Fenomena Buzzer di Ranah Politik, dari Kasus Bintang Emon Sampai Dugaan Peretasan

Fenomena Buzzer di Ranah Politik, dari Kasus Bintang Emon Sampai Dugaan Peretasan, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Kasus-kasus represi di dunia maya terhadap para pengkritik pemerintah atau aparat diduga terkait dengan pendengung atau buzzer. Meski tak bisa dibuktikan, pembelaannya yang membabi-buta, erat dengan elite-elite tertentu. Demokrasi pun terancam mati akibat cara-cara itu.

Stand-up komedian Bintang Emon diduga mendapat serangan di media sosial usai mengomentari kasus penyiraman air keras ke wajah penyidik KPK, Novel Baswedan, melalui tayangan video.

Dalam video yang diunggah ke akun medsos pribadinya, Bintang menyindir alasan ketidaksengajaan di balik tuntutan satu tahun penjara pada terdakwa penyiram Novel. Ia mempertanyakan alasan penyiraman air keras yang tidak sengaja namun justru mengenai mata Novel.

Imbasnya, muncul serangan di medsos berupa meme, berisi keterangan Bintang menggunakan narkotika jenis sabu. Meme itu diunggah sejumlah akun anonim dengan narasi yang seragam, menuding Komika itu mengonsumsi sabu.

Peristiwa itu sontak mengundang reaksi dari warganet. Bintang pun sempat mengunci sejumlah akun medsosnya, meski belakangan telah dibuka kembali.

Buntut dari peristiwa tersebut, DPR meminta pemerintah turun tangan menertibkan buzzer yang diduga menyerang Bintang. Sebagai warga negara, Bintang dinilai tak boleh mendapat ancaman hanya karena mengkritik pemerintah.

Tak cuma Bintang, serangan berupa peretasan akun medsos juga sempat menimpa sejumlah aktivis secara masif. Terutama mereka yang selama ini vokal mengkritik RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Korban peretasan yang dimaksud antara lain Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Fajar Adi Nugroho, dan peneliti SAFENet Damar Juniarto.

Terbaru, akun instagram YLBHI juga diduga diretas lantaran admin tak dapat masuk sendiri ke akunnya. Tak hanya itu, masih banyak kasus-kasus kriminalisasi aktivis pengkritik pemerintah yang diduga lewat represi di dunia maya lainnya.

Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Wasisto Jati, menilai keberadaan buzzer yang menyerang akun medsos belakangan ini telah mencederai demokrasi di Indonesia. Serangan umumnya menimpa mereka yang mengkritik pemerintah.

Padahal, menurut Wasisto, medsos merupakan ruang publik terbuka yang membebaskan setiap orang untuk mengunggah atau berkomentar terhadap suatu peristiwa, termasuk pada pemerintah.

"Saya rasa buzzer ini telah merusak demokrasi. Hadirnya medsos kan sebagai ruang publik baru, semua orang mestinya bisa komentar, posting, like, love. Tapi adanya buzzer ini membuat mereka seolah menjadi polisi siber," ujar Wasisto.

Wasisto mengatakan, kemunculan akun buzzer ini merupakan bentuk ekspresi masyarakat yang semakin partisan pada sosok atau figur yang dipuja. Tak heran jika akun-akun tersebut kemudian menunjukkan sikap defensif agar tak ada kritikan yang 'melukai' pada sosok yang mereka puja.

Dalam iklim demokrasi, lanjut Wasisto, keberadaan buzzer itu menunjukkan dua hal penting. Pertama, kualitas demokrasi yang semakin turun karena tak ada lagi debat terbuka tentang suatu isu. Kedua, demokrasi yang semakin kompetitif.

"Karena masyarakat sadar dan punya nilai-nilai sendiri yang ingin diperjuangkan," tuturnya.

Lebih lanjut, peneliti yang tengah menempuh pendidikan magister di Australia ini menilai, keberadaan para buzzer tersebut juga sangat mengganggu karena kerap kali mereka tak memahami substansi yang dikritik. Akibatnya, serangan yang muncul cenderung destruktif.

"Peran buzzer ini makin lama makin ekspresif tapi tidak kritis konstruktif, justru destruktif. Ini sangat menggangu karena mereka tidak tahu konten atau substansi apa yang dikritik," ucap Wasisto.

Pilkada DKI

Pengamat intelijen, Stanislaus Riyanta, menilai kemunculan akun buzzer berawal dari polarisasi warga yang menguat di masa Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Sejak saat itu, keberadaan buzzer di medsos semakin masif karena fanatisme berlebihan pada seorang tokoh.

Jika tokoh pujaannya diserang maka para buzzer akan mati-matian membela hingga kehilangan akal sehat. Hal ini, kata dia, menunjukkan fenomena post truth, mereka hanya meyakini kebenaran dari bagian yang mereka sukai.

"Ini jauh dari asas demokrasi, sangat tidak sehat dan sangat merugikan Indonesia yang diklaim sebagai negara demokrasi," katanya.

Padahal, menurut Riyanta, kritikan yang disampaikan Bintang tak lebih dari kritikan khas anak muda yang semestinya dihargai. Alih-alih menyerang, kritik itu seharusnya dibalas pula dengan kritik.

"Harusnya kritik dengan cara yang cerdas. Kritik lawan dengan kritik. Kalau ada sisi akademis ya lawan dengan akademis. Jangan dengan cara yang kampungan," ucapnya.

Riyanta menilai pemerintah harus mulai menertibkan akun-akun buzzer di medsos. Sebab keberadaan buzzer itu bagaimana pun banyak dipengaruhi tokoh-tokoh yang mereka puja di kursi pemerintahan.

"Ini harus ditertibkan karena bagaimana pun perilaku masyarakat dipengaruhi oleh tokohnya. Pemerintah harus menjawab serangan para buzzer untuk menunjukkan jika itu bukan bagian dari pemerintah," ujarnya.

Riyanta menegaskan bahwa aksi para buzzer yang menyerang itu akan merusak tatanan demokrasi yang selama ini berjalan di Indonesia.

"Aksi buzzer ini sudah keterlaluan dan itu tidak benar. Berdemokrasilah secara sehat, lawan dengan santun, karena demokrasi tanpa kritik tidak akan jalan," tuturnya.

Related

News 3357846718171605144

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item