Mengingat Kembali Pentingnya Menjaga Privasi di Dunia Maya (Bagian 1)

Mengingat Kembali Pentingnya Menjaga Privasi di Dunia Maya

Naviri Magazine - "Militer Amerika Serikat membeli data pergerakan orang-orang di seluruh dunia, yang dimiliki oleh aplikasi yang tampaknya tidak berbahaya," tulis Joseph Cox dalam laporan investigasinya untuk Motherboard Vice. 

Data pergerakan manusia itu dimiliki khususnya oleh aplikasi-aplikasi ponsel bertema Islam, seperti Muslim Mingle (sejenis Tinder untuk pengguna muslim) dan Muslim Pro (yang mengklaim sebagai "aplikasi terpopuler bagi kalangan muslim di seluruh dunia").

Militer AS tak langsung membeli data pergerakan manusia dari aplikasi-aplikasi itu, melainkan melalui pihak ketiga alias broker. Menurut Cox, ada dua sumber mengapa data pengguna aplikasi seperti Muslim Mingle dan Muslim Pro dapat jatuh ke tangan militer AS. 

Pertama, data diperoleh dari perusahaan bernama Babel Street, yang memiliki layanan bernama Locate X. Militer AS memiliki akses pada layanan ini. Locate X mampu mengutak-atik data pengguna berbagai aplikasi untuk diterjemahkan sebagai input mesin pengintai. Locate X juga mampu mengetahui perangkat yang dipakai pengguna berdasarkan data yang telah mereka miliki.

Kedua, data diperoleh melalui perusahaan bernama X-Mode. X-Mode, misalnya, membeli data pengguna Muslim Pro. Lalu, data tersebut dibeli perusahaan lain. Dari perusahaan penengah ini akhirnya data jatuh ke tangan militer AS. X-Mode memiliki kemampuan "reverse engineering" sehingga mampu mengetahui dengan pasti sosok pemilik data.

Sebagai salah satu institusi terkuat di dunia dengan rekam jejak serangan mematikan melalui drone plus koordinat terukur, jatuhnya data-data pengguna Muslim Mingle dan Muslim Pro ke tangan militer AS, tulis Cox, "sangat berbahaya".

Cox, dalam laporan lanjutannya, menyebut bahwa usai laporan investigasinya dipublikasikan, Muslim Pro akhirnya "menghentikan kerjasama dengan pihak ketiga, termasuk X-Mode".

Melalui akun Instagramnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengaku sebagai pengguna harian Muslim Pro "karena memang bagus sekali". Ia menyerukan kepada "warga tercinta" untuk "sementara mari pindah ke apps yang lain, sampai ada kepastian terkait perlindungan privasi pengguna". 

Ajakan ini ia sampaikan karena jatuhnya data pengguna Muslim Pro ke tangan militer AS, "melanggar hal fundamental (manusia), yaitu privasi data dan lokasi pengguna".

Data diri dan privasi memang bagian hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh si pengguna, perusahaan yang diberi amanah oleh pengguna, dan negara. Masalahnya, meskipun tahu privasi dan data diri penting, perilaku sebagian besar warga maya di dunia membuktikan sebaliknya: tidak peduli.

Paradoks Privasi: Paham, Tapi Tak Peduli

Pada April 2019 silam, Stuart A. Thompson, jurnalis The New York Times peraih Pulitzer Prize, melakukan sebuah eksperimen yang berupaya membangkitkan kesadaran masyarakat tentang privasi di dunia maya. 

Dalam eksperimen itu, Thompson memasang iklan khusus untuk warga maya. Alih-alih menyebarkan iklan sebagaimana iklan (maksudnya, mengajak pengguna internet membeli suatu produk sesuai dengan karakter pengguna, berdasarkan data mereka), Thompson menyebarkan iklan: 

"Iklan ini mengira Anda mencoba menurunkan berat badan dan masih menyukai toko roti"; "Anda sedang diawasi. Apakah Anda baik-baik saja dengan ini?"; "Iklan ini menganggap Anda laki-laki, yang secara aktif menggunakan uang Anda untuk membeli banyak produk di department store mewah."

Ketika dunia belum mengenal internet—atau tatkala penggunaan internet belum masif—iklan merupakan ajakan (untuk menggunakan produk/layanan) yang menyasar orang per orang. Billboard iklan rokok, misalnya, dipasang di pinggir jalan untuk dilihat siapapun, entah perokok atau bukan, entah pria atau wanita, entah dewasa atau anak-anak. 

Yang dilakukan Thompson merupakan evolusi dunia periklanan, yang lahir akibat kian masifnya penggunaan internet dan produk-produk digital lain. 

Industri periklanan mengenal akrab setiap pengguna maya di seluruh dunia lewat biografi yang diunggah dan "Like" yang ditekan di Facebook, retweet di Twitter, "Love" di Instagram, kata kunci yang diketik di Google, GPS yang diaktifkan di Google Maps, kartu kredit yang digesek di suatu toko, hingga "swipe" kanan yang dilakukan di Tinder. 

Data-data tersebut dikumpulkan melalui jejaring kerjasama antar perusahaan. Dengan kumpulan data-data tersebut, industri periklanan melahirkan... "personalized ads".

Dalam eksperimen, Thompson mengaku menggunakan 16 kategori pengelompokan warga maya, seperti "anggota Partai Demokrat", dan "orang-orang yang berusaha menurunkan berat badan." Menurut Thompson, terdapat 30.000 kategori dalam industri periklanan saat ini. Lewat ribuan kategori inilah iklan dapat menyebar ke masyarakat secara spesifik. 

"Penyedia data (yang lalu dimanfaatkan industri iklan) memiliki informasi dari hampir setiap bagian hidup Anda, bahkan memiliki informasi yang tidak pernah terbayangkan oleh si pemilik data (pengguna internet)," catat Thompson.

Masalahnya, personalized ads tak hanya digunakan untuk memasarkan produk/layanan dari suatu perusahaan, tetapi juga untuk tujuan-tujuan politik. Tak hanya industri periklanan yang memanfaatkan kekuatan data ini. Institusi negara pun menggunakan data serupa untuk "mengenal" lebih akrab setiap orang di dunia, bahkan lewat paksaan.

Baca lanjutannya: Mengingat Kembali Pentingnya Menjaga Privasi di Dunia Maya (Bagian 2)

Related

News 1034083255120437064

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item