Misteri di Balik Minimnya Kasus Virus Corona di Wilayah Afrika (Bagian 1)

Misteri di Balik Minimnya Kasus Virus Corona di Wilayah Afrika, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Sejak Dokter Li Wenliang mengabarkan adanya penyakit baru mirip SARS yang menyebabkan penderitanya mengalami gejala pneumonia, tiga bulan lalu, COVID-19 menginfeksi hampir setiap tempat di dunia. Lebih dari 120.000 orang terinfeksi, sekitar 4.300 meninggal.

Peter Baker, dalam laporannya untuk The New York Times, menyebut Pemerintah Cina, khususnya di Provinsi Hubei, telah memberlakukan penutupan wilayah lengkap dengan pengaktifan aplikasi pemantauan warga, bernama Alipay Health Code.

Kebijakan ini diambil untuk mengidentifikasi orang-orang yang diduga terinfeksi SARS-CoV-2. Pemerintah Iran, Jepang, dan Israel, melakukan kebijakan pembatasan wilayah, menghalau orang-orang dari wilayah terjangkit Corona masuk ke negara masing-masing.

India menghentikan pemberian visa hingga 15 April. Irak dan Lebanon untuk sementara waktu meniadakan salat Jumat. Lalu, di Yunani dan Ukraina, sekolah, universitas, hingga taman kanak-kanak ditutup. Di Polandia, bioskop hingga museum tidak boleh dikunjungi.

Sementara itu, Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte, mengeluarkan kebijakan national lockdown, dan melarang warganya mengerjakan kegiatan yang tidak penting.

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, memutuskan untuk menolak orang-orang yang berasal dari Eropa, akibat virus Corona. Sebelumnya, Trump menyatakan virus itu sebagai “wabah asing” dan hoaks.

Dr. Anthony S. Fauci, seorang ilmuwan top Amerika Serikat, mengatakan bahwa kemungkinan “keadaan akan menjadi jauh lebih buruk”.

Dunia seketika sunyi akibat Corona. Namun, merujuk data real-time penyebaran Corona dari John Hopkins University, ada cukup banyak negara yang belum terinfeksi Corona, khususnya dari benua Afrika. Negara-negara itu di antaranya adalah Namibia, Botswana, dan Mozambique.

Tapi benarkah negara-negara Afrika itu belum terjangkit COVID-19?

Negara miskin

Satu alasan kuat mengapa COVID-19 dapat menyebar cepat adalah konektivitas dengan Cina.

Melalui “made in China”, atau dalam bahasa Apple “assembled in China”, negara-negara dunia sangat terkoneksi dengan Tirai Bambu. Berdasarkan nilai, Cina merupakan eksportir terbesar di dunia yang mengirimkan berbagai produk senilai $2,656 triliun pada 2018 ke seluruh penjuru dunia.

Rantai pasokan dunia pun terganggu akibat COVID-19. Melalui rilis media, Apple menyatakan “rantai pasokan (bahan baku produk-produk Apple) akan terganggu karena mitra manufaktur Apple yang berlokasi di luar provinsi Hubei, pusat penyebaran virus Corona, terpaksa tutup sementara”.

Apple memperkirakan akan terjadi gangguan kapasitas produksi, yang pada akhirnya menyebabkan pendapatan perusahaan di tahun 2020 menyusut.

Karena posisi Cina sangat kuat dalam percaturan ekonomi dunia, lalu-lintas perjalanan udara Cina-dunia internasional terbilang tinggi.

Pada 2018 misalnya, tatkala hubungan antara Cina dan negara-negara Eropa tengah manis-manisnya, Komisi Perjalanan Eropa (ETC) mencatat ada 17,72 juta kursi pesawat pulang-pergi antara Cina dan negara-negara Eropa yang terisi. Angka tersebut lebih banyak 1,73 juta kursi dibandingkan setahun sebelumnya.

Konektivitas yang relatif tinggi pun terlihat antara Cina dan Amerika Serikat. Tiap pekan sejak 2011, terdapat 249 penerbangan langsung antara negeri Tirai Bambu dan negeri Paman Sam. Angka itu meningkat dari hanya 54 penerbangan langsung sebelum 2011.

Dari segi ekonomi, Afrika juga punya nasib yang berbeda.

Data yang dikumpulkan The Observatory of Economic Complexity dari The MIT Media Lab memperlihatkan bahwa negara-negara yang hingga saat ini belum melaporkan adanya kasus Corona mayoritas berada di peringkat bawah dalam hal ekonomi.

Economic Complexity Index (ECI) dan Product Complexity Index (PCI), yang digagas MIT Media Lab, mengukur rasio ekspor dengan impor di tiap negara, memperhitungkan ukuran volume ekspor/impor dengan volume perdagangan dunia. Hasilnya, dari 21 negara di Afrika yang tercatat belum terjangkit Corona, semuanya memiliki koefisien minus, dengan Zambia sebagai yang “terbaik”, memperoleh koefisien sebesar -0,514087 dan berada di posisi ke-78 dari 129 negara.

Pada 2017, Zambia mengekspor produk senilai $9,7 miliar dan mengimpor produk senilai $8,5 miliar. Sasaran ekspor utama Zambia ialah Swiss dengan total $3,68 miliar. Di sisi lain, produk-produk luar yang masuk ke Zambia umumnya berasal dari Afrika Selatan dengan nilai $2,61.

Bandingkan, misalnya, dengan Indonesia. Pada 2017, The MIT Media Lab menyebut bahwa Indonesia mengekspor produk dengan total senilai $188 miliar, dan mengimpor berbagai macam barang senilai $153 miliar. Negara utama ekspor dan impor Indonesia ialah Cina, dengan nilai ekspor sebesar $25,8 miliar dan impor senilai $34,3 miliar.

Baca lanjutannya: Misteri di Balik Minimnya Kasus Virus Corona di Wilayah Afrika (Bagian 2)

Related

News 8465033573127529958

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item