Faisal Basri Ungkap Fakta-fakta dan Akar Masalah Ekonomi Era Jokowi

 Faisal Basri Ungkap Fakta-fakta dan Akar Masalah Ekonomi Era Jokowi, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Pakar ekonomi senior, Faisal Basri, membeberkan sejumlah akar masalah perekonomian Indonesia di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurutnya, hal itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bergeming di kisaran 5 persen, dengan pengecualian pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2020 sebesar 2,97 persen akibat pandemi Covid-19.

Di sisi lain, ia menilai Jokowi telah bekerja keras membangun ekonomi Indonesia. Bahkan, ia menjelajah seantero negeri hingga pelosok Tanah Air.

Selain itu, banyak infrastruktur dibangun pada periode Jokowi hingga berbicara langsung dengan kalangan pengusaha di luar negeri, untuk mempresentasikan sendiri kondisi dan daya tarik investasi di Indonesia.

"Dengan segala upaya dan kerja keras itu, mengapa pertumbuhan justru melemah dibandingkan periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Pertumbuhan ekonomi selama 2015-2019 hanya lima persen, jauh dari target yang ia canangkan sebesar 7 persen," tulis Faisal Basri dalam artikel bertajuk Antiklimaks Keberhasilan Ekonomi Presiden Jokowi (II), dikutip dari situs miliknya.

Menurutnya, akar masalah ekonomi di era Jokowi adalah investasi yang boros. Ini tampak dari tingginya angka incremental capital output ratio (ICOR) dalam lima tahun terakhir.

ICOR adalah parameter ekonomi makro yang menggambarkan rasio investasi kapital atau modal terhadap hasil yang diperoleh (output).

Dalam catatan Faisal, sejak era Orde Baru hingga kepemimpinan SBY, rerata ICOR Indonesia adalah 4,3. Sedangkan di era Jokowi naik mencapai 6,5.

Rinciannya, angka ICOR tercatat sebesar 6,6 persen di 2015, lalu 6,4 persen di 2016, 6,4 persen di 2017, dan 6,3 persen di 2018. Pada 2019, angkanya kembali naik menjadi 6,6 persen.

Pameran Manufacturing Indonesia yang ke 30 ini diikuti oleh 1.500 peserta dari 39 negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Belanda, Brazil, Cina, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Singapura, Swiss dan lainnya.

Deretan produk dan terobosan teknologi khususnya yang mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi seperti Internet of Things (IoT), Cloud Computing, Artificial Intelligence, Mobility Virtual, Augmented Reality dan Big data juga dihadirkan.

Selain tertinggi sepanjang sejarah, ICOR Indonesia juga tertinggi di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, ICOR Filipina pada 2018 sebesar 3,7, Thailand 4,5, Malaysia 4,6, dan Vietnam 5,2.

"Berarti, untuk menghasilkan tambahan 1 unit output yang sama, di era Jokowi butuh tambahan modal 1,5 kali lipat dari pemerintahan sebelumnya," paparnya.

Faisal justru menilai kinerja investasi pada era Jokowi tidak turun atau jeblok. Memang, pertumbuhan investasi sempat turun di bawah pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019.

Akan tetapi, ia menengarai ini terjadi lantaran 2019 adalah tahun Pemilu serta kebetulan angka pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) serupa, yakni 4,45 persen.

Oleh sebab itu, ia menilai jika diagnosa Jokowi bahwa investasi belum nendang sehingga ekonomi hanya bertahan di 5 persen, adalah keliru.

"Presiden Joko Widodo menuding investasilah yang jadi biang keladi pertumbuhan rendah. Padahal, sebagaimana telah diuraikan panjang lebar di atas, kinerja investasi Indonesia sangat tidak mengecewakan," imbuhnya.

Akar masalah selanjutnya adalah investasi kurang berkualitas. Faisal menuturkan investasi di Indonesia didominasi dalam bentuk bangunan, sedangkan dalam bentuk mesin dan peralatan hanya sekitar 10 persen. Sebaliknya, di negara-negara tetangga, porsi mesin dan peralatan mencapai dua sampai tiga kali lipat dari Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat komponen PMTB pada 2019 secara mayoritas didominasi oleh bangunan sebesar 75,04 persen. Disusul oleh mesin dan perlengkapan sebesar 10,60 persen, kendaraan 4,95 persen, peralatan lain 1,67 persen, sumber daya hayati (cultivated biological resources/CBR) 5,41 persen, dan produk kekayaan intelektual 2,32 persen.

"Bangunan berupa mal banyak menjual barang impor. Sebaliknya, mesin dan peralatan menghasilkan berbagai barang yang bisa diekspor. Tak heran kalau porsi ekspor terhadap PDB cenderung turun," katanya.

Akar masalah lain adalah kapasitas terpakai masih rendah ditandai dengan pemanfaatan kapasitas terpasang di sejumlah industri masih rendah. Data yang dimiliki Faisal memaparkan kapasitas terpakai di seluruh industri hanya 70 persen. Menurutnya, perusahaan tidak akan menambah investasi jika pabriknya belum berproduksi penuh.

Jika pemanfaatan kapasitas sudah mendekati 90 persen, barulah pengusaha mengambil ancang-ancang untuk melakukan investasi baru agar kapasitas produksi meningkat.

"Tanpa diberikan insentif sekalipun mereka akan menambah investasi," ucapnya.

Terakhir, ia menilai akar masalah lainnya adalah pemerintahan kedua Jokowi menafikan apa yang sudah berhasil. Ia mencontohkan kebijakan yang dimaksud adalah pembukaan keran ekspor benih lobster, pembebasan penggunaan cantrang, dan kemunculan wacana kapal asing diizinkan menangkap ikan di perairan Indonesia.

Padahal, kata dia, keberhasilan Indonesia dalam menegakkan kedaulatan di laut diakui internasional dan dipuji oleh banyak tokoh dunia. Keberhasilan menjaga kekayaan laut agar berkelanjutan, antara lain terlihat dari cadangan ikan yang meningkat.

"Bukannya melanjutkan kebijakan yang sudah sangat on the right track, justru pemerintahan kedua Jokowi menafikan apa yang sudah berhasil," katanya.

Related

News 8213101429875419142

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item