Industri Film Sedunia Gonjang-ganjing Dihantam Wabah Corona (Bagian 1)

 Industri Film Sedunia Gonjang-ganjing Dihantam Wabah Corona, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Industri film Indonesia tengah terpukul akibat pandemi COVID-19. Pada 23 Maret 2020, jaringan bioskop terbesar di Indonesia, Cinema XXI, memutuskan menutup kegiatan operasionalnya, untuk mendukung gerakan social distancing.

Penutupan sementara selama dua pekan itu diperpanjang hingga batas waktu yang tidak disebutkan, setelah pemerintah daerah DKI Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang efektif sejak Jumat (10/4/2020) lalu.

Film Indonesia awalnya diprediksi bakal menarik lebih dari 60 juta pasang mata sepanjang tahun 2020. Hingga pertengahan Maret, film Indonesia telah ditonton sebanyak 12 juta orang.

Milea: Suara dari Dilan, misalnya, menarik tidak kurang dari tiga juta penonton sejak dirilis pada Februari lalu. Dengan berlakunya PSBB, pencapaian serupa sudah tentu mustahil diulang kembali.

Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), Chand Parwez Servia, menuturkan, sepanjang masa darurat pandemi COVID-19 kegiatan produksi film benar-benar berhenti.

Dia memperkirakan kondisi ini akan menghasilkan masa paceklik dalam perfilman lokal, selama kurang lebih satu tahun. Sepanjang tahun 2020, keseluruhan produksi film nasional yang bisa diselamatkan hanya 25 persen saja.

“Menjelang Lebaran, yang kami perkirakan akan mendatangkan banyak penonton, juga kemungkinan minat tidak terlalu tinggi. Saya memperkirakan industri film akan terganggu selama satu tahun, dan tidak akan cepat pulih,” katanya.

Kesulitan industri film di tengah pandemi, akibat penutupan jaringan bioskop pada dasarnya adalah permasalahan global. Cina, pasar film terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, dikabarkan telah melakukan penutupan terhadap lebih dari 70 ribu bioskop sejak Januari lalu.

Seperti dilaporkan Quartz, peristiwa itu mengakibatkan pendapatan box office global turun hingga 5 miliar dolar, dan memaksa produser film beramai-ramai pindah ke jaringan digital.

“Kehadiran penonton di bioskop-bioskop di negara-negara Asia turun secara signifikan. Studio-studio Hollywood dipaksa untuk menunda perilisan film-film blockbuster, dan secara drastis mengubah jadwal produksi di seluruh dunia,” tulis Quartz. “Sejauh ini, tidak ada studio yang mengatakan bahwa mereka membatalkan perilisan film, sebagai gantinya mereka memulai debutnya secara online.”

Flu Spanyol mengubah Hollywood

Pandemi COVID-19 bukan wabah pertama yang menghantam Hollywood. Lebih dari seratus tahun lalu, perfilman Amerika pernah menyaksikan wabah mematikan yang menginfeksi 60% populasi dunia, dan membunuh 50 juta orang di seluruh dunia. Akibatnya, industri film mengalami krisis selama beberapa tahun, hingga akhirnya para pengusaha harus putar akal untuk membuat bisnisnya terus berjalan.

Virus influenza tipe A subtipe H1N1, atau dikenal dengan nama Flu Spanyol, diperkirakan tiba di pesisir timur Amerika Serikat pada Maret 1918. Para serdadu yang baru saja kembali dari medan pertempuran Perang Dunia I di Eropa menjadi orang-orang pertama yang dilaporkan terinfeksi virus ini.

Pada bulan September di tahun yang sama, wabah Flu Spanyol semakin mengganas. Kota-kota kecil mulai melakukan isolasi, seiring diterapkannya kebijakan larangan berkerumun di tempat umum. Bioskop menjadi sektor usaha yang paling awal diperintahkan untuk ditutup.

Seperti dicatat Gary D. Rhodes dalam The Perils of Moviegoing in America: 1896-1950 (2012: 94), kebijakan ini bermula dari negara bagian Massachusetts dan menyebar ke penjuru Amerika Utara pada bulan berikutnya.

Kendati bioskop satu per satu tutup, orang-orang yang bekerja dalam industri film di Los Angeles menolak menghentikan kegiatan produksi. Menurut catatan yang dikumpulkan The Hollywood Reporter, kala itu para dedengkot perfilman yakin bahwa Flu Spanyol adalah masalah orang-orang di kawasan Pantai Timur.

Di saat bersamaan, film bisu tengah mengalami masa keemasan, sehingga banyak produser yang lebih takut kehilangan momentum daripada tertular virus.

Orang-orang perfilman baru mulai merasa terpukul ketika Asosiasi Industri Film Amerika berhenti mendistribusikan film-film keluaran terbaru. Menurut William J. Mann, penulis yang banyak meneliti sejarah Hollywood, kebijakan ini diambil ketika 90% bioskop di negeri itu gulung tikar lantaran kehilangan penonton. Produksi film pun berhenti mengikuti penutupan jalur distribusi dan pemutaran film.

Dalam wawancara yang dipublikasikan pada laman Deadline Hollywood, Mann memaparkan bahwa sektor produksi pada masa itu tidak terintegrasi dengan bidang pemutaran film.

Pada dasarnya, sektor-sektor tersebut dikelola secara independen oleh orang-orang Amerika keturunan Cina dan Meksiko, kebanyakan adalah perempuan. Ketika krisis akibat pandemi datang, mereka tidak bisa berbuat banyak kecuali menutup usahanya untuk sementara.

Mann mengkisahkan, wabah Flu Spanyol kemudian mengubah model industri film Hollywood untuk selamanya. Adolf Zukor, salah seorang pendiri Paramount Pictures, membeli satu per satu bioskop yang sudah berada di ambang kebangkrutan.

Baca lanjutannya: Industri Film Sedunia Gonjang-ganjing Dihantam Wabah Corona (Bagian 2)

Related

Entertaintment 853886500586467841

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item