Kisah Meghan Markle dan Sejarah Gelap Inggris yang Disembunyikan (Bagian 1)

Kisah Meghan Markle dan Sejarah Gelap Inggris yang Disembunyikan

Naviri Magazine - Dua tahun lalu, api membakar Grenfell Tower, proyek social housing di North Kensington, sebuah distrik elite di London. Apartemen 24 lantai itu dihuni imigran miskin dari Sudan, Eritrea, dan Suriah. Banyak penghuni yang loncat dari jendela unit apartemen. Ratusan korban luka, 70 lainnya tewas.

Menurut laporan BBC, mereka yang selamat masih harus menunggu selesainya renovasi gedung yang direncanakan dimulai pada Januari 2020. Selagi menanti, sebagian perempuan imigran penghuni Grenfell Tower mendirikan Hubb Community Kitchen, komunitas yang mengelola dapur umum. Mereka memasak bersama untuk memenuhi kebutuhan pangan para korban kebakaran.

Pusat dapur umum itu terletak di Al-Manaar Muslim Cultural Heritage Center, yang terletak di kompleks masjid Al Manaar. Pembangunan masjid itu didanai pemerintah Inggris sebagai wujud keterbukaan terhadap muslim.

Namun, citra Al-Manaar sebagai masjid muslim moderat tercoreng. Menurut laporan Wall Street Journal, pada 2005 terjadi aksi teror berupa pengeboman di dalam bus yang dilakukan oleh dua jemaah Al-Manaar. Sejak itulah masjid itu dianggap sarang ekstremis.

Dua tahun belakangan, Meghan Markle beberapa kali datang ke kawasan masjid itu untuk menemui ibu-ibu anggota Hubb Community. Mereka memasak bersama, dan Meghan menerbitkan buku berisi kumpulan resep yang mereka coba di tempat tersebut. Hasil penjualan buku didonasikan bagi kebutuhan dapur ibu-ibu anggota Hubb Community.

Buku yang berjudul Together, Our Community Cookbook itu terjual sebanyak 400.000 eksemplar.

Sayangnya, media Inggris memberitakannya dengan nada negatif. Media-media seperti The Times, Metro, The Sun, dan Daily Mail, hanya menekankan bahwa Markle melakukan kegiatan amal di "markas teroris".

Pemberitaan itu termasuk dalam setidaknya tiga pemberitaan tendensius tentang Meghan Markle. Pada November 2016, Daily Mail menyebut ibu Meghan berasal dari daerah ‘kumuh’. Daily Mail juga menyatakan bahwa perempuan dengan "DNA eksotis" tak pantas mendampingi Pangeran Harry.

Pada Mei 2019, BBC memecat stafnya, Danny Baker, karena mengunggah cuitan yang menyamakan anak Meghan dan Harry, Archie, sebagai bayi simpanse.

Komentar-komentar negatif itu sempat membuat Harry menggugat The Sun dan Daily Mail, dua media gosip yang laris di Inggris, pada Oktober 2019.

Bagi Harry, media tidak sepatutnya membuat pemberitaan tendensius semacam itu.

“Saya sudah terlalu lama menyaksikan penderitaan Meghan. Berdiam diri bukanlah tindakan yang sesuai dengan prinsip kami,” tulis Harry dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan 1 Oktober 2019.

Dalam pernyataan tersebut, ia juga menyebut ketakutan terhadap "sejarah yang berulang".

“Saya menyaksikan sendiri apa yang terjadi ketika orang yang saya sayangi dijadikan komoditas, sampai pada titik ketika ia tidak lagi dilihat dan diperlakukan sebagai manusia normal. Saya kehilangan ibu, dan sekarang saya melihat istri saya jadi korban kejahatan media,” lanjutnya.

Sekitar dua bulan setelah melayangkan gugatan, Harry membuat pengumuman resmi bahwa dirinya mengundurkan diri dari tanggung jawab sebagai anggota kerajaan Inggris. Ia dan Meghan ingin mandiri secara finansial, dan tinggal berpindah-pindah antara Inggris dan Kanada.

Harry tidak menyebut alasan pengunduran dirinya. Tapi, ada dugaan bahwa pemberitaan rasis tentang Meghan jadi penyebab utama.

Asal usul rasisme di Inggris

Secara historis, Inggris memang punya masalah rasisme. Rasisme terhadap kulit hitam, yang bermula dari perdagangan budak (berakhir pada 1807), hanyalah salah satunya. Rasisme di banyak tanah jajahan Inggris adalah kisah lain yang tak kalah memilukan.

Inggris bahkan pernah rasis terhadap sesama orang kulit putih. Salah satu episode rasisme Inggris yang paling diingat terjadi pada 1841. Waktu itu Britania Raya berada di puncak kemakmuran dengan negeri-negeri jajahan yang terbentang di seluruh penjuru dunia. Siapa korban rasisme Inggris kala itu? Orang Irlandia.

Sejak 1801, Irlandia memang berada di bawah kekuasaan Inggris, sampai akhirnya merdeka pada 1921. Namun, hingga kini Irlandia Utara masih berada di bawah kekuasaan Inggris.

Race and Racism in Britain (2003), karya John Solomos, menyebut rasisme waktu itu bermula ketika orang-orang Irlandia datang ke Inggris untuk menjual hasil kebun. Saat itu tanah di Irlandia menghasilkan bahan pangan seperti kentang yang berkualitas baik. Inggris adalah konsumen utamanya. Orang-orang Irlandia kemudian rutin menginjakkan kaki di Inggris setiap musim panen tiba.

Lambat laun, banyak orang Irlandia yang menetap dan bekerja di Inggris karena bencana kelaparan yang diakibatkan oleh gagal panen kentang (1841-1852). Namun, warga Inggris tak selalu bersikap baik kepada orang-orang Irlandia yang mereka anggap lebih rendah derajatnya. Muncul pula stereotip bahwa orang Irlandia adalah alkoholik dan pecinta kekerasan.

Dalam sebuah pidato pada 1836, Perdana Menteri Inggris, Benjamin Disraeli, menyebut orang Irlandia sebagai orang "liar, ceroboh, pemalas, percaya tahayul" dan "tidak bisa bersimpati kepada ras Inggris", demikian tulis Robert Blake dalam biografi Disraeli (2012).

Beberapa tahun setelahnya, kerajaan Inggris merekrut orang-orang Karibia, India, dan Cina sebagai pelaut. Meski demikian, Solomos mencatat, para pejabat tidak mengizinkan mereka tinggal di Inggris.

Baca lanjutannya: Kisah Meghan Markle dan Sejarah Gelap Inggris yang Disembunyikan (Bagian 2)

Related

News 7587707894954586828

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item