Persaingan Startup dan Perusahaan Digital di Era Bisnis Global (Bagian 1)

Persaingan Startup dan Perusahaan Digital di Era Bisnis Global, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Pada 2007, Tiket.com diakuisisi oleh salah satu e-commerce terbesar di Indonesia, Blibli.com. Akuisisi 100 persen itu berjalan lima bulan, dan baru diumumkan Juni 2017.

Dari perspektif Tiket.com sebagai perusahaan yang diakuisisi, suntikan modal hasil akuisisi akan jadi tenaga baru untuk mengembangkan bisnis. Sementara dari perspektif Blibli.com, akuisisi jadi salah satu upaya paling singkat sekaligus mudah untuk menambah jalur usaha baru.

Di saat bersamaan, Blibli.com yang memiliki OTA baru bernama Blibli Travel, langsung menghilangkan satu pesaingnya karena sudah resmi jadi salah satu anak perusahaan.

Kusumo Martanto, CEO Blibli, melihat masa depan cerah dalam bisnis OTA. Ia ingin Blibli.com jadi e-commerce one stop shop yang menyediakan berbagai hal, salah satunya penjualan tiket.

“Kami melihat visi misi dan nilai perusahaan Tiket.com memiliki banyak kesamaan dengan Blibli.com. Berdasarkan pertimbangan ini, kami mantap untuk melakukan akuisisi,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta. Sayangnya, kedua pihak enggan menyebutkan nilai akuisisi itu.

Akuisisi itu akhirnya merombak posisi CEO Tiket.com yang sebelumnya dipegang sang pendiri, Wenas Agusetiawan, diberikan kepada George Hendrata dari bisnis Djarum.

Apa yang terjadi pada Tiket.com dan Blibli.com dalam aksi akuisisi telah jadi tren di bisnis digital Indonesia. Selain cerita dari Tiket.com dan Blibli.com, Djarum mengakuisisi Kaskus lewat perusahaan GDP Venture yang berada di bawah naungannya. Sejak 2013, perusahaan itu jadi pemegang saham mayoritas di Kaskus.

Menariknya, pola-pola akuisisi tersebut ataupun penyuntikan modal yang dilakukan perusahaan-perusahaan ini, saling berkelindan. Alur suntikan dana itu menunjukkan beberapa perusahaan besar akhirnya berada di puncak rantai sebagai penyokong utama.

Untuk mayoritas bisnis digital besar di Indonesia, nama Tencent Holdings Ltd dan Alibaba Group dari Cina tercatat berada di posisi tersebut.

Dalam perspektif ketentuan soal persaingan usaha, hal ini berisiko terhadap penyimpangan. Indonesia memiliki UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

KPPU sendiri sudah punya peraturan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan, untuk mencegah adanya posisi dominan, monopoli, atau oligopoli, saat beberapa grup menguasai pasar menciptakan persaingan bisnis tak sehat, sehingga merugikan konsumen.

Ketentuan ini juga diatur oleh PP Nomor 57 Tahun 2010, tentang merger atau akuisisi, yang membuat monopoli atau persaingan tak sehat. KPPU mengatur soal kewajiban bagi pelaku usaha untuk notifikasi apabila merger dan akuisisi efektif secara yuridis. Sebaliknya, notifikasi hanya sukarela bila belum efektif terjadi.

“Yang paling krusial sekarang itu merger dan akuisisi,” kata Ketua KPPU, Muhammad Syarkawi Rauf.

“Penggabungan atau pengambilalihan perusahaan yang menciptakan integrasi vertikal, dari hulu ke hilir—baik backward maupun forward—ini bisa menciptakan struktur pasar oligopoli bahkan duopoli,” katanya.

Menurut Syarkawi, persaingan bisnis yang demikian perlu dipantau, sehingga tidak menciptakan monopoli usaha. Ihwal yang perlu dihindari seperti penentuan harga oleh pelaku usaha yang dominan. KPPU memang punya tantangan di tengah aksi korporasi di era digital dan tumbuhnya bisnis digital di Indonesia.

Apalagi celah-celah akuisisi ataupun pembelian aset juga tak lagi sama. Kini muncul perusahaan modal ventura yang kegiatannya hanya membeli aset pada perusahaan-perusahaan rintisan (start up) yang tengah naik daun. Sehingga di saat bersamaan, mereka punya posisi kuat untuk ikut mengatur kebijakan perusahaan.

Dalam catatan KPPU, kasus merger dan akuisisi ini banyak terjadi di Indonesia. Terutama dilakukan oleh perusahaan asing yang mengakuisisi perusahaan domestik atau akuisisi antar-perusahaan asing yang punya bisnis di Indonesia.

“Ini yang bahaya buat pelaku usaha lokal,” kata Syarkawi.

“Bayangkan nanti ke depan, ada perusahaan asing yang mau masuk ke Indonesia, atau mau mematikan bisnis di Indonesia, ya sudah dia akuisisi perusahaan itu. Baru dia matikan bisnisnya. Tinggal dia jadi perusahaan dominan di kita. Nah, ini kan dampak merger dan akuisisi yang negatif bagi ekonomi kita.”

Baca lanjutannya: Persaingan Startup dan Perusahaan Digital di Era Bisnis Global (Bagian 2)

Related

Technology 1782359333980430014

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item