Perang Falkland, Pertempuran Laut Terbesar Sepanjang Sejarah (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2020/08/perang-falkland-pertempuran-laut-page-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Perang Falkland, Pertempuran Laut Terbesar Sepanjang Sejarah - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Sebab-sebab kekalahan Argentina
Selain kurangnya kesatuan di antara bangsa Argentina, juga terdapat jarak sosial yang lebar antara perwira, perwira administratif, dan para wajib militer (wamil). Para wamil berdinas satu tahun atau kurang di ketentaraan. Ketika perang meletus, “sebagian besar angkatan 1962 (tahun lahir mereka) sudah dikirim pulang, sementara angkatan 1963 belum mendapatkan pendidikan dasar sekalipun.”
Lebih jauh, kebanyakan dari wamil yang tidak terlatih berasal dari provinsi-provinsi utara yang beriklim tropis, dan sama sekali tidak siap untuk menghadapi “kondisi-kondisi mengerikan, dan musuh yang terlatih baik serta lengkap persenjataannya.”
Marinir kerajaan secara rutin berlatih di rawa-rawa Dartmouth Moors, dan telah menyelesaikan manuver-manuver tahunan di lingkungan kutub di Norwegia pada April 1982. Pasukan komandonya berlatih di dataran-dataran dingin di Salisbury, dan baru saja kembali bertugas di Irlandia Utara.
Salah seorang pasukan komando berkata, “Saya mulai dengan kelas yang terdiri dari 83 orang, dan hanya 11 dari kami yang selesai. Kami tahu bahwa kami adalah pasukan terbaik di dunia ketika selesai dengan latihan itu.”
Yang lainnya mengatakan, “Saya tidak pernah mengerti mengapa kami berlatih di selokan dan lumpur di Salisbury, sementara kami sebetulnya akan berperang di Eropa Utara. Kemudian kami dikirim ke Falkland, dan saya berkata pada teman saya, ‘Tempat ini sungguh seperti rumah sendiri.’”
Tradisi adalah tali pengikat yang kuat. Seorang komando marinir kerajaan mengatakan kepada 45 pasukan komandonya, “Kita berbaris dari Normandia ke Berlin. Sudah pasti kita sanggup berbaris 120 km ke Stanley.”
Seorang tentara berkata, “Saya pasti akan dikutuk bila mengecewakan teman-teman yang bertempur di Arnhem.” Ini adalah kata-kata dari pasukan profesional yang bangga, terlatih keras, dan penuh percaya diri.
Kontrasnya sangat jelas, dan kedua belah pihak paham benar. Seorang tentara Argentina berkata, “Bila saya memiliki perwira-perwira sungguhan, yang laki-laki sungguhan, mungkin saya akan tetap bertahan. Tak mungkin! Saya orang Argentina, dan kami diciptakan bukan untuk membunuh orang lain. Kami suka makan, nonton film, minum-minum, dansa. Kami tidak seperti orang-orang Inggris. Mereka tentara-tentara professional – perang adalah bisnis mereka.”
Pelajaran dari Perang Falkland
Perang Falkland atau Malvinas membangkitkan sejumlah pemikiran mengenai sebab-sebab konflik antar bangsa. Perang ini pun menantang sejumlah asumsi tentang konflik yang telah menjadi aksioma di antara kaum profesional dalam politik.
Asumsi aksiomatik pertama yang ditantang oleh Perang Malvinas/Falkand adalah pendapat bahwa negara-negara “yang lebih lemah” biasanya tidak akan menyerang “yang lebih kuat”, khususnya negara-negara nuklir.
Yang kedua menantang asumsi bahwa para pemimpin melakukan perang untuk mengalihkan perhatian warganya dari masalah-masalah dalam negeri.
Perang Malvinas/Falkland juga menunjukkan potensi berbahaya ketika pemimpin keliru memperkirakan kepentingan lawan, bahaya kekeliruan persepsi dari watak seorang kepala pemerintahan, dan pentingnya perspektif-perspektif budaya dan sejarah.
Siapa yang akan mengira bahwa Argentina, sebuah negara yang terisolir, akan pergi berperang melawan pelanggan terbesarnya dalam ekspor hasil pertanian – Inggris? Siapa yang akan menyangka bahwa negara ini, yang dalam sejarahnya tidak pernah sungguh-sungguh berperang sejak abad ke-19, akan menantang sebuah negara yang memiliki kemampuan nuklir?
Siapa yang akan menyangka bahwa Inggris, anggota Dewan Keamanan PBB dan NATO, akan berperang gara-gara setumpukan batu karang terasing yang dihuni oleh segelintir gembala di Samudera Atlantik Selatan? Siapa yang akan menyangka bahwa Inggris akan pergi berperang untuk mempertahankan sisa-sisa imperiumnya 37 tahun setelah Perang Dunia II?
Masalah-masalah ekonomi yang serius, kekalahan oleh Inggris pada 1982 setelah usaha yang gagal untuk merebut Kep. Falkland/Malvinas, kemuakan publik terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia yang parah, dan tuduhan-tuduhan yang meningkat, telah bersama-sama mendiskreditkan dan memperlemah rezim militer Argentina.
Hal ini mendorong transisi bertahap, dan membawa negara itu kepada pemerintahan yang demokratis. Dengan tekanan publik, junta militer Argentina akhirnya menghapus larangan-larangan terhadap partai-partai politik, dan memulihkan kebebasan-kebebasan politik yang mendasar. Argentina berhasil kembali pada demokrasi dengan damai.
Pemulihan hubungan diplomatik
Argentina memulihkan hubungan diplomatiknya dengan Inggris. Pada September 1995, Argentina dan Inggris menandatangani perjanjian untuk meningkatkan eksplorasi minyak dan gas di Atlantik Barat Daya, dan menghapus masalah yang potensial sulit, serta membuka jalan untuk kerja sama lebih jauh antara kedua negara.
Pada tahun 1998, Presiden Menem mengunjungi Inggris, dalam kunjungan resmi pertama presiden Argentina sejak tahun 1960-an.