Ini 5 Masalah yang Akan Terjadi Jika RUU Cipta Kerja Diterapkan

Ini 5 Masalah yang Akan Terjadi Jika RUU Cipta Kerja Diterapkan, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Konsorsium Pembaruan Agraria menemukan setidaknya 5 masalah pokok Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terkait agraria, yang membahayakan petani dan masyarakat adat.

Sekretaris Jenderal, Dewi Kartika, mengungkapkan, RUU Cipta Kerja juga menghambat realisasi reforma agraria dan memperparah konflik agraria struktural di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai dan dikritisi bersama.

1. Materi kontroversial RUU Pertanahan disusupkan dalam RUU Cipta Kerja

Dalam keterangan tertulisnya, Dewi Kartika mengungkapkan, materi-materi kontroversial RUU Pertanahan (RUUP) disusupkan di RUU Cipta Kerja. Sebagaimana kita tahu, RUU Pertanahan pada September 2019 lalu menuai protes dan penolakan dari kalangan masyarakat sipil, termasuk Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Dewi menjelaskan, RUU Pertanahan resmi ditunda pengesahannya oleh DPR RI. Kemudian masuk kembali menjadi prioritas Prolegnas 2020. Ternyata RUU Pertanahan pun ikut diangkut oleh RUU Cipta Kerja sebagai norma baru yang perlu disusun.

"Masalah RUU Pertanahan sebagai norma baru dalam RUU Cipta Kerja akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia," ujarnya.

2. RUU Cipta Kerja akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia

Dewi mengungkapkan, KPA mencatat di tahun 2019 saja terjadi 279 letusan konflik agraria seluas 734.239,3 hektare yang berdampak pada 109.042 Kepala Keluarga.

Jadi selama 5 tahun terakhir telah terjadi 2.047 letusan konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, pertanian, infrastruktur dan properti.

"Sementara ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0.68, artinya 1 persen penduduk menguasai 68 persen tanah di Indonesia. Apabila RUU Cipta Kerja disahkan, akan memperparah situasi krisis agraria di atas," bebernya.

3. RUU Cipta Kerja mempermudah perampasan, penggusuran, dan pelepasan hak atas tanah, atas nama pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis

Dewi menegaskan, RUU Cipta Kerja hendak mengubah pasal-pasal dalam UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur demi Kepentingan Umum, dengan dasar argumentasi hambatan pengadaan lahan bagi investasi dan kegiatan bisnis.

Menurut Dewi, hal ini mengandung sejumlah persoalan, yakni proyek pengadaan tanah bukan proyek infrastruktur semata, namun harus diperhitungkan dampak sistemik degradasi ekonomi, sosial, dan budaya pada lokasi dan masyarakat terdampak.

"Dalam praktiknya, banyak proses pengadaan tanah, pembebasan lahan, dan penetapan ganti kerugian yang dijalankan secara tidak transparan dan berkeadilan oleh pemerintah dan pemilik proyek," papar Dewi.

Selain itu, RUU Cipta Kerja memudahkan proses pengadaan tanah dengan berdasarkan “penetapan lokasi” suatu pembangunan proyek, tanpa ada kajian dampak ekonomi-sosial masyarakat, tidak perlu dipenuhi oleh perusahaan.

4. RUU Cipta Kerja mempercepat alih fungsi tanah pertanian di Indonesia

Dewi mengatakan, tanpa RUU Cipta Kerja saja, tercatat dalam 10 tahun, yakni mulai 2003 sampai 2013, konversi tanah pertanian ke fungsi non-pertanian per menitnya 0.25 hektare, dan 1 (satu) rumah tangga petani hilang atau terlempar ke sektor non-pertanian.

Terjadi penyusutan lahan yang dikuasai petani dari 10,6 persen menjadi 4,9 persen, guremisasi mayoritas petani pun terjadi, di mana 56 persen petani Indonesia adalah petani gurem.

Menurut laporan Kementerian Pertanian, berdasarkan hasil kajian dan monitoring KPK terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun nonirigasi, mengalami penurunan rata-rata seluas 650 ribu hektare per tahun.

"Dihapusnya keharusan kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah, dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah, akan mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian di Indonesia," paparnya.

5. RUU Cipta Kerja memperkuat potensi kriminalisasi dan diskriminasi hak terhadap petani dan masyarakat adat

Dewi menambahkan, pada catatan akhir tahun 2019, KPA mencatat sepanjang 2019 saja terjadi 259 kasus penangkapan petani, masyarakat adat, dan pejuang hak atas tanah.

Jika diakumulasi selama 5 tahun terakhir, ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.

Menurut Dewi, melalui RUU Cipta Kerja, ancaman kriminalisasi dan diskriminasi hak atas tanah bagi petani dan masyarakat adat semakin menguat, karena pemerintah hendak memperkuat Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

"Padahal, dua UU ini terbukti sudah banyak mengkriminalkan petani dan masyarakat adat yang berkonflik dengan kawasan hutan," tegasnya.

Related

News 1259447827501126887

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item