Menguak Biang Kerok di Balik Kemacetan Dana Penanganan Corona

Menguak Biang Kerok di Balik Kemacetan Dana Penanganan Corona,  naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Realisasi penyaluran dana penanganan virus corona (covid-19) terbilang masih seret. Data Kementerian Keuangan mencatat realisasi penyaluran anggaran masih di bawah 50 persen, bahkan ada yang belum direalisasikan.

Rinciannya, penyaluran di sektor kesehatan baru 4,68 persen dari total anggaran Rp87,75 triliun hingga awal Juli lalu. Lebih lanjut, dana perlindungan sosial baru terealisasi 34,06 persen dari total anggaran Rp203,90 triliun, sektoral dan pemerintah daerah (pemda) baru 4,01 persen dari Rp106,11 triliun, serta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) 22,74 persen dari Rp123,46 triliun.

Kemudian, insentif usaha baru tercapai 15 persen dari total anggaran senilai Rp120,61 triliun, sedangkan pembiayaan korporasi belum terealisasi sama sekali dari anggaran yang disiapkan Rp53,57 triliun.

Minimnya realisasi tersebut, sempat menyulut amarah Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara pada 18 Juni lalu. Suara Jokowi terdengar meninggi dan ia beberapa kali menyebut bakal mengambil langkah yang luar biasa keras untuk menghadapi Covid-19.

Jokowi juga membuka kemungkinan membubarkan lembaga hingga reshuffle jika tak ada upaya maksimal dari para menteri dalam penanganan Covid-19.

"Bisa saja membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle, sudah kepikiran kemana-mana saya. Entah buat Perpu yang lebih penting lagi, kalau memang diperlukan," kata Jokowi dalam sebuah video yang diunggah melalui kanal Youtube sekretariat Presiden.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai kendala distribusi dana penanganan covid-19 yakni kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Sejatinya, kendala tersebut merupakan masalah klasik yang memang kerap dikeluhkan kepala negara sejak sebelum pandemi.

Kurangnya harmonisasi antara pusat dan daerah menimbulkan kendala pada sejumlah hal, salah satunya data. Sementara itu, akurasi data merupakan kunci utama dalam penyaluran dana penanganan Covid-19 kepada masyarakat.

"Misalnya, bantuan sosial (bansos) itu sangat tergantung salah satunya Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Seharusnya, DTKS ini diisi oleh pemerintah daerah, namun dilihat dari laporannya belum semuanya mengisi DTKS ini dengan baik, masih banyak data yang bolong sehingga ketika pemerintah pusat mau menyalurkan bansos ini terhambat," paparnya.

Ia sepakat dengan sikap Jokowi untuk menggenjot penyaluran dana penanganan covid-19. Pasalnya, stimulus itu merupakan senjata utama Indonesia terbebas dari resesi ekonomi.

"Semakin lama penyaluran dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), maka potensi kena resesi semakin besar," ucapnya.

Sebagai gambaran, dana penanganan covid-19 termasuk di dalamnya anggaran PEN yang disiapkan pemerintah sebesar Rp695,2 triliun. Pemerintah tercatat beberapa kali merevisi ke atas alokasinya, dari semula Rp405,1 triliun pada Maret kemudian bertambah menjadi Rp677,2 triliun pada awal Juni.

Lalu, dana penanganan covid-19 ditambahkan lagi menjadi Rp686,2 triliun, sebelum akhirnya menjadi Rp695,2 triliun. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku angka masih terus bergerak sesuai dengan perkembangan di lapangan.

Yusuf melanjutkan dana tersebut diharapkan bisa mengungkit daya beli masyarakat yang tertekan akibat pandemi covid-19. Ujung-ujungnya, daya beli ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi lantaran porsi konsumsi rumah tangga kepada pertumbuhan ekonomi masih mayoritas, yakni 58,14 persen pada kuartal I 2020.

Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas juga mencatat daya beli masyarakat hilang sekitar Rp362 triliun akibat tekanan pandemi. Dengan demikian, tak heran jika kucuran dana penanganan Covid-19 ini sangat dibutuhkan masyarakat untuk memulihkan daya beli mereka.

Jika tidak, lanjut Yusuf, maka potensi resesi ekonomi terbuka lebar. Pasalnya, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi akan menyentuh minus 3,8 persen pada kuartal II 2020 dipicu berhentinya aktivitas ekonomi akibat implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Karenanya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal selanjutnya harus diupayakan kembali positif agar Indonesia lepas dari jerat resesi.

"Perdebatannya, apakah kuartal III akan minus juga atau positif ini juga akan bergantung dari penyaluran dana PEN," imbuhnya.

Senada, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan kendala penyaluran dana penanganan terbagi menjadi masalah teknis dan fundamental. Secara teknis, ia mengungkapkan pemerintah menghadapi sejumlah kendala misalnya infrastruktur teknologi belum siap dan komunikasi antar aparat tersendat akibat penerapan PSBB maupun jaga jarak fisik (physical distancing).

"Namun, lebih banyak masalah non teknis dan masalah non teknis ini jauh lebih sulit," katanya.

Sepakat dengan Yusuf, Fithra mengatakan masalah fundamental yang dihadapi pemerintah adalah kurangnya harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Oleh sebab itu, ia menilai pemerintah perlu membuat gugus tugas dana penyaluran dana penanganan Covid-19. Gugus tugas ini terpisah dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Nantinya, anggota gugus tugas harus mencakup pemerintah pusat dan daerah serta lembaga terkait lainnya, misalnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga aparat penegak hukum.

"Tidak ada kata terlambat, pembentukannya bisa secara informal tapi yang penting perlu segera dilakukan," katanya.

Menurutnya, jika pemerintah tidak segera memaksimalkan penyaluran dana penanganan covid-19, maka Indonesia akan kehilangan momentum pemulihan ekonomi. Ia mengatakan momentum pemulihan pertumbuhan ekonomi cukup sempit, sehingga ketika Indonesia kehilangan momentum tersebut maka berpotensi kehilangan kesempatan untuk tumbuh di level normal kembali.

"Kalau biasanya kita bisa tumbuh di level 5 persen, mungkin nanti tidak bisa balik lagi ke 5 persen," tuturnya.

Momentum itu, lanjutnya,diduga terjadi sejak Juni lalu. Indikasinya adalah tingkat inflasi Juni sebesar 0,18 persen. Angka ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya, Mei 2020 yang tercatat sebesar 0,07 persen.

Di sisi lain, Fithra juga menduga masyarakat miskin dan rentan miskin sudah kehabisan energi untuk bertahan. Sebab, inflasi Juni ditopang oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,12 persen dengan andil terbesar pada inflasi Juni 2020 yaitu 0,47 persen.

Menurutnya, kelompok barang ini sifatnya inelastis terhadap pendapatan, artinya meskipun tidak ada pendapatan tetapi kebutuhan akan barang tersebut tetap ada. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mempercepat penyaluran dana penanganan Covid-19 untuk membantu konsumsi kelompok tersebut.

"Orang-orang ini dari Mei sudah keluar rumah dan ini merupakan sisa energi mereka yang tertangkap di data Juni. Jadi, Juni naik naik aktivitas ekonomi terutama yang golongan masyarakat yang bergantung pada pendapatan harian, tetapi ini merupakan sisa energi mereka," ucapnya.

Related

News 6454711067402830075

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item