Kebebasan dan Kemerdekaan Berpendapat di Era Jokowi Dinilai Menurun (Bagian 2)

Kebebasan dan Kemerdekaan Berpendapat di Era Jokowi Dinilai Menurun, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kebebasan dan Kemerdekaan Berpendapat di Era Jokowi Dinilai Menurun - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

"Berlakunya UU ITE sering digunakan oleh para pihak yang tidak suka dengan pendapat seseorang, kemudian diperkarakan ke polisi," ujar Beka.

Ia menilai pejabat publik hingga aparat penegak hukum kurang memahami batasan kebebasan berpendapat. Mereka tidak bisa membedakan antara kritik dan pendapat, dengan fitnah maupun ujaran kebencian.

"Ini PR pemerintahan Jokowi. PR terbesarnya adalah mampu menciptakan suasana kondusif bagi terjaminnya kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sehingga tidak represif, sedikit-sedikit ditindak hukum," ujar Beka.

Latar belakang pejabat militer

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menduga menurunnya kebebasan berpendapat dipengaruhi oleh banyaknya pejabat berlatar militer di jajaran pemerintahan Jokowi.

"Sekarang ini di jajaran pemerintah banyak figur TNI-Polri. Ini menunjukkan logika militerisme kuat di pemerintahan. Jadi sifatnya tidak ada semacam opini lain," kata Wasisto.

Tercatat lima purnawirawan TNI menjadi menteri pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Mereka adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Jenderal purnawirawan Polri juga ambil posisi, yaitu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Begitu pula Badan Intelijen Negara yang kini dipimpin Budi Gunawan.

Wasisto berpendapat pengangkatan sejumlah figur militer di jajaran pemerintahan adalah upaya Jokowi untuk memastikan kekuatan politiknya. Terlebih karena mantan Gubernur DKI Jakarta itu tidak memegang posisi strategis dalam partai politik.

Corak militer di pemerintahan Jokowi justru berdampak buruk pada iklim kebebasan berpendapat dan berekspresi. Relasi negara dan masyarakat, kata Wasisto, kecenderungannya menjadi anti-kritik.

"Ketika kita bicara militer, kita bicara tentang komando, yang tahunya hanya 'siap grak', beres, tanpa ada komplain. Ketika logika itu diterapkan ke pemerintahan, tidak ada negosiasi mutual, lebih condong top down," ujarnya.

Menurutnya, ini selaras dengan visi Jokowi yang lebih mengutamakan pembangunan ekonomi. Jika terlalu banyak negosiasi maka akan menghambat visi. Hal-hal sensitif pun diminimalisasi karena berpotensi menciptakan instabilitas, termasuk tentang persoalan HAM.

"Menguatnya kekuatan purnawirawan membuat Jokowi enggan menyentuh isu HAM," ujarnya.

Di sisi lain, kata Wasisto, saat ini masyarakat cenderung terbagi dalam kelompok yang memiliki barisan pendukung. Mereka hanya menerima informasi yang dianggap benar oleh kelompoknya. Akibatnya, masyarakat mudah diadu domba karena kritisisme tidak terbangun.

Kemunduran kebebasan berpendapat menjadi aspek krusial dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Jika pemerintah bersikap anti-kritik, sementara warga kehilangan daya kritisnya, maka kehidupan negara demokrasi pun terancam.

Tenaga Ahli Kedeputian Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian mengatakan, soal purnawirawan militer di pemerintahan bukan hanya ada di rezim Jokowi. Lepas era Orde Baru, purnawirawan di pemerintahan menurutnya selalu ada.

"Begitu masuk ke pemerintahan mereka masuk aturan sipil dan mematuhi demokrasi," kata Donny.

Karena itu menurutnya tak ada kaitannya antara jumlah pejabat berlatar belakang militer dengan berkurangan kebebasan berpendapat.

Ia mengingatkan bukan hanya negara yang menekan kebebasan berpendapat. Bahkan kelompok sipil menurutnya kerap mempersekusi mereka yang berbeda pendapat di media sosial.

Negara menurutnya justru menghargai kebebasan berpendapat. Ia mencontohkan Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang sangat kritis bahkan diganjar penghargaan Bintang Mahaputera Nararya.

"Ini harus dibaca sebagai apresiasi terhadap kebebasan berpendapat. Selama tidak melanggar hukum ya tidak menjadi masalah karena dijamin demokrasi," kata Donny.

Related

News 6964053840176766817

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item