Kisah Dokter Rubiono, Pakar Kode Rahasia Pertama di Indonesia (Bagian 1)


Naviri Magazine - Rubiono Kertopati adalah seorang dokter yang merintis sandi negara. Ia belajar kode rahasia secara autodidak.

Tujuh puluh tahun lalu, Ponijan menyimpan rahasia negara. Tugasnya membawa surat dari Letnan Satu Sumarkijo kepada Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia. 

Dengan berjalan kaki, ia menyusuri perbukitan Menoreh dan menghindar dari sergapan Belanda. Konon, selama membawa sandi negara, Ponijan tak pernah tertangkap. Orang biasa seperti dirinya juga punya peran penting dalam sejarah.

“Bapak masih kecil, belum supit [sunat] waktu itu,” kata Ngadiman, anak Ponijan.

Enam puluh tahun lalu, kakek Ngadiman, Marto Setomo, merelakan rumahnya dijadikan markas bagi para code man, penulis kode rahasia informasi negara. Rumah itu berdiri di lereng pegunungan Menoreh—30 km ke arah barat dari pusat Yogyakarta. 

Rimbunan pohon dan bukit-bukit yang menjulang, menyembunyikannya dari mata pilot pesawat Belanda. Belakangan, rumah itu disebut “rumah sandi” dan kini masuk dalam wilayah Dukuh, Purwoharjo, Samigaluh Kulon Progo.

Di rumah itulah, 70 tahun lalu, Letnan Kolonel Dr. Rubiono, kepala Dinas Code, mengambil langkah penting dalam sejarah sandi negara di Indonesia. Ia memerintahkan anak buahnya untuk memantau perkembangan Republik ketika Yogyakarta jatuh akibat Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. 

Informasi dari titik-titik gerilya di di wilayah Republik dipantau dari rumah itu. Informasi berharga tersebut lantas diteruskan kepada T.B. Simatupang di Banaran.

“Bapak bertugas mengirim surat ke Banaran,” ujar Ngadiman.

Banaran berjarak sekitar lima kilometer ke arah barat dari rumah Ponijan. Di kampung itulah Simatupang memantau situasi Republik di kota Yogyakarta, sekaligus menyusun strategi setelah Yogyakarta jatuh, dan Sukarno-Hatta ditawan Belanda. Beruntung, keduanya sempat memerintahkan Syafruddin Prawiranegara membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.

“Hubungan dengan Sumatra belum lagi dapat diadakan saat itu. Tetapi menurut perwira-perwira dari Jawatan-jawatan Perhubungan, mereka mempunyai harapan bahwa tidak lama lagi telegram yang pertama akan dapat dikirim ke Sumatra,” terang T.B. Simatupang dalam Laporan dari Banaran (1960).

Saat Yogyakarta dikuasai, stasiun-stasiun radio telegram di Bukittinggi ikut dibombardir. Akibatnya, para pegawainya kocar-kacir. Beruntung, mereka masih bisa menyelamatkan radiogram ke hutan-hutan, dan berhasil menerima siaran dari Jawa.

Baru pada akhir Januari 1949, kata Simatupang, hubungan radio telegrafis antara Jawa dan Sumatra itu pulih. Dari Sumatra, informasi diteruskan lagi ke perwakilan Indonesia ke New Delhi, di sana ada A.A. Maramis yang ditunjuk untuk mendirikan republik perwakilan jika pemerintah darurat di Sumatra gagal. 

Sejarah mencatat, dari hubungan radiogram itulah dunia tahu Republik Indonesia masih berdiri.

“Kemudian saya dengar, bahwa hubungan radio-telegrafis dari Sumatera ke New Delhi itu selalu mempergunakan stasiun antara, yakni di Rangoon, di mana tentara Burma menyediakan suatu pemancar bagi orang-orang kita. Pada waktu itu radio New Delhi sering menyiarkan berita-berita yang kita kirim dari Jawa, hal mana sangat baik pengaruhnya atas semangat di kalangan kita,” jelas Simatupang.

Akhir Januari 1949, Simatupang bisa sedikit lega. Titik-titik gerilya di Gunung Kidul, Gunung Lawu, Sumbing, dan Lawu bisa terorganisir melalui “radio-telegrafis”. Demikian pula hubungan dengan luar negeri yang belakangan sangat menentukan dalam perundingan Indonesia-Belanda di hadapan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

“Dengan memasang pemancar kecil di sini [Menoreh], hal mana disanggupkan Kapten Darttojo, maka radiogram-radiogram dapat dikirim ke pemancar-pemancar yang lebih besar di Wonosari dan di Balong, di lereng Gunung Lawu. Pemancar-pemancar yang besar ini dapat meneruskan radiogram-radiogram itu ke Sumatera, dan melalui Sumatera hubungan dengan luar negeri dapat diadakan,” lanjut Simatupang.

Situasi itu jauh lebih baik dibanding pagi kelabu 19 Desember 1948. Ketika ia buru-buru pergi dari Markas Besar Jawa (markas angkatan perang wilayah Jawa) dan jawatan sandi di Jalan Batanawarsa, Yogya, saat dar-der-dor senapan Belanda makin terdengar mendekat.

Di jawatan sandi itulah ia menemui Rubiono. “Kepada Dr Rubiono, dokter sandi kita, saya minta supaya diusahakan agar hubungan dengan Bukittinggi terus menerus terbuka, sebab besar kemungkinan kabinet akan mengirimkan telegram,” pesannya.

Baca lanjutannya: Kisah Dokter Rubiono, Pakar Kode Rahasia Pertama di Indonesia (Bagian 2)

Related

Indonesia 4248957500386117471

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item