" atau "yang kuat yang akan menang," nukilan dari buku terpopuler Charles Darwin yang terbit 1859: Origin of the Species.

Tentu, itu bukan berarti pemenang permainan CrossFit akan dinobatkan sebagai raja. Melainkan, kalimat itu merujuk pada kebugaran genetik: orang-orang dengan gen yang paling cocok dengan sebuah lingkungan dapat hidup cukup lama untuk memiliki anak-anak dan menurunkan gen mereka, menurut Sharad Paul, pakar biologi evolusioner dan penulis The Genetics of Health.

Kini, kita berada pada periode di mana genetik relatif stabil, ujar Nathan Lents, pakar biologi molekuler di John Jay College of Criminal Justice dan penulis Not So Different: Finding Human Nature in Animals.

Sebagian besar orang hidup cukup lama untuk menghasilkan keturunan sebanyak yang mereka inginkan, dan mereka yang meninggal di usia muda biasanya karena penyebab non-genetik seperti kecelakaan.

Namun itu bukan berarti kita tidak akan berubah, bahkan ketika perubahannya lamban dan kita tidak menyadarinya.

"Kita terus berubah, meski tempo perubahannya lamban," ujar Paul. "Lebih dari 50,000 tahun belakangan, migrasi dan pola makan kita telah membentuk perawakan dan warna kulit kita. Kesannya kita tidak berevolusi karena kita memandang konsep ini sebagai sesuatu yang besar."

Lagi pula, seleksi alam bukan satu-satunya cara evolusi dapat berlangsung—hanya saja, itu yang paling dikenal. Perubahan-perubahan acak yang tidak memberikan manfaat bertahan hidup juga berperan penting. Ini adalah fenomena yang disebut penyimpangan genetik, dan hal ini menjadi lebih jelas ketika populasi manusia mengecil akibat peristiwa dramatis—misalnya perang nuklir, bencana alam, atau perubahan iklim global.

Pertahanan hidup hari-hari lebih berhubungan dengan keberuntungan atau geografi alih-alih genetik, dan apa pun perangai yang dimiliki segelintir orang beruntung ini akan diturunkan ke generasi berikutnya, ujar Lents.

Mengingat peristiwa akhir-akhir ini, tingkat evolusi kita mungkin akan kembali meningkat dalam jangka waktu dekat, ujarnya. Sementara itu, para ilmuwan mengatakan, kita akan terus berubah walaupun pelan-pelan, dan kadang tak kasatmata.

Manusia sukses mengalahkan banyak penyakit

Perubahan DNA kita mungkin berperan penting dalam penurunan risiko penyakit menular. Misalnya, para peneliti menemukan puluhan variasi yang membantu meningkatkan kekebalan tubuh terhadap malaria—yang membunuh banyak anak-anak kecil—yang semakin umum pada populasi Afrika.

Kita juga menggunakan tes genetik untuk mendeteksi, dan mengeliminasi, kondisi genetik tertentu. Misalnya, menguji kondisi serius yang disebut thalassaemia, yang berefek pada tingkat hemoglobin dalam darah dan dapat menyebabkan tipe anemia, telah memotong angka kasus baru-baru ini sebanyak 95 persen di beberapa wilayah.

Akhirnya, tes dapat memiliki pengaruh besar terhadap penyakit-penyakit seperti penyakit Huntington, karena semakin banyak orang membuat keputusan reproduktif dengan pengetahuan apakah mereka membawa mutasi tertentu, ujar Lents.

Pada beberapa suku asli tertentu, seperti warga Kepulauan Pasifik di Papua Nugini, orang-orang dapat juga berevolusi untuk menolak diabetes tipe 2. Tingkat tersebut meroket ketika suku-suku yang sebelumnya terpapar sedikit dengan dunia luar, bertemu dengan pola makan kaya kalori ala Barat.

"Orang-orang meninggal sebelum mencapai usia reproduktif, atau pada usia reproduktif, dan membawa mati gen mereka," ujar Lents.

Sementara itu, mereka yang memiliki manfaat genetik—misalnya memiliki mutasi tertentu yang mempengaruhi metabolisme—hidup lebih lama dan menurunkan manfaat tersebut.

"Situasi-situasi seperti itu jarang dan biasanya terisolasi—namun situasi istimewa seperti ini terbilang menarik dari sudut pandang populasi, karena mereka bisa menunjukkan betapa cepatnya evolusi bekerja," ujarnya.

Manusia modern sudah bisa hidup di ketinggian

Semakin tinggi daratan, semakin sulit bagi kita untuk bernapas, berkat tingkat oksigen yang rendah. Reaksi seketika tubuh kita adalah meningkatkan denyut jantung (atau terkena penyakit dataran tinggi). Setelah beberapa hari atau minggu, tubuh memproduksi lebih banyak sel darah merah yang mengirim oksigen berharga bagi tubuh.

Baca lanjutannya: Di Masa Depan, Wujud Manusia ternyata Akan Berubah (Bagian 2)

Related

Science 411749192519425060

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item