Mengapa Orang Indonesia Mudah Tertipu dengan Kerajaan Fiktif ala Keraton Agung dan Sunda Empire? Ini Penjelasan Ahli

Mengapa Orang Indonesia Mudah Tertipu dengan Kerajaan Fiktif ala Keraton Agung dan Sunda Empire? Ini Penjelasan Ahli

Naviri Magazine - Mengapa sebagian masyarakat Indonesia tertarik dan kemudian bergabung dengan apa yang disebut Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jateng, dan Sunda Empire di Bandung, Jabar, walaupun klaim mereka secara keilmuan dipertanyakan?

Toto Santosa, pemimpin Keraton Agung Sejagat, bersama istrinya, Fanni Aminadia, mulai dikenal luas setelah menggelar acara Wilujengan dan Kirab Budaya, Jumat (10/01), di Desa Pogung Juru Tengah, Kabupaten Purworejo, Jateng.

Menyebut sebagai raja-ratu kerajaan itu, mereka mengklaim memiliki banyak pengikut, dan mendirikan sejumlah bangunan di desa itu.

Tindakan dan ucapan mereka kemudian diliput oleh media secara meluas, dan memunculkan kontroversi.

Polda Jateng kemudian menahan Toto dan istrinya, Selasa (14/01), dan tidak lama kemudian menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan penipuan dan kebohongan.

Keduanya disangka menarik dana dari masyarakat dengan menggunakan tipu daya melalui simbol-simbol kerajaan, dengan harapan kehidupan akan berubah. Dilaporkan, Toto mengklaim sebagai raja penerus kerajaan Majapahit.

Sepekan kemudian, Selasa (21/01), Toto-Fanni membuka suara dan meminta maaf melalui media, serta mengaku keraton yang didirikannya fiktif.

"Saya mohon maaf dimana Keraton Agung Sejagat itu fiktif. Yang kedua, janji kepada pengikut saya juga fiktif," kata Toto di hadapan pers.

Walaupun demikian, Toto mengatakan dia tidak melakukan penipuan, seperti disangkakan oleh polisi.

"Tidak benar kami melakukan penipuan," kata Toto, tanpa mau menjelaskan secara rinci, dengan alasan kasusnya masih dalam proses penyidikan.

Walaupun Toto akhirnya mengaku kerajaannya fiktif belaka, namun muncul pertanyaan tentang apa yang disebut sebagai 'kemampuannya' dalam menghimpun anggota, yang menurut polisi mencapai 500 orang,

Peneliti tentang kemunculan kerajaan-kerajaan 'baru' di Indonesia, yang juga staf pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias Kurniadi, menyebut sosok Toto memiliki kemampuan "masuk ke dalam struktur keyakinan masyarakat, sehingga mampu mendapat pengikut dan percaya apa yang dikatakannya".

Bayu mengamati, sebagian besar pengikut Toto berasal dari kalangan menengah ke bawah secara ekonomi, dengan latar pendidikan "kurang memadai", serta sebagian besar berusia tua.

"Pada kondisi masyarakat seperti itu, secara psikologis ketika ada seseorang yang menawarkan 'hey, Anda itu penyelamat dunia, loh', mereka akan tergerak," kata Bayu kepada wartawan di Yogyakarta.

"Mereka lalu berpikir, bahwa hidup mereka tidak muspro, ada sesuatu yang mereka bisa sumbangkan untuk dunia ini, lewat sosok Toto," jelasnya.

Dia memperkirakan, Toto mampu masuk dalam ruang psikologis di mana orang-orang marginal itu merasa dibutuhkan. "Dan orang diberi eksistensi yang sebenarnya itu semu," papar Bayu. "Tetapi orang tidak tahu kalau eksistensi itu semu."

"Mereka butuh untuk diakui, dan Toto menawarkan itu, sehingga ajakannya disambut dengan suka cita. Bahwa itu tidak gratis, iya. Tapi dugaan saya, mereka bergabung bukan hanya iming-iming gaji," jelas Bayu lebih lanjut.

Sejarawan dari Universitas Padjajaran, Widyo Nugrahanto, menilai fenomena kemunculan Sunda Empire dan Keraton Agung Sejagat sebagai "gerakan sosial". Menurutnya, para pengikut dan pendiri gerakan sosial biasanya percaya pada teori konspirasi dan pseudo science.

Mereka juga tidak puas pada tatanan dunia sekarang, dan tatanan sosial politik ekonomi di daerah tempat tinggalnya, serta punya ambisi sosial politik ekonomi yang tidak atau belum tercapai, paparnya.

"Lalu mereka memimpikan munculnya kembali kejayaan masa lalu yang mereka anggap sebagai kehidupan yang paling baik, untuk diterapkan kembali pada kehidupan sekarang," ujarnya.

Senada dengan Widyo, dosen antropologi Universitas Padjajaran, Ira Indrawardana, mengatakan, fenomena kerajaan dan kekaisaran bukan hal yang baru dan aneh jika dilihat dari ilmu sosial. Pasalnya, kebudayaan dan kehidupan sosial itu dinamis, katanya.

"Bisa dianggap wajar-wajar saja, tergantung penyikapan publik dan dampaknya terhadap masyarakat," kata Ira.

Bukan hal aneh pula, lanjut Ira, bila mereka suka memakai simbol kaisar, raja, atau sultan. Sebab, dalam perspektif antropologis, simbol itu adalah great tradition yang sejauh ini menjadi simbol figure central of culture dalam berbagai kebudayaan di Nusantara, paparnya.

Cara seseorang mengaitkan dirinya dengan tokoh besar di masa lalu, kata Widyo, sering dilakukan orang di Indonesia untuk mencari legitimasi politiknya.

"Makanya, ada yang mencari legitimasi politik dengan mengaitkan leluhurnya dengan Siliwangi, Raja Pajajaran, dan atau mengaitkan dirinya dengan Brawijaya, Raja Majapahit," kata dia.

Mengenai sejarah Sunda Empire yang diuraikan Rangga, Widyo menilai klaim tersebut sebagai pseudo science, yaitu belum ada fakta jelas atau fakta kerasnya, yang berarti tidak ada sumber data yang kuat, termasuk klaim Sunda Empire didirikan oleh Alexander The Great.

"Tidak ada fakta itu. Alexander itu hanya sampai India. Tidak sampai Asia Tenggara. Sedangkan kerajaan Alexander di Yunani itu adalah Macedonia," ujar Widyo.

Sedangkan Kepulauan Nusantara pada 324 SM, masa yang diklaim didirikan Sunda Empire, menurut Widyo, masih dihuni oleh Bangsa Austronesia yang pindah dari Pulau Formosa ke Nusantara.

"Belum ada kerajaan di Nusantara, karena masyarakatnya masih hidup pada masa Megalithikum atau zaman batu. Kerajaan tertua sekitar abad ke 5, yaitu Kutai Tarumanegara dan Selakanegara," papar penulis sejumlah buku sejarah ini.

Mengenai PBB, Vatikan, World Bank, Pentagon serta NATO yang diakui bagian dari Sunda Empire, Widyo menegaskan klaim itu adalah sebuah teori konspirasi.

"Dalam sejarah, kalau tidak ada bukti berupa fakta, maka akan susah dianggap sebuah kebenaran. Fakta itu akan ada, jika ada bukti berupa sumber tertulis maupun benda yang primer. Kalau tidak, itu hanya sebuah konspirasi saja," kata Widyo.

Menurutnya, sejarah pembentukan PBB jelas dan terang benderang, ditulis banyak orang, dan ia mengaku tidak pernah membaca klaim seperti itu.

"Pentagon dan NATO juga saya baru dengar mereka yang ikut membentuknya. Semua itu sejarahnya jelas kok, bisa ditelusuri. Agak aneh kalau mereka ikut membentuknya," kata Dosen di Fakultas Ilmu dan Budaya Unpad ini.

Apakah klaim Toto sebagai penerus kerajaan Majapahit bisa dipertanggungjawabkan?
Polda Jateng mengatakan telah mendatangkan ahli sejarah untuk menguji klaim Toto yang mengaku keturunan raja-raja Majapahit.

"Sudah kita cek ahli sejarah dan budaya, tidak ada keturunan raja Mataram atau Majapahit, dia sudah akui kalau mengada-ada," kata Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Iskandar Fitriana Sutisna, kepada wartawan.

Sementara, peneliti tentang kemunculan kerajaan-kerajaan 'baru' di Indonesia, yang juga staf pengajar di departemen politik dan pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias Kurniadi, mengatakan "klaim Totok itu tidak masuk akal."

Menurut Bayu, bohong jika KAS diklaim sebagai penerus perjanjian Raja Majapahit tahun 1518, karena Majapahit sebelum 1500 sudah runtuh.

"Tahun itu sudah Kerajaan Demak, jadi itu jelas bohong," kata Bayu.

Adanya batu besar di samping rumah Totok, yang berisi berbagai ukiran simbol, menurut Bayu, juga tidak masuk akal, karena memadukan banyak simbol keagamaan.

"Masak ada ukiran swastika di dalam bintang david. Itu ketemunya dari mana. Secara historis itu tidak ada," kata Bayu, yang tesis Doktornya di Australian National University (ANU) berjudul Defending the Sultanate's Land: Yogyakarta, Control over Land and Aristocratic Power in Indonesia.

Apa motivasi di balik kemunculan kerajaan-kerajaan setelah Reformasi?

Kemunculan kasus-kasus seperti Kraton Agung Sejagat di Purworejo, Jateng, mulai merebak setelah Reformasi, kata Bayu. Dalam beberapa penelitiannya, Bayu Dardias Kurniadi mengaku telah menemukan sekitar 47 kerajaan yang muncul usai reformasi, dan disebutnya memiliki tiga motif.

Pertama, motif politik. Dalam sejarah partai politik Indonesia, masyarakat Indonesia bebas memilih partai dan tidak hanya tiga partai seperti masa orde baru. Hal ini dimanfaatkan sejumlah orang untuk mengambil kesempatan untuk menokohkan diri dan menghidupkan lagi kerajaannya, seperti di Ternate dan Tidore.

"Mereka merevitalisasi kerajaan yang sudah mati selama 50 tahun, dan menobatkan diri sebagai sultan, kemudian terpilih sebagai anggota DPR dan DPD," ungkapnya.

Motif kedua, lanjutnya, penguatan budaya lokal. seperti yang dilakukan almarhum Syaukani, di Kutai Kartanegara. Menurut Bayu, dia merevitalisasi kerajaan sebagai penguatan budaya lokal.

"Dan motif ketiga, ini penumpang gelap," katanya.

Penumpang gelap, menurut Bayu, merevitalisasi kerajaan yang sudah sangat jauh matinya ke belakang, lebih dari 50 tahun dan sudah tidak jelas lagi genetiknya.

Bayu mencontohkan di Palembang. Di kota itu, menurutnya, ada dua orang yang mengaku sebagai Sultan Mahmud Badarudin III. Keduanya, lanjutnya, memiliki bisnis jual beli gelar kepada orang luar dengan gelar datuk.

"Yang satu mungkin ada jejaknya, yang satu tidak. Mereka menggunakan itu untuk kepentingan pribadi dan kepentingan psikologis," katanya.

Selain di Palembang, Bayu juga menemukan di Blora, dan di Demak. Dulunya, yang mengaku sebagai keturunan raja Demak, menurut Bayu, adalah tukang pijat, Mbah Minto. Dia mengaku mendapatkan amanah dari kakeknya yang mukso, untuk mendirikan lagi keraton Demak.

Related

World's Fact 3680526053264792097

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item