Bagi yang Punya Saldo Rekening Rp 1 Miliar, Hati-hati Saat Mengurus Pajak
https://www.naviri.org/2019/12/punya-saldo-rekening-rp-1-miliar.html
Naviri Magazine - Wajib Pajak yang sudah menyampaikan SPT dengan benar, informasi keuangan tersebut hanya menjadi salah satu sumber data yang akan dicocokkan dan dianalisis dengan laporan harta di SPT.
Belakangan, publik dihebohkan dengan pernyataan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP) yang mengimbau kepada para youtuber yang telah berpenghasilan lebih dari Rp54 juta per tahun untuk membayar pajak.
Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, mengatakan, hal tersebut sesuai dengan ketentuan perpajakan yang mengatur bahwa masyarakat yang memiliki penghasilan di atas batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau di atas Rp54 juta per tahun wajib membayar pajak.
Suryo menegaskan pihaknya akan menindak para youtuber sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan tidak akan membeda-bedakan dengan wajib pajak lainnya jika mereka tidak membayar pajak.
Selain itu, DJP sudah memiliki data kepemilikan saldo rekening para wajib pajak (WP) orang pribadi (OP) di atas Rp1 miliar, yang diperoleh dari pihak perbankan secara otomatis. Suryo menuturkan, Ditjen Pajak baru akan mengakses dan membuka data itu jika akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut, misalnya ada youtuber yang tidak mau membayar pajak.
Hal tersebut sesuai ketentuan Automatic Exchange of Information (AEoI) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39 Nomor 2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi.
Namun, menurut pengamat perpajakan, Yustinus Prastowo, Wajib Pajak (WP) tak perlu khawatir jika seluruh saldo rekening dan harta yang dimiliki bersumber dari penghasilan yang telah dipajaki. Asalkan seluruh harta yang bersumber dari penghasilan sudah dilunasi oleh WP.
“Sehingga berapa pun nilai saldo rekening kita, tak perlu waswas dan cemas kalau semuanya bersumber dari penghasilan yang telah dilunasi kewajiban pajaknya,” kata Yustinus.
Pada intinya, lanjutnya, jika WP sudah menyampaikan SPT dengan benar, maka informasi keuangan ini hanya menjadi salah satu sumber data yang akan dicocokkan dan dianalisis dengan laporan harta di SPT. Dengan sistem akuntabilitas dan perlindungan yang kuat, WP tak perlu khawatir, apalagi penyalahgunaan data/informasi keuangan ini diancam pidana.
Terkait keterbukaan informasi rekening WP, DJP memiliki kewenangan untuk mengakses sebagaimana diatur dalam Perppu 1 Tahun 2017 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 9 Tahun 2017. Dalam aturan itu disebutkan, DJP berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, dan berwenang meminta informasi/bukti/keterangan dari lembaga jasa keuangan.
Dalam UU itu, ada dua hal yang diatur. Pertama, tujuan internasional sebagai prasyarat dan komitmen Indonesia dalam inisiatif global tentang pertukaran informasi otomatis (AEOI).
Kedua, kewajiban Lembaga Jasa Keuangan (LJK) melaporkan informasi keuangan nasabah ke Ditjen Pajak, termasuk yang disimpan di LJK dalam negeri. Yang wajib dilaporkan adalah rekening milik orang pribadi dengan agregat saldo Rp1 miliar (antarnegara ambang batasnya AS$ 250 ribu), dan rekening milik entitas tanpa batasan saldo.
“Bukankah menjadi aneh dan tak adil jika ada orang yang memiliki kekayaan berupa simpanan/investasi keuangan di atas Rp1 miliar tapi tak punya NPWP, dan tak patuh pajak? Sedangkan para karyawan/buruh yang gaji bulanan di atas Rp4,5 juta wajib bayar pajak, dan pelaku UMKM wajib membayar pajak 0.5%?” jelas Yustinus.
Akses terhadap rekening WP diperlukan, setelah sekian lama sistem perpajakan di Indonesia tumpul dan mandul, yang salah satunya disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap data keuangan. Padahal logika pemungutan pajak adalah profiling, yakni mengetahui “siapa melakukan apa” dan “siapa memiliki apa”.
Lihat saja data amnesti pajak. Hampir 80% harta deklarasi atau sekitar Rp3.700 triliun berasal dari dalam negeri, dan 60% di antaranya adalah aset keuangan. Dengan kata lain, pekerjaan rumah di sektor perpajakan adalah membangun sistem perpajakan yang memiliki akses luas (transparan), sekaligus menghasilkan tambahan penerimaan yang signifikan (akuntabel).
Dalam negara demokratis, di hadapan otoritas pajak tidak ada kerahasiaan (secrecy), karena akan mencederai rasa keadilan publik. Namun konstitusi memberi jaminan perlindungan data pribadi (privacy) dari penyalahgunaan.
Alasan lainnya mengapa akses ini dibutuhkan, yaitu karena selama ini kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah, sehingga kerahasiaan justru menciptakan ketidakadilan bagi yang sudah patuh.
Maka, perluasan akses ini justru akan memberi keadilan sekaligus meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, untuk membiayai pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Agar WP tetap aman dan tidak diincar oleh petugas pajak, Yustinus mengingatkan WP untuk memastikan profil sudah sesuai antara akumulasi penghasilan yang diterima, jumlah harta di dalam SPT, dan jumlah harta menurut laporan LJK. Jika hal ini sudah dipenuhi, lanjutnya, maka Wajib Pajak tidak perlu risau.
Bagi yang belum sesuai, segera manfaatkan waktu yang tersisa untuk menyampaikan atau membetulkan SPT, dan lunasi kekurangan pajaknya. Karena, kemungkinan besar akan dikirimi surat imbauan untuk membayar, dan tindak lanjut lainnya.
Kedua, bangun komunikasi yang baik dengan Kantor Pajak, agar mendapat informasi dan bimbingan yang tepat. Ketiga, jika sudah patuh tak perlu gaduh, jika bersih tak perlu risih.