Kisah Nelangsa ABK di Kapal Asing, Tak Tidur Sampai 48 Jam (Bagian 2)

Kisah Nelangsa ABK di Kapal Asing, Tak Tidur Sampai 48 Jam naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Nelangsa ABK di Kapal Asing, Tak Tidur Sampai 48 Jam - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kapal tempat dia bekerja pun bersiasat dengan obat-obatan yang diberikan kepada setiap ABK, dengan dosis yang berbeda-beda. Aep sendiri mengaku mendapat jatah suntik morfin dari perusahaan untuk menjaga staminanya, hingga bisa bekerja berpuluh-puluh jam tanpa tertidur.

Dia juga bercerita soal kualitas kesehatan di atas kapal yang bisa dibilang sangat buruk.

"Enggak ada dokter atau perawat, ruang kesehatan juga tidak ada. Anehnya kami juga tidak pernah merasa sakit. Mungkin karena terlalu lelah bekerja sehingga tak ada waktu untuk mengeluh sakit," tuturnya.

Tak ada alat komunikasi yang bisa digunakan. Aep mengatakan, kala itu merasa keluarga, kerabat, teman yang ada di daratan seperti ilusi, karena sangat jauh untuk dijangkau.

"Karena enggak ada sinyal di tengah laut. Ada telepon satelit juga yang pakai kapten kapal. Kapten kapal udah setengah dewa pokoknya kalau di laut," kata dia.

Terkadang, kapal memang akan bersandar di Pelabuhan. Biasanya mereka bersandar hanya sekadar mengganti suku cadang. Tetapi tentu pilihan tempat untuk bersandar pun adalah negara dengan pajak paling murah.

Maka tak heran, ABK yang melaut bisa dikira sudah meninggal. Tanpa kabar, tanpa jejak, apalagi yang pergi melalui agen tidak resmi, hidup syukur mati tak apa.

Sebab selain tak berkabar, kapal yang membawa ABK WNI ini juga sering memilih negara yang tak memiliki kedutaan Indonesia sebagai tempat berlabuh.

"Saya makanya sering bilang, kalau jadi buronan atau punya masalah di Indonesia, kabur saja. Kabur jadi ABK pasti tidak akan pernah tertangkap," selorohnya.

Pemerintah entah kemana

“Orang bodoh dan miskin butuh perlindungan, butuh dibimbing agar tak salah langkah". Itulah yang selalu terbersit di pikiran Aep setelah 'lulus' dari profesinya sebagai ABK tak berdokumen resmi.

Menurut dia, semakin banyak agen-agen 'tidak resmi' yang menjadi penyalur ABK tanah air ini, ada campur tangan pemerintah yang membiarkannya berkembang biak.

Itulah yang ia rasakan sejak menjadi ABK, apalagi setelah insiden pembajakan pada 2009 lalu yang menimpa kapalnya. Aep sendiri mengaku kurang melihat upaya pemerintah terhadap perlindungan ABK WNI.

"Saya masih ingat dulu ketika saya disandera di Somalia. ABK dari negara lain dijemput sampai kepala negara mereka datang. Saya? Dari Bandara saja saya naik bus pulang ke rumah," kenangnya.

Bagi Aep, pemerintah dari masa ke masa hanya bermulut manis. Meski roda pemerintahan telah berganti, kejadian mirip yang tengah menimpa para ABK di Kapal China beberapa waktu lalu tak menyurutkan rasa skeptisnya terhadap pemerintah.

"Bagi saya, kalau tidak ada benar-benar aksi nyata, saya tidak bisa percaya kalau kehidupan ABK bisa lebih terjamin," katanya

Meski begitu, dia tak pernah melupakan kawan satu perjuangannya ketika menjadi ABK. Bahkan setiap kali mendengar kisah pilu soal ABK, Aep tak kuasa menyembunyikan kesedihannya. Sebab, pengalaman selama sepuluh tahun mengajarkannya untuk lebih merasakan.

"Saya sedih, karena saya tahu betapa susahnya jadi ABK, bahkan mati pun dibuang begitu saja ke lautan," katanya.

Related

News 7913915573296808318

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item