Revolusi Hijau dan Bahaya Kesehatan di Balik Teknologi Pertanian

Revolusi Hijau dan Bahaya Kesehatan di Balik Teknologi Pertanian, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Revolusi Hijau, keberhasilan teknologi pertanian, termasuk teknologi pemberantasan hama-penyakit, meningkatkan produksi pangan, terutama gandum dan beras. Revolusi Hijau menjanjikan memberi makan untuk seluruh penduduk dunia.

Norman Ernest Borlaug, penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1970, dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel, mengatakan istilah Revolusi Hijau, istilah yang dipopularkan pers, terlalu prematur, terlalu optimis, atau terlalu luas cakupannya. Ia mengakui, istilah itu seakan menunjukkan semua petani merasakan manfaat dari terobosan peningkatan produksi.

Revolusi Hijau dimulai ketika Borlaug bergabung dalam sebuah program yang bertujuan membantu petani miskin di Mexico meningkatkan produksi gandum mereka. Program itu didanai oleh Rockefeller Foundation.

Borlaug membutuhkan waktu hampir 20 tahun memuliakan gandum cebol yang tahan berbagai hama dan penyakit, dan menghasilkan gandum dua sampai tiga kali varitas tradisional, seperti diungkapkan Borlaug dalam wawancara dengan situs publikasi online ActionBioscience yang dikelola oleh American Institute of Biological Sciences.

Kemudian, tahun 1960-an, Rockefeller Foundation memperluas programnya membantu petani Pakistan dan India menanam varitas gandum unggul itu. Hasilnya luar biasa. Pakistan berhasil memproduksi 8,4 juta ton gandum 1970, dari hanya 4,6 juta ton pada tahun 1965.

India memproduksi 20 juta ton gandum tahun 1970, dibandingkan produksinya tahun 1965 hanya 12,3 juta ton. Keberhasilan Revolusi Hijau melimpas ke Cina yang sekarang menjadi produsen pangan terbesar di dunia.

Revolusi Hijau di Asia Tenggara, yang makanan pokoknya beras, bukan gandum, berawal dari didirikannya International Rice Research Institute di Los Banos, Filipina, tahun 1962, atas bantuan Ford Foundation dan Rockefeller Foundation.

IRRI bertugas memuliakan varietas-varietas padi unggul berproduksi tinggi. Tahun 1968 petani di India, Pakistan, Thailand, Filipina, Taiwan, Vietnam Selatan, dan Indonesia, mulai menanam IR-8, salah satu varitas padi hasil pemuliaan IRRI.

Revolusi Hijau menjadi bagian dari kebijakan Orde Baru di Indonesia, melalui program Bimas/Inmas, dengan menerapkan pertanian modern, dengan asupan pupuk buatan, varitas unggul, pestisida pemberantas hama/penyakit, irigasi, dan alat-alat pertanian plus kredit.

Terkait Revolusi Hijau, Indonesia antara tahun 1969-1974 menerima bantuan dari Amerika Serikat untuk membeli DDT dan sejumlah pestisida jenis lainnya, dengan nilai lebih dari satu juta dollar AS. Tahun 1975, khusus untuk bantuan pembelian DDT, AS membatasinya hanya untuk “kepentingan kesehatan masyarakat.”

Meskipun Orde Baru menyatakan berhasil mencapai “swasembada pangan”, dan Soeharto menerima penghargaan dari FAO tahun 1986, sampai saat ini Indonesia masih tetap mengimpor beras, dan petani tidak semakin sejahtera. Beberapa literatur juga menyimpulkan Revolusi Hijau telah gagal memberi makan dunia. Penduduk miskin masih tetap banyak.

Bukti-bukti menunjukkan, pertanian ala Green Revolution tidak berkelanjutan secara ekologis, bahkan untuk pertanian skala luas. Tahun 1990-an bahkan para peneliti Green Revolution menyuarakan peringatan adanya kecenderungan yang mengganggu. Setelah menikmati peningkatan panen yang dramatis pada awal penerapan teknologi, panen mulai menurun di sejumlah kawasan yang menerapkan Green Revolution.

Di Luzon Tengah, Filipina, hasil panen meningkat selama tahun 1970-an dan mencapai puncak di awal 1980-an, setelah itu mulai menurun perlahan-lahan. Pola serupa terjadi juga di India dan Nepal. Kalau pun tidak turun, laju pertumbuhan melambat dengan cepat atau tidak naik atau turun, seperti terjadi di Cina, Korea Utara, Indonesia, Myanmar, Filipina, Thailand, Pakistan, dan Srilanka.

Bukan hanya gagal menyejahterakan petani, Revolusi Hijau membawa bencana baru pada lingkungan dan kesehatan manusia. Residu pestisida ditemukan di dalam tubuh petani dan pekerja di lahan pertanian di Amerika Serikat.

Januari 2003, Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, dalam laporan kedua mengenai paparan kimia lingkungan pada manusia (Second National Report on Human Exposure to Environmental Chemicals), mengungkapkan hasil tes pada 9.282 orang menunjukkan di dalam tubuh mereka terdeteksi 116 bahan kimia, termasuk 34 jenis pestisida.

Sejalan dengan meningkatnya penggunaan pestisida sejak Revolusi Hijau tahun 1950-an di Amerika Serikat, kasus sejumlah penyakit yang berhubungan dengan kontaminasi lingkungan ikut meningkat juga. CDC melaporkan satu dari empat orang di AS tahun 2004 akan terkena kanker dalam hidupnya.

Memang, para ahli tidak bisa menjelaskan apa kaitan antara tingginya kasus kanker dengan paparan bahan kimia yang dibuang di lingkungan. Tetapi para ahli mengetahui banyak pestisida bersifat karsinogenik, atau menyebabkan jenis kanker tertentu. Para ahli juga mencoba menghubungkan penyakit kronis seperti Parkinson, kerusakan janin, berkurangnya jumlah sperma, berhubungan dengan paparan pestisida.

Bagaimana bahan kimia beracun itu masuk ke dalam tubuh manusia? Paling banyak, pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui oral, ketika manusia mengonsumsi hasil pertanian yang mengandung residu pestisida, dan melalui air minum yang sudah terkontaminasi kimia pestisida.

Pengolahan data residu pestisida dari sumber-sumber pemerintah dan perguruan tinggi oleh Pesticide Action Network tahun 1999 di AS, menunjukkan umum dalam satu produk pangan mengandung residu lima atau lebih kimia beracun yang persisten.

Bahan kimia jenis POP (pesistent organic pollutant) yang paling umum mengontaminasi produk pangan di AS adalah dieldrin dan DDE. Ketika DDT, yang sudah dilarang penggunaannya tahun 1970, diurai, hasilnya adalah DDE.

POP masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Bahan kimia ini terakumulasi di dalam tubuh organisme dari rantai makanan paling rendah. Dan akhirnya bermuara di dalam tubuh manusia, disimpan di dalam jaringan lemak. Bahkan DDT bisa menyebabkan kematian, mengganggu organ reproduksi, dan mengubah jenis kelamin ikan ketika masih telur.

Residu bahan pestisida jenis POP yang sudah dilarang di AS, ditemukan di semua kategori pangan, mulai dari makanan yang dipanggang, buah-buahan, sayuran, daging, telur, sampai produk peternakan.

Secara umum, ada 10 jenis pangan, berdasarkan studi FDA tahun 1999, yang disusun berdasarkan abjad, adalah mentega, cantaloupe, mentimun, meatloaf, kacang, jagung pop corn, radish, bayam, summer squash, dan winter squash.

Di Indonesia, menurut data Departemen Pertanian, ada 1.082 jenis pestisida yang terdaftar dan mendapatkan izin penggunaan untuk budi daya pertanian dan kehutanan. SK Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian juga sudah menetapkan residu untuk 1.082 jenis pestisida itu. Tidak ada data berapa besar jumlah residu pestisida yang ada di tanah (KLH, 2006).

Tahun 1993, penelitian Pesticide Action Network Indonesia menunjukkan beras jenis IR64 di Deli Serdang, Sumatera Utara, mengandung racun karbofuran, sebesar 58,21 ppb dan diazinon 18,4 ppb. Beras kuku balam asal Pangkalan Brandan mengandung karbofuran 39,21 ppb.

Meskipun beras itu sudah dicuci dengan air, kandungan karbofuran pada beras IR64 dari Deli Serdang masih 45,56 ppb dan beras kuku balam 29,78 ppb. Pestisida juga mengontaminasi ASI, tanah, air, bahkan tanaman obat.

Related

Technology 1575710347063056255

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item