Kisah Bencana Kelaparan di Jawa, Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang (Bagian 2)

Kisah Bencana Kelaparan di Jawa, Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Bencana Kelaparan di Jawa, Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Sejarawan Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) mencatat bahwa pada 1930 konsumsi singkong di Jawa dan Madura lebih dominan daripada beras. Konsumsi singkong diperkirakan mencapai 119 kilogram per kapita per tahun, sedangkan beras hanya 90 kilogram per kapita per tahun.

Baru pada paruh kedua dekade 1930-an, pemerintah kolonial mulai lagi menggenjot produksi beras di beberapa wilayah seperti Jawa, Lampung, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, Sumbawa, dan Lombok.

Surplus dari daerah-daerah itu lantas didistribusikan ke daerah lain seperti Riau, Bangka, Belitung, dan Kalimantan, yang kekurangan beras. Selain itu, pemerintah juga membentuk Voedingsmiddelen Fonds (Dana Bahan Makanan) untuk menjaga stabilitas harga beras.

Namun, sebelum stabilitas pangan tercapai, Jepang keburu menyerbu Hindia Belanda, dan membuat krisis pangan semakin runyam.

“Produksi beras di tahun 1943 mulai mengalami penurunan karena petani dipaksa menyerahkan sebagian hasil panennya kepada Jepang. [...] Di pasar gelap, harga beras melonjak di kisaran 30 sen hingga 1 gulden per liter. Hanya kalangan kelas menengah saja yang mampu membelinya,” tulis Fadly (hlm. 203).

Di Jawa, Jepang hanya membolehkan petani menyimpan 40 persen hasil panen berasnya. Sisanya, 30 persen wajib disetor ke lumbung desa dan 30 persen lagi untuk pemerintah pendudukan. Prioritas pertama tentu saja keperluan militer dan perang.

Pengumpulan beras dan distribusinya pun diatur secara ketat oleh pemerintah pusat di Jakarta. Sejarawan Aiko Kurasawa menyebut seluruh beras akan disetor ke Jakarta dan hanya pemerintah pusat yang boleh mengatur distribusinya. Perdagangan beras antardaerah dilarang keras. Karena buruknya infrastruktur saat itu, distribusi beras pun benar-benar kacau dan tak merata.

Di beberapa daerah, masyarakat bahkan dilarang makan beras. Di Besuki, misalnya, sering diadakan penggeledahan dapur, dan mereka yang ketahuan punya beras lalu dilaporkan ke kempetai—polisi militer Jepang yang terkenal kejam. Sebagai gantinya, pemerintah Jepang mendorong rakyat mengonsumsi pangan alternatif yang disebut “menu perjuangan”.

“Salah satu yang paling populer ialah bubur campuran yang disebut ‘bubur perjuangan’ (terdiri dari campuran ubi, singkong, dan katul) dan ‘bubur Asia Raya’. Makanan yang juga populer ialah to-a pan (roti Asia) yang terbuat dari tepung ketela dan tepung kedelai,” tulis Kurasawa dalam Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (2015, hlm. 116).

Singkong lagi-lagi jadi pilihan utama masyarakat saat menghadapi krisis pangan. Selama Jepang bercokol di Indonesia memang hanya singkong yang persediaannya stabil dan harganya terjangkau.

Data Fadly (hlm. 204-205) menyebut, beras dan bahan pangan lain (jagung, kentang, kedelai, kacang) di Jawa dan Madura terus mengalami penurunan produksi selama masa pendudukan. Bahkan pada 1945, kentang menghilang dari pasaran.

Di masa-masa tersulit, singkong bukan lagi dianggap sebagai pelengkap atau alternatif untuk memenuhi kebutuhan pangan, tapi benar-benar jadi makanan pokok. Orang bahkan terpaksa makan bonggol pisang atau batang pepaya.

“Makanan pengganti tersebut tentu saja tidak memuaskan, bahkan hina bagi orang Jawa,” tulis Kurasawa (hlm. 117).

Related

Indonesia 5962705110539874950

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item